Terlepas dari latar belakang yang mempengaruhi mereka tidak menyenangi pelajaran itu, saya tidak pernah menyalahkan pendapat mereka. Justru pendapat itu yang menantang saya untuk melihat betapa generasi muda ini perlu diberi pendidikan untuk menghargai bahasa yang bahkan mereka dengar dan pakai sehari-hari.Â
Untuk mengembalikan mereka pada identitas mereka sebagai warga negara Indonesia adalah tantangan kami sebagai guru Bahasa Indonesia. Terlepas dihargai atau tidak, tugas kami adalah meneruskan dan mempertahankan bahasa ini sebagai identitas utama bahasa Indonesia di mata dunia.
Pemandangan ini justru kontras saat saya mengajari siswa-siswi asing yang tengah asyik mempelajari bahasa Indonesia. Meski berlangsung di pendidikan informal, saya merasa bahwa semangat dan nilai-nilai pembelajaran yang dibawa oleh siswa-siswa asing ini menjadi pekerjaan rumah yang perlu saya transferkan ke tempat saya mengajar. Ironis memang.Â
Nasionalisme yang seharusnya berada di rumah sendiri, justru saya dapatkan dari orang asing yang notabene juga tidak paham dengan sejarah bangsa ini. Hasrat dan kecintaan mereka pada negeri ini justru berbanding terbalik dengan siswa yang saya ajar di kelas.Â
Apakah hal yang sama juga terjadi dengan siswa-siswi asing ini? Mereka mencintai negeri orang lain dan 'membenci' negerinya sendiri? Tampaknya tengah terjadi keseimbangan alam yang tak pernah terpikirkan oleh saya. Atau justru asumsi saya salah. Semoga saja salah.
Nah, tidak bisa dipungkiri kalau peran kami sebagai guru Bahasa Indonesia memang sedikit lebih berat karena diwarnai oleh beban sejarah untuk mempertahankannya sebagai bahasa yang tetap mempersatukan negeri ini dari Sabang sampai Merauke. Hal yang sama mungkin terjadi di pelajaran PKn atau Agama.Â
Persoalannya adalah: bagaimana caranya untuk membuat pelajaran ini tidak sekadar pelajaran, tetapi dikenang sebagai pengalaman hidup yang berarti?Â
Memang, konsep tulisan ini sebenarnya mempertanyakan bagaimana nasionalisme harus dibangun sedini mungkin melalui pengenalan sejarah dan bahasa. Sebuah bangsa akan kehilangan identitasnya apabila sejarah dan bahasanya tidak dikenal dan tidak dilestarikan. Apakah itu artinya bahwa bahasa Indonesia akan menjadi langka dan antik?
Sebenarnya pertanyaan ini menjadi kekhawatiran utama saya. Bahasa Indonesia semakin tergerus oleh zaman. Hal yang saya alami ini terjadi di sekolah bertaraf internasional, yang bisa jadi juga tidak terjadi di sekolah lain. Semoga saja. Namun, saya meyakini bahwa peran media dan teknologi justru memberikan dampak yang signifikan terhadap generasi muda.Â
Lihat saja contohnya penggunaan bahasa pada produk-produk yang disenangi anak muda seperti gawai, komputer, e-commerce, media sosial, dan lain-lain. Hampir semua menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Bahkan, imej menggunakan bahasa Inggris semakin menenggelamkan popularitas bahasa Indonesia.Â
Bahkan yang lebih parah, orang yang menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar dianggap langka, aneh, kaku, terlalu formal, basa-basi, dan tidak keren. Anggapan-anggapan ini dilengkapi dengan munculnya idola-idola anak muda seperti selebriti, pemain film dan lain-lain yang secara tidak langsung mempersuasi generasi muda untuk menggunakan bahasa asing sebagai bahasa andalan di kehidupan sehari-hari.