Mohon tunggu...
Bella falina
Bella falina Mohon Tunggu... Mahasiswa - Manusia Kritis

Hiduplah kamu bersama manusia sebagaimana pohon yang berbuah, mereka melemparinya dengan batu, tetapi ia membalasnya dengan buah.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Ketika Hukum Menghadapi Kekuasaan: Revisi DPR terhadap Keputusan MK dalam Perspektif Filosofis

24 Agustus 2024   13:38 Diperbarui: 24 Agustus 2024   13:49 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Makna filosofis dari tindakan DPR yang merevisi keputusan Mahkamah Konstitusi dapat dilihat sebagai sebuah krisis epistemologis dalam pemahaman kita tentang hukum dan keadilan. Secara ontologis, hukum dianggap sebagai manifestasi dari kebenaran dan keadilan yang tertinggi, sebuah struktur normatif yang memandu kehidupan bernegara menuju harmoni sosial. Ketika lembaga legislatif, yang seharusnya menjadi pencipta hukum berdasarkan aspirasi kolektif, mencoba untuk mengubah keputusan dari lembaga yudikatif tertinggi, ini bukan sekadar tindakan politik, melainkan sebuah pengkhianatan terhadap esensi hukum itu sendiri.

Dalam filsafat, hukum sering dilihat sebagai cerminan dari logos, sebuah prinsip rasional yang mengatur tatanan alam dan kehidupan sosial. Keputusan Mahkamah Konstitusi, dalam konteks ini, merepresentasikan penalaran hukum yang bersifat final, sebuah bentuk kebijaksanaan yang tidak hanya legal tetapi juga moral. Upaya untuk merevisi keputusan ini mengisyaratkan pergeseran dari logos menuju nomos, di mana hukum tidak lagi menjadi cerminan dari kebenaran yang objektif, tetapi menjadi produk dari kehendak manusia yang seringkali dipengaruhi oleh kepentingan sesaat.

Lebih jauh lagi, dari perspektif hermeneutik, revisi terhadap keputusan MK ini dapat dilihat sebagai dekonstruksi terhadap teks hukum itu sendiri. Teks hukum, yang seharusnya menjadi panduan tetap dan abadi, diinterpretasikan ulang berdasarkan konteks politik yang temporer, sehingga kehilangan makna dan stabilitasnya. Ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang apa itu keadilan: apakah keadilan adalah sesuatu yang tetap dan tidak berubah, ataukah keadilan adalah hasil dari negosiasi terus-menerus di antara berbagai kekuatan yang ada dalam masyarakat?

Pada akhirnya, tindakan ini menantang kita untuk merenungkan kembali hubungan antara hukum, kekuasaan, dan keadilan. Dalam dunia yang ideal, hukum adalah cerminan dari keadilan yang abadi. Namun, ketika hukum menjadi alat kekuasaan, kita dihadapkan pada dilema filosofis tentang bagaimana mempertahankan integritas hukum di tengah dinamika politik yang terus berubah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun