Mohon tunggu...
Belarminus Budiarto
Belarminus Budiarto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

MAHASISWA

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Konsep Manusia Menurut Descartes

17 April 2021   11:00 Diperbarui: 17 April 2021   11:03 6234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

1. Pengantar

Salah satu ungkapan menarik Descartes dikenal dengan istilah Cogito Ergo Sum: Aku Berpikir Maka Aku Ada. Ungkapan ini mau menunjukkan hakikat manusia dalam realitas. Pada dasarnya manusia merupakan makhluk yang berpikir. Manusia yang berpikir adalah orang-orang yang mampu menunjukkan keberadaannya dalam realitas bahwa dia benar-benar ada, hidup, berpikir, berkesadaran,  meragukan sesuatu dan memiliki kemampuan atau daya untuk berpikir, mengaplikasikan dirinya dengan situasi yang dihadapinya dalam realitas.

Menurut Descartes, pemikiran atau kesadaran tidak bisa dipisahkan dari diri seseorang. Hakikat manusia adalah pemikiran (res cogitans)."Benar, aku hanyalah mahluk yang berpikir... Makhluk yang bisa meragukan, mengamati, membenarkan, menolak, menginginkan, tidak menginginkan, berimajinasi, dan merasakan."

Dalam tulisan ini saya akan mencoba menggali dan menjelaskan pemikiran Descartes mengenai Cogito Ergo Sum, yang merujuk pada penjelasan mengenai siapa itu manusia, dan bagaimana hakekatnya dalam realitas.        

2. Manusia dalam pandangan Descartes

2.1. Manusia Berjiwa dan Berbadan

Menurut Descartes, manusia terdiri dari dua substansi yang berbeda, yaitu jiwa dan badan. Dualisme Descartes ini mempersulitnya untuk menerangkan kesatuan jiwa dan badan sebagai satu pribadi, sebab menurutnya esensi dari badan adalah keluasan dan esensi dari jiwa adalah pikiran. Kesulitan selanjutnya adalah usaha untuk menerangkan gerakan badan dalam hubungannya dengan kegiatan mental. Sebab dua substansi tersebut merupakan dua hal yang sama sekali berbeda. Memang Descartes menjelaskan hubungan antara keduanya, tetapi dia sendiri merasa tidak puas dengan penjelasan itu. Perlu ditekankan lagi bahwa menurut Descartes pemikiran dan keluasan ini adalah dua substansi, yakni dua hal yang berdiri sendiri dan sama sekali tidak saling bergantung. Jiwa-Pemikiran tidak memiliki keluasan spasial (panjang, lebar, luas dan sebagainya), sedangkan Tubuh-keluasan tidak memiliki kemampuan berpikir. Dalam hal ini, Descartes dapat dikatakan menganut ajaran dualism tentang manusia.[3]

Menurutnya, jiwa manusia pastilah tidak sama dengan tubuhnya. Mengapa dikatakan demikian? Bagaimana  menjelaskan letak perbedaan itu? Di dalam diri manusia, jiwa adalah satu dan tubuh merupakan hal lain. Jikalau tubuh mengalami kehancuran tetapi tidak sebaliknya dengan jiwa. Jiwa bersifat kekal, abadi. Jiwa tidak dapat tampak secara langsung dalam realitas atau secara indrawi, sedangkan tubuh dapat dilihat, diraba, dan sebagainya. Descartes meyakini bahwa jiwa mempunyai ide-ide bawaan (Innate Ideas), yaitu kesempurnaan, kesatuan, dan ketakberhinggaaan. Dari mana asalnya ide-ide bawaan dalam jiwa manusia? Descartes meyakini bahwa Allah-lah yang mengadakan ide-ide bawaan tentang kesempurnaan dalam jiwa manusia.

2.2. Hubungan Jiwa dan Badan

Descartes dalam bukunya telah menjelaskan bahwa manusia itu terdiri dari dua substansi, yakni jiwa dan materi atau badan jasmaniah. Kemudian ia membuat distingsi antara manusia dan hewan dari segi akal budi, yang tidak lain daripada jiwa itu sendiri. Setiap manusia apa pun bentuk atau wujudnya tetap memiliki kebebasan yang bertolak dari jiwa itu sendiri. Dalam realitas yang sama, jikalau kita melihat hewan, ia juga memiliki perilaku manual, otomatis, sebab ia tidak memiliki jiwa sebagai kodratnya, melainkan hanya memiliki tubuh sebagaimana yang terdapat dalam manusia.

Dia menekankan pentingnya mengendalikan hasrat-hasrat dalam badan kita, sehingga jiwa semakin menguasai tingkah-laku kita. Dengan cara itu manusia memiliki kebebasan spiritual. Hasrat atau nafsu dimengerti sebagai keadaan pasif dari jiwa. Dalam pandangan Descartes ada enam nafsu pokok dalam diri manusia, yaitu, cinta, kebencian, kekaguman , gairah, kegembiraan, dan kesedihan. Menurutnya jikalau manusia mampu mengendalikan ke enam hal ini maka ia akan bebas, sebab kebebasannya dituntun berdasarkan penyelenggaraan Allah.

3. Hakekat Manusia dalam Realitas: Makhluk yang Berpikir, Berkesadaran dan Mencari Kebenaran

Semakin manusia dapat meragukan segala sesuatu dalam realitas, entah manusia sungguh ditipu atau ternyata tidak, termasuk menyangsikan bahwa manusia tidak dapat meragukan, kita semakin mengada (exist) dalam realitas. Akan tetapi satu hal yang pasti bahwa justru keraguan inilah yang membuktikan bahwa manusia itu nyata, benar-benar ada dalam realitas. Dapatkah manusia menunjukkan hakikatnya dalam realitas jikalau ia tidak berakal budi, berjiwa, berbadan? Hakikat manusia dalam hidupnya ditunjukkan dengan adanya akal budi, tubuh dan jiwa itu sendiri. Tanpa ketiga hal ini seseorang tidak dapat disebut manusia.

Manusia yang berakal budi, yang memiliki jiwa dan tubuh adalah sebuah kodrat yang dibawa sejak lahir yang diberikan Sang Pencipta itu sendiri. Manusia yang berakal budi adalah dia yang mampu berpikir dan  membentuk atau mencetus pengetahuannya di dalam realitas. Pengetahuan yang diperoleh setiap orang tentu saja bertolak dari apa yang disebut keraguan akan sesuatu yang dirasakan dan dialaminya.  Keraguan inilah yang merangsang manusia untuk bertanya siapa dirinya dalam realita, siapa penyebab segala sesuatu. Hal yang serupa pun pernah dialami oleh seorang filsuf ternama yakni Descartes. Keraguan Descartes akan sesuatu yang dialaminya dalam realita mampu menghadirkan sebuah cetusan baru pada abad pencerahan yakni  Cogito Ergo Sum: Aku Berpikir Maka Aku Ada.

Manusia merupakan mahluk yang berpikir dan berkesadaran. Ada dua langkah yang disampaikan  oleh Descartes dalam tulisannya untuk mengungkapkan hakekat manusia dalam realitas, yaitu, langkah yang mengarah ke dalam dan mengarah ke luar. Bagaimana Descartes menjelaskan kedua langkah itu? Dalam penjelasan berikut saya akan mengurai pemikirannya untuk menjawab pertanyaan di atas. Untuk menunjukkan bahwa manusia merupakan mahluk yang berpikir dan berkesadaran, kita perlu melihat penjelasan lebih mendalam tentang pernyataan ini melalui kajian filosofi Descartes sendiri melalui dua langkah penting. 

