Mohon tunggu...
Bella Zoditama
Bella Zoditama Mohon Tunggu... -

Seorang perempuan yang menulis serta membaca. Lulusan Manajemen Bisnis yang tertarik pada bidang kepenulisan, pendidikan, marketing, dan kesenian. Blog personal: bellazoditama.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Keterbatasan Bahasa dan Kisah Saya Pertama Kali Melihat Luar Negeri

20 April 2017   15:33 Diperbarui: 21 April 2017   01:00 782
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kapan pertama kalinya kamu pergi ke luar negeri? Umur belasan atau masih bayi? Jika iya, bisa jadi kamu termasuk beruntung karena sudah mencicipi pergi ke luar negeri lebih dulu. Saya sendiri baru merasakannya ketika hampir berumur 26 tahun. Mungkin hal ini terdengar terlambat seperti sudah beli es krim, ditinggal sebentar eh keburu mencair, walaupun bisa dibekukan lagi tapi rasanya tidak akan sama.

Tujuh hari yang lalu, akhirnya saya mendapat cap paspor pertama setelah membuat paspor hampir dua tahun lalu. Bukan ke Malaysia atau Singapura seperti biasanya orang-orang melakukan perjalanan pertama mereka, melainkan ke Taiwan.

Saya tidak pergi sendiri tentu saja. Ditemani oleh adik yang baru saja meninggalkan statusnya sebagai mahasiswi serta hadiah ulang tahunnya yang ke-23, saya mengekor perjalanannya. Ya, saya mengikuti itinerary yang dibuatnya termasuk penginapan kami selama di sana.

Berada di Taiwan selama seminggu membuat saya mendapatkan banyak kesempatan melihat sesuatu yang baru serta pengalaman yang bisa saya bagi nantinya.

Dan sebagai seorang turis ‘baru’, bisa jadi saya terlihat amat norak dari kacamata warga lokal atau turis lain yang bertemu kami atau bahkan oleh adik saya sendiri. Saya banyak memotret gedung, tiket, suasana, makanan, bahkan pamflet yang tertempel di stasiun.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Saya juga senang sekali melihat keteraturan negara asing yang selama ini hanya dilihat dari balik kaca televisi. Bagaimana cara mereka berinteraksi, makan, berjalan, dan berpakaian membuat saya terkagum-kagum sendiri dan bersyukur karena saya mewujudkan salah satu wishlist untuk menginjakkan kaki ke negara lain.

Kendala yang saya temui selama berlibur juga banyak antara lain jarang sekali ada toilet yang memasang spray, kebanyakan toilet kering, tidak ada guling, serta kendala bahasa. Meskipun orang-orang Taiwan sudah berbahasa Inggris yang baik dan pelafalannya cukup jelas, tetap saja agak sulit bertanya pada orang-orang yang terbiasa bercakap dalam Bahasa Mandarin.

Kemampuan Bahasa Inggris saya sama sekali tidak bagus dan biasa saja. Terlebih dulu saya sempat salah mengeja ‘god’ dengan ‘good’ dan salah mengartikan ‘massage’ dan ‘message’. Kalau tidak percaya silakan tanyakan sahabat saya di SMA sebagai saksinya. Heu…

Saya jadi ingat waktu kemampuan bahasa saya begitu ceteknya, saya selalu segan dan menghindari jika bertemu dengan turis yang bertanya dengan Bahasa Inggris. Paling mentok saya jawab dengan, ‘Sorry, I can’t understand’ atau ‘Sorry, I don’t know’.

Eh, ternyata pas di sana pun, saya digituin juga sama warga lokalnya. Ternyata rasanya tuh sakit, ya. Apalagi ketika lagi butuh informasi soal jalan atau angkutan umum, tapi sama sekali tidak ada yang bisa membantu karena keterbatasan bahasa itu. Huft…

Sudah begitu, karena saya mempunyai mata yang sedikit sipit seperti almarhum Papa, banyak yang mengira kalau saya orang lokal atau orang Asia Timur.

Kurang lebih tiga kali, saya diajak berbicara Bahasa Mandarin, ditawari produk dengan Bahasa Mandarin, dan ditanyai sesuatu. Padahal adik saya bisa melenggang manis dan dilewati begitu saja oleh orang-orang.

Hal lain yang saya ingat adalah ketika kami sedang menaiki MRT untuk pergi ke destinasi selanjutnya. Gerbong yang kami naiki cukup sepi sehingga saya bisa duduk sementara adik saya berdiri karena dia lebih suka berdiri (?)

Lalu tidak disangka ada seorang bapak tua masuk dari stasiun selanjutnya. Seketika saya langsung memberikan beliau tempat duduk saya karena saya sendiri tidak melihat bangku prioritas di sekitar kami atau gerbong tersebut.

Dia tersenyum pada saya sambil mengucapkan‘Xie Xie’ yang artinya terima kasih dalam Bahasa Mandarin. Saya hanya membalasnya dengan pulasan senyum dan berdiri di dekat adik. Kemudian si bapak mengajak mengobrol hingga membuat saya melongo karena tidak paham maksudnya dan saya balas dengan perkataan Bahasa Inggris kalau saya tidak berbicara Mandarin. Dia kembali tersenyum lagi sampai kami bertiga ternyata turun di stasiun yang sama.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Seperti perjalanan yang sudah saya lakukan sebelumnya, perjalanan kali ini pun membuat saya belajar banyak hal serta mengasah praktik berbahasa saya khususnya setelah nyasar ke Kampung Inggris setahun lalu. Saya juga semakin yakin bahwa setiap orang memiliki waktunya masing-masing untuk melakukan atau mendapatkan sesuatu yang diinginkannya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun