Pertumbuhan penduduk di Indonesia yang semakin pesat menyebabkan meningkatnya permasalahan kependudukan. Menurut data sensus BPS pada tahun 2010 jumlah penduduk di Indonesia sebesar 237.641.326 jiwa dan diproyeksikan pada tahun 2020 akan mencapai 271.066.400 jiwa. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk tersebut maka penggunaan kebutuhan lahan pun semakin meningkat. Selain itu, tidak hanya pertumbuhan penduduk saja yang akan mendominasi jumlah penduduk di perkotaan tetapi diiringi pula dengan perpindahan penduduk dari desa ke kota (urbanisasi) dengan tujuan untuk mencari pekerjaan yang layak. Menurut Mc Gee (1971) dalam Simollah (2011) perpindahan penduduk ke kota sering mengakibatkan urban berlebih yang pada akhirnya menimbulkan banyak masalah yang berhubungan dengan pengangguran, ketidakpuasan di bidang sosial dan ekonomi.
Surabaya sebagai kota terbesar kedua setelah Jakarta merupakan sasaran urbanisasi karena memiliki daya tarik yang tinggi bagi sebagian besar penduduk. Jumlah penduduk di Surabaya sudah mencapai 2,6 juta penduduk (BPS, 2015), dengan didukung oleh jumlah penduduk pendatang yang tinggi sebesar 65.048 jiwa pada tahun 2013. Kepadatan penduduk yang semakin tinggi di Surabaya ini akan berdampak pada meningkatnya intesitas ruang kebutuhan bermukim sehingga mempengaruhi tingginya harga lahan. Banyaknya penduduk yang bermigrasi ke Kota Surabaya tidak diimbangi dengan ketersediaan ruang, prasarana dan sarana yang memadai, sehingga akan mendorong penduduk untuk mendirikan permukiman liar. Hal ini tidak dapat dipungkiri lagi. Permasalahan permukiman liar di kota Surabaya ditandai dengan pendirian bangunan illegal yang semakin padat di bantaran rel kereta api.
Wilayah Surabaya Utara dengan luas 38,39 km2 merupakan salah satu kawasan di Surabaya dengan intensitas  pertumbuhan penduduk yang tinggi yaitu 6,91 % (BPS, 2015) mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Hal ini didukung karena adanya pembangunan Jembatan Suramadu yang menghubungkan antara Kota Surabaya dengan Pulau Madura, sehingga memberikan akses kemudahan bagi penduduk Pulau Madura untuk berpindah ke Surabaya.Â
Terbukti dengan jumlah penduduk datang di Surabaya Utara lebih banyak daripada penduduk pindahnya. Kepadatan penduduk di Wilayah Surabaya Utara banyak terpusat di daerah Kecamatan Semampir dan Kenjeran yakni 17,28 jiwa/km2(BPS, 2010) untuk wilayah Semampir dan 21,368 jiwa/km2(BPS, 2010) diwilayah Kenjeran. Berdasarkan Data Dinas Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil, ada 14.208 jiwa penduduk datang di tahun 2013 dan meningkat lagi menjadi 15.222 jiwa penduduk datang pada tahun 2014. Sedangkan untuk penduduk pindahnya juga mengalami kenaikan tetapi volume penduduk yang pindah tidak sebanyak yang datang yaitu 3.423 jiwa pada tahun 2013 dan meningkat di tahun 2014 menjadi 4.523 jiwa. Penduduk yang mendominasi arus migrasi ini adalah penduduk Madura.
Disisi lain, sejak tahun 2010 berdasarkan data Bappeko Surabaya , jumlah penduduk miskin terbanyak berada di daerah Surabaya Utara. Dari total 572.023 penduduk miskin di Surabaya (Bappeko, 2009) ada 134.361 jiwa atau sekitar 23 % didominasi penduduk Wilayah Surabaya Utara. Faktor yang dapat meningkatkan angka kemiskinan ini dikarenakan banyaknya arus urbanisasi tanpa dibekali dengan keterampilan dan pengetahuan, sehingga menyulitkan mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Secara garis besar tingkat pendidikan terakhir penduduk Madura yang melakukan urbanisasi ke Surabaya Utara adalah  lulusan SD, SMP, dan SLTA. Melihat latar belakang pendidikan mereka yang rendah, akan berpengaruh pada peluang kesempatan kerja di Surabaya.
