Mohon tunggu...
Belarminus Budiarto
Belarminus Budiarto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

MAHASISWA

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Allah adalah Kebenaran dan Kebahagiaan Sejati

29 April 2021   18:15 Diperbarui: 29 April 2021   18:22 1015
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

1. Pengantar

Sejatinya, manusia merupakan mahluk yang selalu mendambakan dan merindukan apa yang disebut dengan kebenaran dan kebahagiaan. Siapakah yang dalam hidupnya tidak pernah mendambakan dan merindukan kebenaran dan kebahagiaan? Apa yang mendorong mereka mendambakan dan merindukan kebenaran dan kebahagiaan tersebut? Barangkali pernyataan dan pertanyaan semacam ini menjadi tolok ukur  bagi setiap orang untuk mengenal arti dan makna hidupnya. Apabila dikaji lebih mendalam kita tentu akan bertanya-tanya, kebenaran dan kebahagiaan seperti apakah yang dimaksudkan? Apakah kebenaran dan kebahagiaan itu.

Kata "kebenaran dan kebahagiaan" selalu merujuk pada kehidupan universal. Dua kata ini menjadi bagian yang urgen dalam kehidupan manusia. Dalam realita banyak orang mendefinisikan bahwa kebenaran ialah saat di mana manusia bertindak jujur, tidak berbuat kesalahan, tidak berdusta, tidak menipu, tidak berbohong, tidak bertopeng dan sebagainya. Singkat kata, kebenaran ialah itu yang konkret, itu yang riil, benar adanya. Kebahagiaan dalam perspektif sebagian orang ialah saat di mana keinginan dan kebutuhannya terpenuhi, misalnya ketika lulus ujian, sukses dalam pekerjaan dan sebagainya. Definisi semacam ini lebih bersifat duniawi. 

Apakah Pandangan atau persepsi yang demikian tidak benar?  Tentu jawabannya, jelas tidak salah. Akan tetapi, manusia kurang menyadari bahwa kebenaran dan kebagagiaan sesungguhnya bersifat absolut yang terdapat dalam diri satu Pribadi yakni Allah. Kebenaran Sejati merupakan "fundasi" yang mengantar manusia pada kebahagiaan sejati pula. Kebenaran dan kebahagiaan sejati mencapai puncaknya di dalam Dia Sang Kebenaran dan Kebahagiaan yang bersifat kekal abadi. Maka dalam tulisan sederhana ini saya akan menerangkan apa arti kebenaran dan kebahagiaan yang sesungguhnya dalam korelasi antara hal yang bersifat duniawi dan surgawi.

2. Apa Itu Kebenaran

2.1. Kebenaran dalam konteks kehidupan 

Dalam ruang lingkup kehidupan manusia mendefinisikan arti kebenaran dari berbagai sudut pandang, berdasarkan apa yang dialam dan dipahaminya. Dengan demikian manusia dapat memahami dan memaknai apa itu kebenaran dalam realitas. Dalam bahasa  keseharian banyak orang  mengatakan bahwa benar berarti selaras dengan apa yang terdapat dalam realitas. Apabila tidak sesuai dengan realitas maka itu bukanlah sebuah kebenaran. Pandangan semacam ini berasal dari filsafat Aristoteles. Pemikiran Santo Agustinus pun demikian. Benar identik dengan sama, sebab, jikalau kita mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan realita, maka itu adalah sesuatu yang nihil, tak bermakna, tidak valid.

Benar dalam hal ini berarti sesuatu yang diakui secara universal, tidak dibuat-buat tetapi memiliki dasar sebagai tolok ukur sehingga manusia dapat mengatakan kebenaran itu berdasarkan realitas. Contoh konkretnya: Presiden RI saat ini adalah Ir. Joko Widodo. Kebenaran di sini terungkap jelas bahwa Joko Widodo benar-benar seorang presiden RI yang terpilih sebagai presiden periode kedua. 

Joko Widodo telah terpilih sebagai presiden RI untuk kedua kalinya. Masa pemerintahannya yang pertama berlaku dalam Periode 2015-2019, dan masa pemerintahannya yang kedua berlaku untuk periode 2019-2023. Benar dalam hal ini berarti tidak rekayasa, tidak ada penipuan, tidak bertopeng. apa yang diakui secara universal adalah sesuatu yang sesuai dengan realitas. Kebenaran (truth) memiliki multi makna, misalnya keadaan ketika terjadi kesesuaian dengan kenyataan. Sifatnya aktualitas. Kebenaran juga berarti suatu hal yang autentik, selaras dengan aslinya.

