Mohon tunggu...
Belfa Yulita Nur Asifah
Belfa Yulita Nur Asifah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

NIM: 43122010161 Fakultas: Ekonomi dan Bisnis Program Studi: Manajemen Dosen Pengampu: Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Saya Ingin Bahagia: Etika Eudaimonia Aristotle

17 Juni 2023   15:37 Diperbarui: 17 Juni 2023   16:52 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

APA ITU KEBAHAGIAAN DALAM ETIKA EUDAIMONIA?

            Secara mendasar kebahagiaan adalah perasaan puas, tenang, dan senang yang bertahan lama dengan keberadaan kita. Setiap orang berusaha untuk bahagia setiap saat. Ketika kita merasakan kebahagiaan, kita berharap itu tidak akan pernah berakhir.  

            Keinginan dan tujuan akhir setiap orang dalam hidup adalah menjadi bahagia. Setiap tindakan yang mereka lakukan diarahkan untuk mencapai kebahagiaan. Banyak dari kita masih tidak memahaminya, sekalipun kesenangan sejati hanya dapat ditemukan di dalam diri sendiri atau di dalam pemikiran sendiri, kebanyakan orang mencarinya di lain tempat. Sebenarnya, uang, kekayaan, dan kebanggaan atau posisi seseorang hanyalah sarana untuk mencapai kebahagiaan.

            Setiap makhluk memiliki cara tersendiri untuk mencapai tujuannya. Setiap individu pula memiliki cara pandang yang unik. Sudut pandang yang banyak ini didukung oleh ide dan pengetahuan seseorang, sehingga menjadi jalan hidup bagi mereka. Selain itu, karena definisi kesenangan dan kesejahteraan setiap orang berbeda satu sama lain, begitu pula perbedaan cara pandang mereka terhadap konsep-konsep ini.

            Dalam pandangan ajaran Buddha, ketika seseorang dapat membersihkan kekotoran batin (kilesa) yang sekarang mereka miliki, mereka akan bahagia dan sehat.

            Ketika kita dengan tulus memperhatikan kesehatan dan kebahagiaan orang lain, hati kita terasa hangat, terbuka dan terhubung dengan orang lain, dan kita sendiri merasakan perasaan sejahtera yang sejati, menurut Sang Buddha, yang menyatakan bahwa ini adalah sumber terbesar dari kebenaran sejati.

            "Etika eudaimonia" mengacu pada teori atau pendekatan etika yang didasarkan pada konsep eudaimonia. Dalam konteks ini, eudaimonia dipandang sebagai tujuan akhir atau kebaikan tertinggi kehidupan manusia, dan keputusan serta tindakan etis dievaluasi berdasarkan kontribusinya untuk mencapai eudaimonia. Eudaimonia berasal dari kata eu, yang berarti bagus, baik, dan daimon, yang berarti roh, kekuatan batin.

            Istilah ini secara harfiah mengacu pada keadaan kebahagiaan yang disebabkan oleh perlindungan roh yang baik hati. Salah satu filsuf yang mempengaruhi Aristoteles mengenai konsep eudaiomonia adalah Socrates.

            Dalam etika eudaimonia, fokusnya adalah menjalani kehidupan yang berbudi luhur dan terpenuhi daripada sekadar mengejar kesenangan atau kebahagiaan subjektif. Konsep eudaimonia menekankan pengembangan kebajikan moral, penanaman keunggulan, dan realisasi potensi penuh seseorang sebagai manusia.

            Kebahagiaan yang didambakan dalam prinsip ini adalah menyebarkan energi kebaikan kepada orang lain melalui tindakan nyata untuk kepentingan bersama. Karena kebahagiaan eudaimonia adalah kebahagiaan yang sebenarnya, kebahagiaan ini tidak hilang atau kosong setelah sumbernya hilang dari pandangan atau perasaan.