Disamping itu, sebagian besar penduduk Madura tersebut tinggal di wilayah yang tidak layak ditempati atau bisa dibilang di daerah yang membahayakan hidup mereka. Mereka banyak yang tinggal di bantaran  rel kereta api karena lahan tersebut merupakan lahan yang tidak digunakan serta tidak ada beban biaya penggunaan tanah secara resmi. Walaupun lahan tersebut kosong, namun lahan itu tetap milik PT KAI. Hal yang mendasari yaitu karena kurangnya aspek finansial untuk mendirikan permukiman di wilayah yang layak huni. Â
Fenomena seperti ini jelas melanggar ruang manfaat jalur kereta api, ruang milik jalur kereta api, dan ruang pengawasan jalur kereta api seperti yang tercantum dalam UU No. 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian. Banyak dari mereka yang hanya bermata pencaharian harian lepas seperti pencari rongsokan dan penjual makanan ringan dengan pendapatan yang tidak pasti per harinya sehingga menjadikan penduduk di bantaran rel kereta api ini tergolong ke dalam penduduk ekonomi lemah. Bahkan banyak pula yang pengangguran.Â
Adanya rasa khawatir karena lingkungan yang kurang nyaman dan rasa takut karena menempati tanah milik PT KAI menyebabkan sebagian besar penduduk di daerah bantaran rel juga menjadi tertutup.Tanpa disadari pula, adanya permukiman liar di bantaran rel ini akan menambah kekumuhan suatu kawasan. Dikatakan kumuh karena permukimannya tidak didukung oleh jasa pelayanan yang baik dan berada di bawah standar minimal sehingga kualitas lingkungan disana menurun serta akan menimbulkan suatu kesenjangan sosial.
 Oleh karena itu, masalah ini penting sekali. Kenapa saya bilang penting ? Karena pada dasarnya banyak persepsi masyarakat yang mengatakan bahwa dengan melakukan urbanisasi akan memperbaiki kualitas hidup mereka karena mendapatkan suatu pekerjaan yang layak. Namun, penduduk yang bermigrasi ke Wilayah Surabaya Utara ini masih belum siap dari segi keterampilan dan tidak didorong dengan tingkat pendidikan yang tinggi. Sikap pemerintah pun masih terlihat pasif dalam menekan arus urbanisasi.Â
Menurut saya kita bisa menerapkan kebijakan yang telah dilakukan oleh negara – negara berkembang di dunia untuk mengurangi urbanisasi. Hal yang sebaiknya dilakukan pemerintah Surabaya yaitu komitmen tinggi terhadap bidang pertanian. Artinya, pemerintah berani menjamin untuk tidak mengubah lahan pertanian yang ada menjadi sebuah perumahan, industri dan lain – lain sehingga petani bisa tenang menggarap sawah tanpa harus melakukan urbanisasi.Â
Kebijakan ini berhasil diterapkan oleh negara India dan 75% berhasil. Dengan melihat wilayah pertanian di Surabaya yang masih ada sekitar 1400 ha, menurut Joestamadji Kepala Dinas Pertanian Kota Surabaya (2016), maka pengimplementasian kebijakan ini mungkin akan memberi pengaruh dan perubahan, sehingga akan terjadi keseimbangan ekonomi antara desa – kota. Selain itu, memperluas industri – industri kecil padat karya supaya dapat membantu dalam penyerapan tenaga kerja. Terutama ini untuk penduduk dewasa yang menganggur agar dapat diberdayakan melalui industri ini.
 Tidak lupa juga menyediakan fasilitas pendidikan gratis 9 tahun bagi anak – anak penduduk yang kurang mampu. Dengan memberdayakan penduduk melalui pelatihan – pelatihan usaha dan pendidikan maka akan membantu meningkatkan taraf kesejahteraan penduduk tersebut, sehingga mereka akan memiliki rumah sendiri, tidak akan tinggal di bantaran rel kereta api yang akan menimbulkan slum area. Jadi intinya, kita perbaiki lagi masalah pemerataan pembangunan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H