Di sisi lain kebenaran juga identik dengan kebaikan yang dilakukan manusia dalam hidupnya entah itu kebaikan yang bersifat personal maupun universal untuk mencapai suatu kebahagiaan dan kesempurnaan hidup. Kebaikan personal maupun universal ditandai dengan adanya subjek yang mengadakan dan objek yang menerima, merasakan kebaikan itu. Kebenaran setiap orang dimulai dari suatu relasi. Relasi mengantar setiap orang untuk mengenal Tuhan dan sesamanya dalam realitas. Mengenal berarti mau mencari tahu, mencintai dan menghormati orang lain.

3. Syarat-syarat untuk Menggapai Kebenaran 

3.1. Manusia Perlu Berelasi

            Berelasi dapat dilakukan dengan bermacam cara, entah itu lewat dialog atau komunikasi, dan sebagainya. Bagi saya berelasi berarti aku yang menyadari bahwa saya bukan lagi hidup sendiri melainkan hidup bersama orang lain, alam sekitar dan realitas. Menyadari akan hal ini maka saya harus mengadakan relasi yang seluas-luasnya tanpa dibatasi ruang dan waktu. Berelasi dapat dilakukan dengan siapa dan kapan saja. Saya berelasi secara intim dengan Tuhan berarti saya mau mengenal Allah secara mendalam, siapa Dia dalam hidup saya, siapa saya di hadapan-Nya. Hal yang sama pun terjadi dalam kehidupan manusia dengan sesamanya. Berelasi yang diadakan manusia bertujuan untuk saling mengenal satu sama lain tanpa dibatasi ruang gerak dan waktu. Dengan berelasi manusia saling mencintai, menghormati dapat itulah yang dinamakan berelasi sempurna. Berelasi yang baik menghadirkan apa yang disebut dengan kebaikan bersama (Bonum Commune). Berelasi yang positif mengantar manusia untuk hidup dalam kebenaran dan kebahagiaan.

3.2. Mencintai tanpa batas

Cinta merupakan kata yang didambakan  setiap insan. Siapakah yang tidak pernah merindukan cinta? Dapatkah manusia hidup tanpa cinta? Cinta bagi saya di sini merujuk kepada seluruh ciptaan yang dihadirkan Allah baik itu manusia, hewan, tumbuhan dan sebagainya. Cinta itu adalah Allah yang hadir dalam segenap ciptaan-Nya. Allah menghadirkan segala yang ada karena cinta. Cinta adalah kuasa Tuhan yang sempurna yang tidak dapat disamakan dengan cinta yang dialami oleh manusia dalam relasi dengan sesamanya. Tuhan mencintai manusia dan segenap ciptaan-Nya tanpa batas, bukan setengah-setengah. Cinta Tuhan lebih luas dari samudera raya dan lebih dalam dari lautan serta lebih tinggi dari angkasa. Inilah yang dinamakan dengan cinta sejati, universal, abadi tanpa batas. Di dalam cinta, Liyan tidak lagi orang lain. Melainkan, Liyan adalah Engkau yang dengan siapa Aku berelasi,berkomunikasi. Ketika komunikasi berlangsung intens, Engkau menjadi Aku yang lain yang dengannya Aku melakukan perziarahan hidup. Setiap hari.[1]

Arti Cinta di sini mengarahkan manusia kepada Cinta yang tanpa batas. Manusia hendaknya juga merindukan Cinta yang bersifat universal bukan personal, bukan cinta antara aku dan kamu saja, aku dan dia tetapi cinta antara aku dan sesama dan aku dengan semua mahluk yang ada di muka bumi. Cinta yang sejati tidak mengenal waktu, tidak memandang suku, agama, ras, budaya dan lain sebagainya. Aku yang mencintai segenap yang ada menggambarkan cinta Allah kepada semua ciptaan-Nya tanpa batas.

Kita juga perlu megakui bahwa Cinta itu selalu bergandengan dengan benci. Di mana ada cinta, di situ ada benci. Keduanya selalu ada bersamaan. Manusia perlu menyadari bahwa ketika ia sudah mengenal apa itu cinta maka ia juga harus menerima apa yang disebut kebenciaan. Allah yang datang dengan penuh cinta untuk menyelamatkan manusia melalui putra-Nya juga merasakan kebencian dari orang-orang yang tidak percaya kepada-Nya. Akan tetapi Cinta-Nya yang begitu luar biasa mampu mengalahkan kebencian, sehingga manusia mengalami kebahagiaan sejati yang datang dari Sang Kebenaran. Apa yang akan terjadi jikalau manusia dalam hidupnya tidak saling mencintai? Akankah ia memperoleh kebahagiaan? Manusia yang dalam hidupnya tidak memahami arti cinta sejati akan memaknai cinta itu sebagai kepuasan semata, kebahagiaan yang memenuhi kebutuhannya.

3.3. Hidup Dalam kejujuran dan Kebenaran

Kejujuran  selalu dipahami dalam relasi dengan sesama. Bersikap jujur terhadap orang lain berarti mengembangkan sikap terbuka. Bersikap terbuka berarti kita muncul sebagai diri kita sendiri. Sesuai dengan keyakinan kita. Kita tidak menyembunyikan wajah kita yang sebenarnya. Kita tidak menyesuaikan kepribadian kita dengan harapan orang lain. Singkatnya, terbuka berarti kita menampilkan diri apa adanya agar lain juga mengenal kita. Ketika manusia dalam kehidupannya memiliki sikap-sikap positif seperti ini baik di hadapan Tuhan dan sesamanya maka sesunggunya  ia sudah merasakan kebenaran dan  kebahagiaan itu. Manusia tidak akan pernah menjadi orang yang benar dan tidak akan pernah mengalami kebahagiaan jikalau hidupnya diliputi dengan dusta, kebohongan, tipu daya, rasa sombong dan berbagai hal negatif lainnya. Ia akan dibenci, diasingkan bahkan tidak layak hidupnya untuk dihidupi dan akan berujung pada suatu kehancuran dan kematian. Dalam kehidupan-Nya, Allah tidak pernah berdusta, Ia adalah pribadi yang terbuka, mendengarkan keluhan dan permohonan umat-Nya. Ini menggambarkan Kemaha-kuasaan-Nya sebagai Pribadi yang benar.

Lantas! Mengapa dalam realitanya manusia seringkali berhenti pada satu titik setelah ia mengenal dan memahami apa itu kebenaran dan tidak mengaplikasikan itu dalam kehidupan sosial? Apa yang menjadi penyebab utamanya? Adapun faktor-faktor yang menyebabkan manusia bertindak demikian, misalnya karena sikap sombong, egois, keangkuhan. Pertama, Kesombongan. sikap sombong adalah tindakan manusia yang melanggar norma kesopanan. Jikalau sikap seperti ini terus ditanam dalam diri manusia maka sangat sulitlah ia membagi kepada orang lain apa yang menjadi kelebihannya. Dalam konteks ini mempertahankan kebenaran harus disertai akal budi yang sehat sehingga kebenaran itu dapat dirasakan oleh semua orang. Egois berarti kikir, tamak. Kedua, Egois. Egois masih identik dengan kesombongan. 

Egois juga dapat saya artikan ingin menang sendiri, tidak boleh ada orang lain yang melebihi saya. Egois berarti tidak mau berbagi sesuatu kepada orang lain yang membutuhkan. Dalam realitasnya manusia seringkali menutup diri terhadap kebutuhan orang lain. Ketika manusia sudah hidup sejahtera itulah kebahagiaan bafgi dirinya. Manusia lupa bahwa kebenaran akan semakin sempurna jikalau  hidup itu saling berbagi, terbuka terhadap yang lain dan terlibat dalam penderitaan orang lain. Inilah yang diajarkan oleh Kebenaran. Ketiga, Keangkuhan. Keangkuhan, kesombongan dan egois selalu melekat dalam diri manusia.

Hal ini tidak dapat dipungkiri lagi dalam realitas. Sifat manusia semacam ini tidak bisa menjadi dasar untuk seseorang melakukan kebaikan dan kebenaran karena akan menimbulkan kehancuran kehidupan dan makan dari dari kebenaran. Inilah beberapa faktor penghambat terwujudnya sebuah kebenaran dalam diri manusia. Sikap-sikap seperti ini harus dihindarkan, dimusnahkan agar manusia lebih terarah dalam mencari dan bertindak dalam kebenaran. Manusia yang berbudi hendaknya menjadi jembatan bagi yang lain untuk berbuat benar dan bahkan membuat manusia sampai pada pemahaman akan makna kebenaran itu sendiri.

4. Apa dan Siapakah Kebenaran Itu

Kebenaran bukan datang dari manusia melainkan dari Allah Sang Kebenaran itu. Kebenaran adalah itu yang dalam realitas mampu menghadirkan segala sesuatu, dan memberi hidup kepada apa yang telah dihadirkan-Nya. Itulah kebenaran sejati. Dapatkah manusia dikatakan sebagai kebenaran? Atau dapatkah seseorang mengklaim dirinya sebagai orang yang benar? 

Tidaklah berarti dan bermakna jikalau manusia dalam hidupnya menganggap diri sebagai orang yang benar dari yang benar tanpa melihat dan menyadari bahwa ada Kebenaran yang lebih luhur dari segala kebenaran. Itu adalah hal yang mustahil. Hanya orang-orang yang kurang beriman dan belum berelasi seara mendalam dengan Allahlah yang tidak dapat memahami Allah sebagai kebenaran sejati. Memang benarlah ketika manusia dalam hidupnya menilai sesamanya sebagai orang yang benar karena cara hidupnya yang baik, misalnya, saling menolong, menghormati satu sama lain. 

Akan tetapi satu hal yang pasti bahwa kebenaran atau kebaikan semacam itu bersifat duniawi. Artinya, tidak dapat dikatakan bahwa kebenaran dan kebaikan manusia tidak setara dengan kebenaran dan kebaikan Allah. Kebenaran atau kebaikan manusia berasal dari Allah sebagai Sang Kebenaran. Sebab segala yang ada dalam diri manusia bersumber pada Allah. Manusia perlu memahami Allah secara mendalam sebagai Pribadi yang benar dari segala kebenaran yang ada

4.1. Allah adalah Kebenaran Tertinggi

Allah merupakan Pribadi  yang mengenal atau mengetahui segala sesuatu. Allah adalah "Ada" yang intelligent (Inteligent Being). Artinya, Dia merupakan Subjek  dalam arti bahwa Dia mengetahui segala sesuatu dalam dunia.  Adakah manusia di bumi ini yang mengetahui segala sesuatu melebihi Allah? Siapakah dapat mengerti kehendak Allah? Pertanyaan semacam ini bertolak dari kehidupan keseharian manusia tatkala manusia menerima dan menyaksikan kuasa Allah yang dahsyat dalam perziarahannya.  Tidak ada satupun manusia di dunia ini yang melampaui kuasa Allah. Manusia tidak setara dengan Allah. Mausia hanyalah mahluk hidup yang diciptakan secitra dengan Allah, tetapi bukan setara. Allah adalah Pribadi yang maha-kuasa, Sang Pencipta, sementara manusia adalah ciptaan-Nya. Di sini manusia dapat memahami bahwa Ada realitas tertinggi yang menjadi Subjek adanya realitas yakni, Allah. Apa yang mendorong dan mendasari manusia manusia memahami hal ini? Jawabannya itu didasarkan pada iman dan akal budi manusia itu sendiri, (fides et ratio). Manusia tidak hanya merindukan kebenaran dengan akal budi tetapi kebenaran yang merujuk pada Allah sebagai Kebenaran itu.