            Teori etika yang mengacu pada konsep eudaimonia sering mementingkan kebajikan seperti kebijaksanaan, keberanian, keadilan, kesederhanaan, dan kasih sayang. Kebajikan ini dipandang sebagai bagian integral untuk mencapai eudaimonia dan membimbing individu dalam membuat pilihan etis yang mengarah pada kehidupan yang baik dan bermakna.

            Jika Plato mengatakan bahwasannya kebahagiaan hanya ada pada jiwa, jadi jika jiwa tetap terikat pada tubuh yang kotor, jiwa tidak benar-benar bahagia. Kebahagiaan hanya dapat dirasakan dan diperoleh di akhirat. Berbeda halnya dengan Aristoteles yang menolak pendapat Plato tersebut. Ia mengutarakan bahwa kebahagiaan adalah kebaikan intrinsik yang menjadi tujuan diri setiap orang. Lebih tepatnya, kebahagiaan adalah hidup yang harmonis dan memuaskan yang diperoleh oleh manusia di dunia saat mereka berusaha untuk mencapainya, berkaitan dengan apa yang kita butuhkan di dunia ini.

            Salah satu contoh menonjol dari etika eudaimonia adalah etika kebajikan Aristoteles. Aristoteles berpendapat bahwa eudaimonia dicapai melalui penanaman dan penerapan kebajikan, yang melibatkan menemukan rata-rata antara ekstrem dan bertindak sesuai dengan akal. Menurut Aristoteles, tindakan bajik berkontribusi pada perkembangan pribadi dan kesejahteraan masyarakat.

            Kebahagiaan adalah tujuan yang berharga dalam dirinya sendiri, bukan sesuatu untuk dikejar demi tujuan lain. Ia begitu menempati posisi teratas dalam hirarki aspirasi atau keinginan seseorang. Akibatnya, seseorang yang mengaku puas tidak mungkin membutuhkan hal lain. Jika orang-orang yang sudah puas membutuhkan tambahan, itu tidak masuk akal.

            Menurut Aristoteles, dengan seorang manusia mencapai kebahagiannya maka manusia tersebut tidak memerlukan apa-apa lagi. Baginya, pengetahuan saja tidak cukup, melainkan seseorang harus melakukan tindakan. Tindakan yang dilakukan mencerminkan kemampuan manusia bukan tindakan yang sia-sia. Hal ini disebut dengan rasio.

            Dua kategori kebajikan yang disebutkan oleh Aristoteles. Pertama, keutamaan moral. Aristoteles mengatakan bahwa kebajikan adalah kualitas yang memungkinkan orang untuk memutuskan antara dua ekstrem yang berlawanan. Dengan kata lain, kebajikan adalah keseimbangan antara kebajikan dan keburukan seseorang. Kedua, pentingnya kecerdasan. Dua tujuan akal manusia, menurut Aristoteles, adalah untuk mengetahui kebenaran (rasio teoretis) dan untuk memberikan arahan dalam mengambil keputusan (rasio praktis).

            Penting untuk dicatat bahwa filsuf dan teori etika yang berbeda mungkin memiliki interpretasi dan pemahaman yang berbeda tentang etika eudaimonia. Konsep tersebut telah dieksplorasi dan dikembangkan oleh berbagai pemikir sepanjang sejarah, masing-masing menawarkan perspektif mereka sendiri tentang bagaimana menjalani kehidupan yang baik dan memuaskan. Maka dari itu, eudaimonisme juga sering disebut sebagai etika kesempurnaan hidup atau etika pengembangan diri.

           

MENGAPA KITA HARUS BAHAGIA?    

            Apakah mereka kaya atau miskin, setiap orang berhak atas kesenangan di dunia ini karena, seperti yang pertama kali dikemukakan Aristoteles, kebajikan adalah yang paling dihargai dalam hidup. Tujuan hidup setiap manusia adalah bahagia. Karena kebahagiaan adalah tujuan utama yang harus dicapai, maka yang mendambakannya adalah orang-orang yang memiliki tujuan hidup. Menurut Aristoteles, menemukan kebahagiaan adalah usaha manusia.