Langkah Pertama: Arah ke dalam: Mencari Kebenaran dalam diri. Descartes menemukan bahwa dalam diri manusia ada tiga hal yang disebutnya ide-ide bawaan" (ideae innatae). Ketiga pandangan itu adalah sebagai berikut. (1) Ide pemikiran (cogitatio): karena aku memahami diriku sebagai mahluk berkesadaran, maka harus diterima bahwa pemikiran atau kesadaran merupakan hakikatku. (2) Ide Allah (deus). Dalam berpikir- dan juga dalam bekerja- kita menghendaki kesempurnaan. Ide kesempurnaan itu tentu saja tidak berasal dariku, sebab aku adalah mahluk yang tidak sempurna dan terbatas. Oleh karena itu, harus ada sesuatu yang menjadi sebab bagi adanya ide kesempurnaan dan sebab tersebut adalah Allah.  Ide keluasan (extentio): segala sesuatu di sekitarku bisa kumengerti dalam satuan geometris (panjang, lebar, tinggi, luas, besar). Pemahaman ini mengandaikan bahwa aku memiliki ide keluasan.

Sejatinya, manusia merupakan mahluk yang berpikir. Apa yang mendorongnya untuk berpikir? ya, akal budi itu sendiri. Akal budi merupakan kodrat manusia itu sendiri atau yang disebut bagian natural dalam dirinya. Jikalau manusia tidak memiliki akal budi, maka eksistensinya tidak ada, karena manusia seluruhnya diciptakan dengan akal budi. 

Setiap orang telah dianugerahkan akal budi oleh Penciptanya sehingga dapat dibedakan dari mahluk hidup lainnya. Artinya, dia adalah mahluk yang berpikir, berkesadaran bahwa dirinya adalah mahluk yang mencari kebenaran, kesempurnaan dengan segala pengetahuannya. Dari mana pengetahuan itu diperoleh? Pengetahuan manusia itu diperoleh dari pengalaman yang kemudian dikelolah dengan baik secara bertahap oleh akal budinya sehingga membentuk apa yang disebut pengetahuan. Pengetahuan ini juga tidak serta merta diterima begitu saja tanpa adanya pertimbangan, keraguan, observasi, sehingga kebenaran itu dapat diterima oleh akal budi.

 Langkah Kedua: Menurut Descartes, selain Allah, masih ada substansi lain, yakni jiwa yang dalam hal ini adalah pemikiran, dan  materi atau keluasan. Sebagai makhluk yang berjiwa dan berbadan manusia hendaknya menyadari bahwa dirinya adalah mahluk yang berpikir, tidak terlepas dari keraguan, mengamati sesuatu, membenarkan, menolak, menginginkan, tidak menginginkan, berimajinasi, dan merasakan sesuatu dalam kehidupannya. Descartes ingin menunjukkan suatu hal yang penting kepada manusia yang menjadi kodrat manusia itu sendiri yakni, Cogito Ergo Sum: Aku Berpikir Maka Aku Ada. Ungkapan ini  mau menunjukkan bahwa setiap orang adalah mahluk yang berkesadaran, menyadari siapa pribadinya, dan apa itu kesempurnaan atau kebenaran. 

Manusia merupakan mahluk yang sadar. Ia sadar akan dirinya dan segala sesuatu yang mengitarinya. Kesadaran menggerakannya untuk menjalin relasi dengan sesama, alam ciptaan, dan Tuhan. Sebagai mahluk sosial yang memiliki akal budi, manusia perlu menyadari bahwa ia tidak hidup sendiri melainkan hidup bersama orang lain dan segala yang ada dalam realitas. Hal yang paling penting dalam hidup bersma adalah berelasi. Berelasi inilah yang membantu manusia untuk mengenal siapa dirinya, orang lain dan siapa itu Allah. 

Ungkapan Cogito Ergo Sum berarti, saya sebagai subyek menyadari bahwa saya adalah mahluk yang berpikir dan berkesadaran.  Kedua hal ini mau menunjukkan bahwa eksistensi saya pun ada dalam realitas. Melihat realitas yang terjadi sekarang ini manusia belum sepenuhnya sampai pada pemahaman mengenai siapa pribadinya atau bagaimana ia harus menunjukkan eksistensinya sebagai mahluk yang berpikir dan berkesadaran. 

Sebagai mahluk yang berakal budi dan berpengetahuan hendaknya ia bertanya mengenai siapa pribadinya, berkesadaran untuk mencari apa dan siapa sebenarnya kebenaran atau kesempurnaan itu, atau apa yang menjadi dasar keberadaan manusia. Berangkat dari pribadi yang berpikir dan berkesadaran itu muncul sebuah pertanyaan dalam diri saya, apa sebenarnya hakekat manusia? Untuk memahami hal ini saya akan menerangkan hakekat manusia menurut pemikiran Rene Descartes sendiri. Gagasan Descartes mampu menjawab apa yang menjadi keraguan dalam diri manusia, bahwa  melalui akal budi manusia berpikir, mencari dan menemukan apa yang disebut dengan kesempurnaan atau kebenaran sejati.

Ide Allah merupakan asal-usul segala apa yang ada, termasuk ada-ku. Dalam berpikir kita menghendaki kesempurnaan. Ide kesempurnaan ini tentu saja tidak berasal dari diriku, sebab aku adalah mahluk yang tidak sempurna dan terbatas. Oleh karena itu, harus ada sesuatu yang menjadi sebab bagi adanya ide kesempurnaan dan sebab tersebut adalah Allah. 

Secara tidak langsung dalam tulisannya Descartes juga mau mengatakan bahwa manusia juga merupakan mahluk yang mencari kebenaran atau kesempurnaan. Kesempurnnaan yang dimaksudkan adalah Allah. Hakikat manusia  bukan hanya ditandai dengan adanya akal budi, jiwa dan badan saja, tetapi lebih kepada bagaimana manusia itu mampu mengelolah akal budinya dengan baik dalam mencari kesempurnaan hidup. Dengan adanya daya berpikir yang luas manusia dalam hidupnya berusaha mencari kesempurnaan sejati. Dalam mencari kebenaran dan kesempurnaan ini manusia seharusnya mampu menggunakan ratio-nya secara baik sebagai tolok ukur. Ratio yang baik itu juga harus dilandaskan pada Allah sebagai kesempurnaan itu sendiri.

Tanpa akal budi manusia tidak bisa menentukan mana yang disebut dengan kebenaran dan siapa pribadi di balik kesempurnaan manusia. Akal budi membantunya untuk menentukan apa yang menjadi pencariannya. Tentu saja setiap hasil pencarian itu tidak diterima begitu saja oleh nalar manusia melainkan terlebih dahulu perlu dipertimbangkan atau diuji kebenarannya dalam realita yakni dengan akal budi. Gagasan Descartes mampu menjawab apa yang menjadi keraguan dalam diri manusia, bahwa  melalui akal budi manusia berpikir, mencari dan menemukan apa yang disebut dengan kesempurnaan atau kebenaran sejati. 

  • Kesimpulan

Cogito Ergo Sum: Aku Berpikir Maka Aku AdaDalam hal ini Descartes mau menggali, membuka kesadaran manusia sebagai mahluk yang berjiwa, memiliki badan dan akal budi (berpikir dan berkesadaran dan mencari kebenaran). Inilah hal-hal yang menjadi  hakekat manusia dalam realitas. Selama jiwa, badan dan akal budi manusia aktif ia akan berpikir, meragukan, menerima dan menolak sesuatu yang ada dalam realitas. Descartes mau menekankan bahwa tidak ada satu pun manusia  di dunia ini yang tidak memiliki jiwa, badan dan akal budi untuk berpikir selama kemampuan berpikirnya masih berfungsi. Manusia juga hendaknya menggunakan akal budinya dengan baik sehingga dapat memandang Allah sebagai kesempurnaan dan kebenaran sejati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun