hari ini, hari yang sama ketika aku dibangunkan pada pukul 12 dini hari oleh seorang teman kos, tepat dua minggu yang lalu. hujan pasir! merapi erupsi lagi dan saat itu sepertinya lumayan besar. dengan perasaan kesal (karena dibangunkan kurang dari 3 jam aku beranjak tidur), takut, dan bingung, kunyalakan televisi. beritanya sangat mencemaskan. apalagi disiarkannya tidak lebih dari 1 km dari rumah kosku, kentungan. mencekam memang. dan dalam keadaan seperti itu aku masih terbenani oleh satu tugas kuliah yang mesti kukerjakan pagi itu, presentasi. benar-benar pagi yang sangat mengesalkan. mengendap di dalam kamar sambil online, memastikan keadaan merapi melalui kabar di situs internet dan tetap mendengarkan televisi, sempurna pagi itu aku tak bisa tidur lagi. yang menambah kesal, kawan yang tadi membangunkanku justru terlelap tidur padahal dia tadi berpesan agar aku jangan sampai tertidur pagi ini. keadaan gawat. setelah berpikir dengan segala resiko dan kebulatan tekad, akhirnya pada pukul 6 pagi aku memutuskan untuk keluar kos, mampir untuk sarapan sebentar di burjo dekat kos dan akhirnya memacu nonopi (motor supra biruku) menuju gelanggang mahasiswa UGM. aku mendaftarkan diri sebagai relawan. pagi itu, aku resmi menjadi relawan di dapur umum posko gelanggang mahasiswa UGM, bergabung bersama relawan lainnya dalam gelanggang emergency response (GER). tugas pertama yang aku lakukan di dapur adalah mengupas bawang merah. hari jumat itu berjalan lancar. [caption id="attachment_73684" align="aligncenter" width="300" caption="tenda dapur umum GER (doc. pribadi)"][/caption] hari berikutnya jadi lebih sedikit ringan karena telah beradaptasi. namun malamnya aku mendapatkan kabar tak mengenakkan. mama dan papaku, yang termakan oleh hiruk pikuk berita di televisi memutuskan untuk menjemputku pulang hari minggu pagi. aku sangat marah. kesal karena orangtuaku tidak mengerti betapa pentingnya kehadiranku di posko ini meskipun hanya sebatas mengupas bawang. orangtuaku juga tidak mengerti bahwa aku sungguh-sungguh tidak bisa meninggalkan posko, hati ini sangat berat memikirkan ribuan saudaraku berkumpul dengan harap-harap cemas dan ketakutan, pasrah dengan nasib apapun yang akan menimpa mereka. dan orangtuaku tidak mengerti bahwa aku merasa aku harus ada disana. dan mama malah berkata, lebih baik kamu pulang daripada mama sakit jantung. padahal disisi lain aku juga merasa ngeri membayangkan mereka melakukan perjalanan untuk menjemputku. bagaimana kalau mereka sedang berada di dekat kawasan berbahaya dan gunung itu tiba-tiba.. aah aku tak berani membayangkannya. aku tau karakter kedua orangtuaku. kemauan mereka sangat keras jika itu menyangkut sesuatu yang menurut mereka baik bagiku. menurut mereka, tapi menurutku tidak. dulu aku sering marah-marah, berteriak dan membentak jika ada keinginan mereka yang tidak sesuai dengan keinginanku. hasilnya? nihil! maka aku mencoba cara lain. cara yang diajarkan oleh seorang murrobiku, cara yang digunakannya dalam memberikan pengertian kepada kedua orangtuanya. cara yang mungkin saja berhasil jika kulakukan. rayuan. aku merayu, memberikan pengertian tentang keadaan orang-orang disini, memaparkan keadaan yang sebenarnya, mengatakan bahwa jika aku pulang aku justru tak akan bisa tidur nyenyak karena cemas memikirkan mereka, memberikan alamat website yang sering kukunjungi untuk memantau keadaan merapi, memberikan janji akan selalu mengabari dan akan segera pulang jika kondisi semakin memburuk, serta meminta mereka untuk mendoakan agar keadaan semakin membaik. tak disangka cara ini berhasil. mereka mengijinkanku tetap berada di posko. alhamdulillah. setelah itu aku bekerja dengan perasaan lebih ringan. paginya saat sampai di posko, aku mendapatkan satu kabar gembira lagi, koordinator sebelumnya telah diganti. yang sekarang ini lebih manusiawi. alhamdulillah. hari-hari berikutnya terasa lebih menyengangkan. setiap pagi dengan rutinitas memasak 1400 porsi, dilanjutkan dengan kericuhan pembungkusan. hal ini tampaknya mendekatkan personil di dapur umum. entah darimana datangnya, aku mulai menyebut dapur umum kami dengan sebutan "dapur cinta" yang kemudian menular ke kawan-kawan yang lain. resmilah kami menamakan dapur umum ini dengan nama dapur cinta, memasak dengan penuh kasih sayang. [caption id="attachment_73685" align="alignleft" width="150" caption="pemasangan papan dapur cinta (doc pribadi)"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H