Oleh Pst. Postinus Gulö, OSC: Dosen MK Hukum Sakramen Perkawinan di Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan
A. Pengantar
Kita mesti menyadari bahwa banyak umat Kristen Katolik memilih panggilan menikah. Oleh karena banyak yang memilih panggilan ini, maka pasti banyak pula yang perlu dipersiapkan. Bahkan, banyak pula tantangan yang akan dihadapi oleh Gereja dan calon pasangan itu sendiri. Dalam pokok pembahasan ini, kita akan mempelajari seputar pencatatan perkawinan beserta tantangan-tantangan yang perlu diberi solusi atasnya. Supaya lebih jelas marilah kita simak contoh kasus di bawah ini:
Kasus: Tempat Perayaan dan Pengurusan Administrasi Perkawinan
Pastor, saya Gerard, umat Paroki St. Fransiskus Asisi akan melangsungkan perkawinan dengan Alexia, umat Paroki Santa Maria. Intinya, kami sama-sama beragama Katolik, dari Keuskupan yang sama tetapi berbeda paroki. Ada dua pertanyaan saya: a) Di gereja paroki manakah kami seharusnya melangsungkan perkawinan, di Gereja Paroki St. Fransiskus atau St. Maria? b) Di manakah kami mesti mengurus administrasi perkawinan?
Pembahasan dan Solusi
Saudara Gerard yang baik, terima kasih atas kedua pertanyaan Anda, yang sebenarnya saling terkait. Tentu saja Gereja berusaha agar calon pasangan suami-istri mendapat jaminan tempat pelayanan perkawinan Katolik. Terkait kedua pertanyaan Anda, kami mencoba menjawabnya satu persatu dalam paparan berikut.
Pertama, tempat perayaan perkawinan. Jika calon mempelai sama-sama beragama Katolik, maka mereka bebas untuk memilih apakah perkawinan akan dirayakan di gereja paroki tempat domisili atau kuasi domisili atau kediaman sebulan dari mempelai laki-laki atau dari mempelai perempuan (bdk. kan. 1115). Paroki domisili adalah paroki di mana calon mempelai tinggal secara tetap dan telah berada di situ genap lima tahun (kan. 102 §1). Paroki kuasi-domisili, yakni paroki di mana calon telah tinggal sekurang-kurangnya tiga bulan (kan. 102 §2).
Bila calon mempelai berbeda agama (antara Katolik dengan Islam atau Budha atau Hindu) dan berbeda Gereja (antara Katolik dengan Protestan), maka tempat perayaan perkawinan dapat dirayakan di gereja paroki domisili pihak Katolik atau kuasi domisilnya atau kediaman sebulan (kan. 1115; 1118).
Terkait pertanyaan Gerard, maka tempat perayaan perkawinan boleh di Paroki St. Fransiskus atau di Paroki Santa Maria. Gerard dan Alexia silakan memilih salah satu gereja paroki yang bagi kalian tidak sulit mempersiapkan dan melangsungkan perkawinan. Silakan berkomunikasi dengan Pastor Paroki masing-masing sebelum menentukan gereja mana yang kalian pilih. Di beberapa Keuskupan ada aturan bahwa perkawinan antara kedua mempelai yang sama-sama beragama Katolik hendaknya dilangsungkan di gereja paroki mempelai perempuan. Namun, aturan ini bukan suatu keharusan dan juga tidak terkait dengan keabsahan perkawinan. Aturan ini dilatarbelakangi oleh kebiasaan atau budaya setempat.
Kedua, tempat untuk mengurus administrasi perkawinan. Oleh karena kedua calon mempelai sama-sama beragama Katolik, tempat mengurus administrasi perkawinan sama dengan tempat perayaan perkawinan. Jadi, jika kalian sepakat melangsungkan perkawinan di Paroki Santa Maria, maka paroki yang akan mengeluarkan Surat Perkawinan (testimonium Matrimonii) adalah Paroki Santa Maria tersebut. Hanya saja, masing-masing pasangan perlu melaporkan kepada paroki tempat baptis masing-masing agar berita perkawinan Anda dicatatkan di dalam administrasi paroki (dicantumkan dalam Surat Baptis sebagai bukti perubahan status umat Kristen Katolik).
Umumnya, dokumen-dokumen yang perlu dipersiapkan oleh calon mempelai untuk mengurus perkawinan di paroki, antara lain:
Surat baptis terbaru (6 bulan terakhir). Kami sarankan agar Pastor Paroki atau Pastor Vikaris Paroki atau Sekretaris Paroki, tidak hanya sekadar mengumpulkan surat baptis calon mempelai. Surat baptis itu perlu dikonfirmasi keasliaan dan kebenarannya ke paroki yang tertera dalam surat baptis tersebut. Dalam beberapa kasus, calon mempelai memalsukan surat baptis. Tindakan pemalsuan itu bisa lolos oleh karena Pastor Paroki atau Pastor yang melakukan penyelidikan kanonik tidak mengecek keaslian atau kebenaran surat baptis tersebut.
Sertifikat Kursus Persiapan Perkawinan (KPP). Di beberapa paroki ada aturan kadaluwarsa sertifikat KPP. Misalnya, ada paroki yang mengeluarkan aturan bahwa jika sertifikat KPP sudah lebih satu tahun, maka calon mempelai diminta ikut kursus lagi. Kendati aturan kadaluwarsa ini tidak diatur dalam hukum Gereja, tetapi niat di baliknya itu baik, yakni agar calon pasutri sungguh siap memasuki perkawinan dengan pengetahuan yang memadai mengenai perkawinan Katolik, kesiapan rohani, tanggung jawab moral, dan kesiapan memasuki hari-hari perkawinan. Hanya saja, aturan-aturan lokal semacam ini hendaknya tidak mempersulit calon pasutri melangsungkan perkawinan.
Surat pengantar dari ketua kring/lingkungan. Surat ini membantu Pastor Paroki atau Pastor Vikaris Paroki untuk memastikan status bebas (liber) dari calon mempelai. Umumnya, Ketua Lingkungan mengenal umat Katolik di lingkungannya. Namun, mereka yang merantau tidak selalu dikenal oleh Ketua Lingkungan bahkan oleh Pastor Paroki. Oleh karena itu, jika umat Katolik merantau ke tempat lain, hendaknya melapor kepada Pastor Paroki setempat dan Ketua Lingkungan tempat tinggal; atau, aktif datang ke gereja dan kegiatan-kegiatan lingkungan. Seandainya perantau itu tidak melapor kepada Ketua Lingkungan, hendaknya umat Katolik yang mengenal perantau tersebut berinisiatif mendekatinya agar melapor kepada ketua lingkungan atau Pastor Paroki; atau bisa juga umat Katolik yang mengenal perantau itu menginformasikannya kepada Ketua Lingkungan. Kita perlu aktif mencari, mengenal dan merangkul “kawanan domba” kita! Ketua Lingkungan hendaknya menghindari tindakan mempersulit calon mempelai saat meminta surat pengantar yang dibutuhkan untuk melangsungkan perkawinan.
Selain dokumen-dokumen di atas, jika dianggap perlu, bisa diminta dua dokumen lain. Pertama, fotokopi Kartu Tanda Penduduk dan Kartu Keluarga. Dalam kedua dokumen ini ditulis status perkawinan setiap warga Negara. Dokumen ini membantu Pastor Paroki mengecek status liber calon pasutri. Kedua, surat keterangan status liber, yang menyatakan bahwa calon mempelai memiliki status bebas atau tidak pernah menikah sebelumnya atau pasangannya telah meninggal dunia. Ahli hukum kanonik P. Silvester Susianto Budi, MSF menjelaskan bahwa surat keterangan status liber ini bisa diminta dari minimal dua orang yang kesaksiannya dapat dipercaya; maka, sebaiknya, bukan dari keluarga bersangkutan dan bukan pula dari orang yang tidak dapat dipercaya. Pastor yang melakukan penyelidikan kanonik perlu mengantisipasi tidak terjadinya penipuan atas ikatan perkawinan terdahulu.
Dua dokumen terakhir ini diminta, misalnya, jika Pastor yang melakukan penyelidikan kanonik kurang mengenal calon mempelai, atau calon mempelai adalah perantau. Kami sendiri pernah mengurus beberapa kasus perkawinan di mana calon mempelai laki-laki menyembunyikan informasi bahwa ia pernah menikah secara sah. Akibatnya, perkawinan yang ia langsungkan tidaklah sah.
Jika Gerard dan Alexia melangsungkan perkawinan di Paroki Santa Maria, maka setelah upacara perkawinan, Pastor Paroki atau Pastor Vikaris Paroki Santa Maria hendaknya secepat mungkin mencatatkan perkawinan tersebut dalam Buku Perkawinan di Paroki Santa Maria dan juga segera mengirimkan berita perkawinan tersebut ke Paroki St. Fransiskus, tempat di mana Gerard dibaptis agar dicatatkan dalam Buku Baptis Paroki (lih. kan. 1122).
Demikian paparan kami mengenai tempat dan pengurusan administrasi perayaan perkawinan secara Katolik. Semoga bermanfaat. Tuhan memberkati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H