Dalam sebuah dialog interaktif pada sebuah stasiun lokal di Bali ,saya tertarik dengan pendapat seorang Profesor yang  cukup berani dan mengejutkan.Menurutnya, dalam beberapa tahun lagi Bali akan bangkrut akibat banyaknya biaya yang dikeluarkan untuk upacara keagamaan ( Agama Hindu).kalau diakui secara jujur pendapat vokal Sang Profesor yang asli Bali dan juga beragama Hindu itu memang bukan tanpa alasan.Bayangkan untuk prosesi upacara keagamaan diperlukan biaya puluhan bahkan ratusan juta.rupiah.Biaya sebesar itu biasanya dibagi rata dikalangan angota pura (pengempon ) tanpa pertimbangan kaya miskin atau mampu atau tidak mampu.
Satu contoh untuk sebuah prosesi upacara keagamaan "piodalan Ngenteg Linggih " yaitu upacara dengan tingkatan istimewa diperlukan dana antara 500 juta  sampai 1 millyar rupiah. Kalau jumlah pengempon pura 300 orang bisa dihitung berapa biaya yang harus dikeluarkan oleh masing masing anggota.Belum lagi tenaga yang nyaris terkuras untukmenyiapkan segala sesuatu yang diperlukan yang biasanya sudah dikerjakan sebulan sebelum hari H
Sebetulnya dalam kitab suci Wedha tidak ada paksaan untuk menggelar prosesi upacara keagamaan yang menghabiskan biaya besar.Bahkan dalam Bhagawadgita ( Wedha kelima dari kitab suci Wedha ) ada disebutkan sbb : "Apapun yang kau bersembahkan asal disertai ketulusan hati,persembahanmu Aku (Tuhan)terima." Berdasarkan cloka suci ini maka sudah saatnya Humat Hindu lebih meningkatkan pemahaman agama melalui peningkatan sumber daya manusia ( SDM) Hindu dibandingkan menghabiskan dana besar hanya untuk sebuah prosesi keagamaan apalagi menyusahkan anggota humat se-dharma.Memang secara formal jarang terdengar warga pengempon pura menyatakan keluhannya,namun secara fakta tidak jarang warga yang tergolong kurang mampu terpaksa pinjam sana-sini untuk memenuhi kewajiban membayar biaya upacara.Ini berarti apa yang mereka persembahkan yang seyogyanya dilandasi oleh pikiran yang tulus dan iklas berbalik menjadi keterpaksaaan.Kita berharap mudah-mudahan sinyalemen yang disampaikan seorang profesor diawal tulisan ini tidak menjadi kenyataan.Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H