            Aristoteles mengatakan bahwa kebahagiaan adalah tujuan dari semua tindakan manusia. Aristoteles juga tidak menganggap kebahagiaan sebagai sesuatu yang hedonis, seperti yang dikatakan Epikuros, yang mengatakan bahwa jika seseorang ingin bahagia, mereka harus meninggalkan penderitaan dan mengejar kenikmatan. 

Kebahagiaan akan datang kepada mereka yang memiliki prioritas dalam hidup mereka. Kebahagiaan itu sendiri bergantung pada keutamaan. Keutamaan ialah suatu status karakter yang sesuai dengan keputusan dan berada di tengah-tengah, yaitu yang tepat untuk kita. Prinsip akal budi menentukan posisi di tengah-tengah, dan orang yang memiliki kebijaksanaan praktis dapat menentukannya. Orang yang hidup atau bertindak sesuai dengan moral disebut sebagai manusia utama.

            Kebahagiaan dapat dicapai oleh setiap orang dengan caranya sendiri. Kemampuan setiap individu untuk mencapai kebahagiaan juga berbeda. Semakin seseorang memandang kebahagiaan sebagai tujuan akhir dalam hidupnya, semakin terfokus dan mendalam mereka dalam menjalani kehidupan yang bahagia. Aristoteles berpendapat bahwa manusia harus menjalankan aktivitasnya menurut keutamaannya supaya mereka bahagia.

            Keutamaan (arete) yang dimaksud oleh Aristoteles ialah keutamaan yang mendorong orang untuk berbuat baik. Sebaliknya, hidup dalam keutamaan dimaksudkan oleh Aristoteles ialah hidup yang benar-benar diatur. kehidupan yang diatur oleh norma-norma etika dan moral yang berlaku secara umum dalam masyarakat tertentu. Dalam kasus ini, aturan moral harus dilihat sebagai sesuatu yang dapat dipahami dan berasal dari dorongan manusiawi untuk melakukannya, bukan dari sumber luar.

            Aristoteles bertanya mengapa kebahagiaan harus dibandingkan dengan aktivitas daripada potensi, karena aktivitas lebih penting daripada potensi. Orang tidak akan bahagia jika mereka menikmati segalanya secara diam-diam. Sebaliknya, mereka akan bahagia jika mereka menggunakan potensi mereka secara aktif. Jadi, yang menyenangkan ialah jika kita berkembang sehingga bakat kita menjadi kenyataan. Di sini, jelas bahwa tindakan, kegiatan, atau perbuatan (juga dikenal sebagai poises) sangat penting untuk mengembangkan bakat atau potensi tersebut. Dengan kata lain, kita harus bertindak atau berbuat secara aktif untuk mencapai tujuan kebahagiaan.

            Menurut Aristoteles, untuk memperoleh keutamaan kita harus mulai dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang baik secara objektif saja, ini berarti bahwa perbuatan-perbuatan yang umumnya dianggap baik akan membuat watak kita menjadi kebiasaan yang kokoh, dan kemudian kita dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang baik berdasarkan keutamaan kita. Hidup menurut keutamaan (obyektif) dapat menghasilkan keutamaan pribadi, yang menyebabkan perbuatan dilakukan karena keutamaan.

            Makna terpenting adalah bahwa kehidupan moral membawa kebahagiaan; kebahagiaan dicapai melalui pengembangan aktif dimensi yang diperlukan manusia, bukan melalui keinginan malas untuk menikmati segala sesuatu yang menyenangkan. Aristoteles menunjukkan bahwa hidup yang bermakna dapat membuat seseorang bahagia.

BAGAIMANA CARA UNTUK MERAIH KEBAHAGIAAN?

            Hal yang paling buruk, menurut Aristoteles, adalah menjadikan orang lain atau bersosialisasi sebagai sumber kebahagiaan karena pada akhirnya bisa menjadi sumber masalah. Jika seseorang mencari kebahagiaan pada orang lain atau menjadikan standar sosial sebagai cara untuk memperoleh kebahagiaan, Aristoteles merasa bahwa ini sebenarnya bukan cara yang tepat untuk melakukannya.

            Kebahagiaan bagi diri sendiri dan orang lain adalah prinsip utama dari kepercayaan ini. Aristoteles mengatakan bahwa untuk mencapai eudaemonia ini diperlukan empat hal, yaitu:

  • Kesehaatan, kebebasan, kemerdekaan, kekayaan dan kekuasaan
  • Kemauan
  • Perbuatan baik
  • Pengetahuan batiniah.

            Aristoteles berpendapat bahwa setiap tindakan manusia pasti memiliki tujuan atau nilai. Tujuan awal dan tujuan akhir adalah dua jenis tujuan. Tujuan sementara hanyalah sarana untuk mencapai tujuan baru, sedangkan tujuan akhir adalah kita berperang untuk tujuan itu sendiri, bukan tujuan lain yang menarik perhatian orang lain.

            Beberapa indikator yang harus dipenuhi untuk menjadi Bahagia menurut Aristoteles antara lain:

  • Pengembangan diri
  •  Seseorang dapat menjadi bahagia dengan melakukan sesuatu daripada malas. Orang-orang menemukan bahwa hidup mereka bermakna karena mereka berkembang melalui berbagai aktivitas daripada hanya berdiam diri. Manusia merasa senang saat mereka mengembangkan dan mengungkapkan kemampuan dan bakat mereka. Kegiatan seperti itu mungkin tampak sangat sulit pada awalnya. Namun, kemajuan dalam menghadapi tantangan membuat hidup menjadi memuaskan, bermakna, dan bahagia. Tantangan itu sendiri mendorong kita untuk maju, karena tantangan itu muncul tanpa diduga. Kita otomatis harus mengambil sikap untuk mengatasi kesulitan, dan sikap ini membangun kita.
  • Berbuat kebajikan dan bersikap bijaksana
  • Sifat membedakan orang yang bijak dari binatang. Agar kebajikan ini terwujud dengan baik, seseorang harus mampu mengendalikan diri dengan baik dan mengatasi kesalahannya. Jika seseorang selalu dapat mengatasi kesalahannya dan tingkah lakunya selalu dipandu oleh kebajikannya, orang tersebut akan mencapai kebahagiaan sempurna dan menjadi orang yang benar-benar bijak.
  • Menentang Hedonisme
  • Hedonisme, menurut Aristoteles, tidak membedakan antara manusia dan hewan karena mengadopsi gaya hidup hewani pada manusia, sehingga tidak membedakan manusia dengan hewan, yang tidak masuk akal dan memalukan. Aristoteles berpendapat bahwa seseorang harus memiliki kekayaan yang cukup untuk hidup. Orang yang miskin menjadi jahat dan berperilaku rendah hati, tetapi orang yang kaya melakukan hal-hal baik untuk membuat diri mereka bahagia dan berbagi bahagia dengan orang lain.
  • Persahabatan
  • Kebahagiaan adalah dialektis. Kebahagiaan tidak akan datang langsung ketika diusahakan, tetapi mereka yang tanpa pamrih berusaha untuk membantu atau melindungi sesama akan bahagia. Jadi, eudaemonisme Aristoteles, etika kebahagiaan, tidak egosentris. Manusia memprioritaskan persahabatan sejati. Kebahagiaan yang dihasilkan oleh sahabat bukan yang paling penting dalam persahabatan sejati. Akibatnya, Aristoteles menyatakan bahwa persahabatan adalah hal yang paling penting dalam kehidupan manusia.

            Siapapun, kapanpun, dan dengan cara apapun bisa menemukan kebahagiaan. Ketika melihat berbagai cara untuk menemukan kebahagiaan, semua cara ini dapat dibagi menjadi dua kategori:

  • Internal
  • Atau kebahagiaan yang berasal dari dalam diri seseorang, misalnya memiliki tubuh yang sehat, pola pikir yang matang, dan hal serupa lainnya yang secara alami berasal dari seseorang.
  • Eksternal
  • Yaitu kebahagiaan yang berasal dari luar diri seseorang. misalnya menghabiskan waktu bersama keluarga, teman, dan hal serupa lainnya.

            Berikut ini merupakan beberapa cara untuk meraih kebahagiaan berdasarkan konsep etika eudaimonia, antara lain:

  • Kenali diri secara mendalam

Setelah kita menemukan identitas kita, lakukanlah apa yang kita anggap mampu untuk mencapai kebahagiaan. membuat hal-hal yang sederhana menjadi hal-hal yang luar biasa, lakukan apapun yang ingin rasakan dan mampu, asal jangan lupa batasan diri sebagai manusia dan standar lingkungan yang berlaku.

  • Mengembangkan potensi unik diri dan memaksimalkannya

Bagi mereka yang belum mengenal diri mereka sendiri, sulit untuk mengembangkan potensi diri mereka yang ada, tetapi bagi mereka yang sudah mengenal diri mereka sendiri, akan lebih mudah untuk mengembangkan potensi yang ada dalam diri mereka karena kita tahu apa yang kita mampu dan apa yang kita inginkn. Ada cara untuk meningkatkan potensi yang kita miliki, yaitu dengan mempelajari hal-hal dasar tentang potensi tersebut dan dengan bertahan untuk memaksimalkannya. Hal yang paling penting dari pengembangan potensi adalah konsistensi.

  • Menggunakan potensi diri untuk mencapai kebahagiaan hidup

Dengan mengetahui potensi kita dan cara mengembangkannya, kita dapat menggunakan potensi kita untuk mendapatkan kebahagiaan. Ketika kita menikmati potensi kita, itu akan bertahan selamanya karena potensi itu berasal dari diri kita sendiri. Ini sejalan dengan gagasan tentang kebahagaiaan yang kekal dan berasal dari diri sendiri, atau eudaimonia. Aristoteles membedakan kebahagiaan dan kesenangan. Dia percaya bahwa kepuasan, kebahagiaan, atau kenikmatan adalah hal yang sama dan bersifat sementara. Tidak sama dengan kebahagiaan yang bertahan selamanya. Kebahagiaan adalah tujuan dari setiap pertanyaan yang kita cari.   

            Aristoteles mendefinisikan kebahagiaan sebagai aktivitas manusia untuk mencapai pencerahan, bukan menikmati hasil atau prestasi. Kebahagiaan adalah kebajikan yang dikejar.

            Dengan kata lain, manusia selalu ingin hidup bahagia. Beberapa orang menginginkan penderitaan dalam hidupnya, tetapi itu karena keadaan mereka, bukan karena mereka ingin menghindari penderitaan itu sendiri.

            Ini adalah kenyataan yang sekarang terjadi di negara kita: orang-orang hidup dalam ketidakbahagiaan karena kemiskinan, kelaparan, dan kurangnya perhatian pemerintah terhadap penderitaan mereka. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa "eudaemonisme lebih mengedepankan kepentingan individual (pribadi) atau kelompok tertentu daripada kepentingan bersama".

https://umb-post.mercubuana.ac.id/pluginfile.php/78682/mod_resource/content/1/ETIKA%20HUKUM.pdfInput sumber gambar
https://umb-post.mercubuana.ac.id/pluginfile.php/78682/mod_resource/content/1/ETIKA%20HUKUM.pdfInput sumber gambar

DAFTAR PUSTAKA

Dardiri, A. (n.d.). Etika Aristoteles.

Rozak, A. (2022, January 20). Retrieved from https://dosenppkn.com/eudaemonisme/

Zarkasyi, E. N. (2022, April 4). Retrieved from https://anakpanah.id/post/Aristoteles-dan-Kebahagiaan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun