Bagaimana hasil pemaparan visi-misi, Tanya-jawab, tanggapan dan penguasaan debat dari tiga pasangan calon Gubernur DKI Jakarta selama tiga kali debat?
Agus-Sylvi
Secara keseluruhan hasil debat yang ditampilkan pasangan Agus-Sylvi lebih normatif, menonjolkan kesantunan dengan menggiring curahan hati, cerdas merangkai kata-kata manis yang mampu meyakinkan pendengar lebih kearah motivasi alias menampilkan cover yang tidak berisi, tidak lebih hanya sebatas filosofi edukasi yang selalu ditampilkan Vicky Prasetyo di salah satu acara televisi.
Jawabannya sangat mengejutkan, antara pertanyaan dan jawaban tidak nyambung alias filosofi edukasi curahan hati akibat mengandalkan hafalan sehingga menimbulkan sasaran yang tidak fokus dan terlihat ada settingan materi yang sudah diatur.
Kesulitan yang dimiliki Agus-Sylvi terutama Agus adalah tidak punya pengalaman secuilpun soal birokrasi, ibarat “Anak ingusan yang perlu dituntun bagaimana caranya membuang ingus”.
Berharap sylvi sebagai wakil Agus mampu mengimbangi calon lain terutama calon petahana yang sama-sama berpengalaman di birokrasi justru tidak maksimal. Yang terjadi lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengkritik sehingga program yg dimunculkan tidak ada kecuali memimpin dengan hati “Komitmen”.
Pada debat ketiga contoh soal narkoba, Agus akan menindak atau menghukum pengedar sedangkan pemakai direhabilitasi. Jika pemakai direhabilitasi maka semua pengedar akan mengaku sebagai pemakai untuk menghindari hukuman sehingga bukannya mengurangi pengguna narkoba justru meningkatkan penyalah gunaan narkoba.
Peran bantuan 1 miliar andalan Agus-Sylvi selalu diungkit baik debat pertama, kedua dan ketiga justru dikaitkan dengan membantu mengatasi narkoba, tidak jelas bagaimana peran bantuan 1 miliar untuk mengatasi narkoba.
Apakah diberi bantuan dengan tunai akan mampu mengatasi narkoba? Justru dengan bantuan tunai tersebut tanpa mempertimbangkan syarat-syarat akan memberi peluang bertambah besar penyalah gunaan narkoba.
Penampilan Agus-Sylvi selama debat bingung program sendiri, tidak hanya hafalan tetapi mengarang-ngarang kata seperti contoh saat Sylvi menyebut “PKK dibatasi”.
Siapa yang membatasi peran PKK?
Jadi, Secara keseluruhan dari tiga debat yang diikuti Agus-Sylvi menghasilkan komitmen bagaimana mengolah kata-kata “hati” untuk menampilkan kesantunan melalui suatu settingan, hafalan dan ditopang dengan karangan hanya sebatas “Meyakinkan” sehingga untuk meraih suara pemilih untuk putaran kedua sulit terwujud apalagi bermimpi menang satu putaran.
Ahok-Djarot
Sebagai petahana untuk mengukur keberhasilan atau kegagalan dapat diukur dan dilihat sejauh mana pencapaian yang dirasakan warga DKI Jakarta.
Artinya, cerminan dari apa yang disampaian pada debat sama halnya program-program yang sudah dilaksanakan dilapangan sehingga antara fakta dan kebohongan tidak bisa dipungkiri.
Salah satu contoh polemik Kalijodo, terjadi perdagangan perempuan, praktek prostitusi, kumuh, perjudian dan lain-lain yang sempat ingin dihancurkan FPI namun gagal, akhirnya berubah total atas ketegasan Ahok-Djarot.
Ketegasan dalam artian menegakkan konstitusi yang berkeadilan social setiap warga baik yang berpenghasilan kecil hingga besar.
Dari semua materi yang diperdebatkan sudah dijalankan dan beberapa program sudah berhasil sehingga apa yang dipaparkan Ahok-Djarot dari tiga debat soal konteks, hukum dan eksekusi dilapangan lebih unggul dan realistis sehingga wajar ada yang mengatakan isi substansi yang disampaikan Ahok-Djarot lebih diterima dan masuk akal.
Banyak program-program yang dicapai seperti program KJP, KJS, PPSU, Transparansi keuangan, tertib dan disiplin birokrasi, kekumuhan dibenahi dengan relokasi berjalan sukses, fasilitas rusun gratis, even-even antar rusun, taman hijau, ruang publik terpadu ramah anak-RPTRA, normalisasi sungai-sungai menjadi bersih , banjir berkurang, penggunaan system elektronik dan lain-lain telah disampai dengan lugas di tiga debat dan warga DKI Jakarta menyadari bahwa itu adalah fakta.
Warga DKI Jakarta terlalu lelah mengikuti berbagai tahapan pilkada yang terlalu panjang sehingga ingin segera mengakhiri dengan waktu yang sesingkat-singkatnya dengan cara mewujudkan kemenangan Ahok-Djarot dengan satu putaran.
Anies-Sandi
Implementasi suatu program yang disampaikan Anies-Sandi jauh panggang dari api, terutama Anies bicara lebih ke retorika sehingga pendengar khusus warga ekonomi menengah kebawah dan yang berpendidikan dibawah SMA kemungkinan sulit mencerna dan akhirnya terpengaruh dengan olahan kata manis yang seolah-olah mampu mewujudkan program yang dimaksud.
Sebaliknya, Bagi warga ekonomi keatas atau yang berpendidikan diatas SMA sedikit banyak bisa memahami secara substansi olahan kata yang justru dicap sebagai retorika semata.
Terlihat banyak kritikan-kritikan yang dimunculkan sehingga menutupi program-program yang ingin ditawarkan.
Contoh debat kedua, kritikan yang dibangun dengan menampilkan data dan angka tidak ada efek menyentuh ke masyarakat seperti contoh saat menampilkan data WDP tidak ada efek apapun terhadap masyarakat.
Apakah suatu provinsi mendapat penghargaan WDP lebih buruk dari WTP? Faktanya, Provinsi yang meraih WTP banyak kepala daerahnya terlibat korupsi sehingga data yang disampaikan Anies tidak menyentuh dan mempengaruhi substani program yang menyentuh masyarakat secara langsung.
Opini dan retorika yang dibangun Anies dengan menampilkan data-data bahwa kepemimpinan Ahok-Djarot dianggap gagal tidak berhasil meyakinkan publik.
Justru yang menonjol program OK-OCE dari Sandi sebagai calon wakilnya, dari tiga debat yang diikuti selalu muncul dan hebatnya program OK-OCE bisa multi fungsi.
Artinya, semua materi tiga debat bisa dikaitkan dengan program OK-OCE, mungkin karena minim program saat debat hanya menghabiskan waktu berolah kata, momen yang terpenting saat sesat bertanya justru dimanfaatkan menyerang Ahok dengan melempar pertanyaan ke calon lain.
Saat Sandi bertanya ke Sylvi selama di pemerintahan Provinsi saat dijabat Ahok, merupakan pertanyaan konyol dan tidak masuk diakal.
Sementara contoh lain, Pelayanan publik dihubungkan dengan penciptaan lapangan pekerjaan yang berbasis program OK-OCE, sungguh tidak nyambung.
Penyandang disabilitas ikut pelatihan OK-OCE, pemakai narkoba juga diarahkan ke program tersebut, bahkan materi debat pertama dan kedua dihubungkan dan diarahkan ke OK-OCE.
Pada debat ketiga terlihat jelas kekonyolan yang ditunjukkan Sandi, saat ditanya jawabannya tidak nyambung lebih mengarah OK-OCE dan disertai dengan curhat soal dukungan partainya.
Keanehan yang terjadi adalah program OK-OCE sudah berjalan dan dikuti ratusan peserta pelatihan sebelum terpilih, tidak jelas siapa pesertanya apakah dari kalangan warga atau pesertanya diplot dari karyawan-karyawan perusahaan Sandi?
Jika pesertanya dari karyawan perusahaan sandi maka ada manipulasi, kebohongan publik untuk meraih simpati bahwa memang benar ada pesertanya di OK-OCE.
Anies-Sandi berharap ada debat selanjutnya atau keempat, namun tiga sesi debat cukup untuk membuka aksi retorika dan manipulasi program “OK-OCE” yang dianggap sudah berjalan.
Jadi, Secara keseluruhan dari tiga debat yang diikuti Anies-Sandi sudah cukup menghasilkan bagaimana kita paham cara beretorika dan memanfaatkan program tunggal “OK-OCE” multi fungsi untuk semua persoalan sehingga untuk meraih suara pemilih untuk putaran kedua hanya dalam mimpi apalagi berhalusinasi menang satu putaran.
Kesimpulan, Warga DKI Jakarta diuntungkan dengan tiga sesi debat yang diselenggarakan KPU sehingga dapat melihat dan menilai pasangan calon mana yang realistis.
Jalan terbaik bagi warga DKI Jakarta adalah mewujudkan satu putaran memilih pasangan calon yang sudah jelas kerja dan hasilnya ada pada pasangan Ahok-Djarot.
Bel peringatan berdering kencang tanggal 15 Februari 2017, sampai akhirnya Balada dua pasangan calon akan berakhir dengan kesedihan dengan memunculkan kemenangan satu pasang calon.
Salam Wiro Sableng…
Sumber :satu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H