Salah satu ciri Transendental Allah sebagai Ada (Being) adalah Kebenaran itu sendiri. Sebagai Kebenaran, Ia merupakan  Obyek yang dicari dan ingin diketahui oleh intelek. Dia adalah tujuan tertinggi dari semua ciptaan Khususnya manusia karena pada hakikatnya Dia adalah Kebenaran Prima, Kebenaran di atas segalanya. Dari pernyataan ini manusia diantar untuk mengenal, memahami secara sungguh-sungguh bahwa Allah adalah kebenaran, tidak ada kebenaran yang luhur di luar Diri-Nya. Allah adalah Jalan, Kebenaran dan hidup manusia. Bagaimana manusia bisa sampai pada suatu kebenaran sejati jikalau Allah tidak dianggap sebagai petunjuk menuju ke sana? Manusia sebenarnya harus menyadari bahwa Allah sudah mempersiapakan jalan itu dan jalan itu adalah Ia sendiri. Selain diarahkan untuk menemukan kebenaran ternyata ada suatu yang lebih luhur lagi daripada itu yakni kehidupan. Kebenaran menuntun manusia pada kehidupan yang sejati yakni hidup kekal, abadi dan bahagia bersama Allah. Kebenaran itu memesona. Dalam perziarahannya menggapai kebenaran, manusia menjadi saksi yang sungguh memesona. Sebab, ia menghidupi pesona itu.[2] Dapat diartikan di sini bahwa manusia yang sudah mengenal apa dan siapa kebenaran yang sesungguhnya merenung dan menjalani kehidupannya berdasarkan petunjuk Sang Kebenaran tadi, yaitu Allah.

5. Apa Itu kebahagiaan

5.1. Arti Kebahagiaan dalam Realitas

Kebahagiaan  dapat dimengerti sebagai pemuasan keinginan manusia untuk memiliki kebaikannya yang benar dan tepat secara nyata. Kebahagiaan dapat diartikan sebagai suatu kepuasan subyektif, perasaan puas yang dialami seorang individu, di mana keinginan tidak lagi dicari. Ketika manusia dalam hidupnya merasa puas karena apa yang diinginkan, diharapkan, dirindukan dapat terpenuhi, itulah kebahagiaan baginya. Dalam hal ini kebahagiaan bagi saya adalah apa yang diharapkan sesuai dengan kenyataan, misalnya dalam konteks perkuliahan. Ketika saya belajar secara sungguh-sungguh, mendengarkan penjelasan dosen dengan penuh konsentrasi, maka harapan saya setelah mengerjakan ujian adalah mendapatan hasil atau nilai yang baik, memuaskan. Alangkah lebih bahagia lagi ketika seseorang dalam proses perkuliahannya memiliki keseimbangan antara hidup doa dan studi. Artinya ketika seseorang mendapatkan nilai yang bagus dalam ujian dan ia menyadari bahwa apa yang dialaminya bukan karena kemampuan intelektualnya semata tetapi merupakan anugerah yang diterimnya dari Allah sebagai sumber kebahagiaan itu, maka inilah yang dinamakan dengan kebahagiaan yang saya maksud, kebahagiaan yang datang dari Allah.

Kebahagiaan dan penderitaan selalu mewarnai kehidupan manusia. Manusia tidak bisa menghindari kedua situasi ini dalam hidupnya. Bahagia dan celaka tergantung pada diri manusia sendiri yang merasakan hal itu. Bahagia atau celaka hanya sebatas soal keinginan atau kehendak manusia, apakah ia mau atau tidak, suka atau tidak menghadapi situasi semacam itu. Ketika manusia mau menghadapi situasi hidup apapun bentuknya baik itu menyenangkan dan sebaliknya maka ia akan merasakan dan menemukan kebahagiaan itu. Artinya bahagia itu berarti, pasrah yang mengacu pada keikhlasan hati manusia untuk menghadapi persoalan hidup. Ia tidak lari dari kenyataan tetapi berusaha dan mau menerima kenyataan itu dalam realitas.

6. Kebahagiaan Sejati datang dari Allah

Ada begitu banyak tokoh yang menjelaskan pengertian mengenai kebahagiaan dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Dalam penjelasan ini saya akan menggunakan pemikiran Thomas Aquinas mengenai kebahagiaan. Bagaimana Thomas Aquinas menjelaskan kebahagiaan itu? Kebahagiaan seperti apakah yang dimaksudkan Thomas Aquinas? bagaiamana manusia memperoleh kebahagiaan, apa saja yang menjadi persyaratan untuk tercapainya sebuah kebahagiaan? Pertanyaan semacam ini adalah dasar bagi saya untuk memahami kebahagiaan yang sempurna.  Menurut Aquinas untuk mencapai kebahagiaan dibutuhkan empat hal. 

Pertama, kasih yang terarah kepada tujuan itu. Kedua, keinginan yang tidak lain merupakan semacam gerakan ke arah tujuan dan tindakan-tindakan yang berasal dari keinginan itu. Ketiga, harus ada forma yang diterima oleh intelek. Dan keempat, ada kebahagiaan yang dirasakan pada akhir dari proses pencarian. Dalam mencapai kebahagiaan tertinggi dalam Allah harus ada kasih yang diarahkan kepada-Nya; ada kerinduan dalam diri manusia untuk memandang Allah; ada perbuatan-perbuatan untuk mencapai tujuan tertinggi; ada Allah sebagai objek intelek serta ada kebahagiaan sebagai buah dari penglihatan atau pertemuan dengan Allah.

Empat cara yang ditawarkan Thomas untuk mencapai kebahagiaan dimulai dari perbuatan atau tindakan manusia yang mengarah pada kebaikan misalnya berbuat kasih, menghormati satu sama lain tanpa pandang bulu. Tindakan-tindakan seperti ini sungguh-sungguh mencerminkan bahwa manusia merupakan mahluk yang secitra, segambar dengan Allah (Imago Dei). Kebahagiaan duniawi yang bersifat sementara berpuncak pada kebahagiaan  sejati yakni kebahagiaan yang datang dari Allah sendiri.

7. Cara meraih kebahagiaan Sejati

7.1. Manusia perlu berelasi dan mengenal Allah secara personal

Tidaklah cukup jikalau manusia dalam realitasnya hanya berelasi dengan sesamanya tanpa berelasi dengan Allah. Apalah gunanya jika seseorang dalam relasinya dengan sesama sangatlah baik akan tetapi menomorduakan Allah, artinya ia sendir tidak mampu menjalin relasi yang baik dengan Allah, Apakah ia bahagia? Mungkin secara jasmani ia menganggap dirinya bahagia dengan segala situasi yang dialaminya akan tetapi secara rohani belum tentu dan memang sudah pasti ia tidak akan merasakan kebahagiaan sejati. Orang yang menganggap dirinya bahagia dengan hal-hal duniawai dan karena segala yang keinginan dan kebutuhannya terpenuhi ia tidak pantas mendapat kebahagiaan sejati. Maka sangat diperlukan agar manusia dapat berelasi dengan Allah secara mendalam, personal sehingga kebahagiaan yang dikejar dan dirindukan dapat terwujud.

8. Relasi antara Kebenaran dan kebahagiaan Sejati

Kebenaran dan kebahagiaan tentu saja tidak dapat dicapai begitu saja tanpa adanya relasi antara manusia dengan realitas, baik itu dengan Tuhan-Nya, alam ciptaan dan sesamanya. Manusia perlu berjuang keras untuk mewujudkan kerinduannya itu dalam realitas melalui orang-orang disekitarnya. Sejatinya, manusia merupakan mahluk yang merindukan apa yang disebut dengan kebenaran dan kebahagiaan. Kebenaran dan kebahagiaan adalah kedua elemen yang saling memberikan kontribusi bagi kedamaian hidup manusia. Bahagia berarti damai, sejahtera. Siapakah yang tidak bahagia jikalau dikatakan sebagai orang yang benar apalagi kebenaran yang dilakukannya sesuai dengan kehendak Allah.

Kesimpulan

Proses ziarah atau perjalanan hidup manusia menuju kebenaran dan kebahagiaan berpuncak pada Allah Sang Kebenaran dan Kebahagiaan. Dalam mencari kebenaran dan kebahagiaan hidup manusia harus berjuang keras dan manusia diminta untuk memahami bahwa dirinya bukanlah kebenaran, dirinya bukanlah pribadi yang benar, tetapi ia perlu menyadari bahwa ada Pribadi lain yang lebih benar darinya yakni, Allah. Manusia juga harus memahami bahwa kebahagiaan yang dialaminya dalam dunia bukanlah kebahagiaan sejati melainkan kebahagiaan yang fana, bersifat sementara, ada kebahagiaan sejati dibalik kebahagiaan dunia yaitu Allah.  Dengan menyadari kedua hal ini manusia pada titik puncak perziarahannya akan mengatakan ternyata, Kebenaran Itu Membahagiakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun