Mohon tunggu...
Bela putri afrilia
Bela putri afrilia Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

memiliki hobi menulis berbagai karya sastra

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Siswa Trauma Belajar karena Dipaksa Membaca dan Berhitung Sejak Dini

2 November 2023   15:54 Diperbarui: 2 November 2023   16:02 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Lembaga Pendidikan Anak Usia Dini merupakan tahapan paling awal anak dalam mengenyam pendidikan. Rata-rata usia anak yang mulai masuk PAUD adalah 3-5 tahun. Ada 6 aspek dalam tumbuh kembang anak yaitu perkembangan nilai agama dan moral, perkembangan fisik-motorik, perkembngan kognitif, perkembangan bahasa, perkembangan sosial-emosional, dan perkembangan seni. 

Pada usia 3-5 tahun, aspek yang sedang berkembang secara pesat adalah aspek sosial-emosional serta fisik-motorik. (Annisa, 2022). Seharusnya pada tahap ini anak diberikan berbagai dorongan atau stimulus untuk mengembangkan kemampuan sosial-emosional dan fisik-motoriknya. 

Tetapi, berbeda dengan di Indonesia, Pendidikan Anak Usia Dini justru menjadi fase dimana anak dilatih untuk memiliki kemampuan membaca, menulis, dan berhitung (CALISTUNG). Ketidaksiapan anak untuk memperlajari hal itu akhirnya membuat anak merasa trauma dalam belajar.

Bukan tanpa alasan sebenarnya mengapa Lembaga PAUD menerapkan pembelajaran CALISTUNG pada anak karena pada kenyataannya ketika anak akan memasuki jenjang Sekolah Dasar, anak yang sudah memiliki kemampuan dalam CALISTUNG akan lebih diutamakan. Hal ini lah yang menimbulkan stereotipe di Masyarakat bahwa jenjang Pendidikan PAUD adalah fase dimana anak akan diajarkan membaca, menulis, dan berhitung.

Lalu apa dampak jika anak sudah diajarkan membaca, menulis, dan berhitung sejak ia masih berada di tingkat PAUD? Anak yang ´berhasil´ ketika masuk Sekolah Dasar dan sudah memiliki kemampuan membaca dan berhitung tentu tidak bisa disebut rugi. Tetapi, pada kondisi nyatanya, anak akan merasa bosan sebab ia sudah sejak usia 3 atau 5 tahun dikenalkan dengan berbagai huruf dan angka. 

Sedangkan untuk anak yang ternyata tidak ´berhasil´ jelas akan merasa tertekan dan pesimis karena ia merasa bahwa dirinya selalu gagal dalam belajar dan berhitung sehingga ketika anak memasuki jenjang SD anak akan trauma untuk kembali mempelajari hal itu.

Apakah dampaknya hanya akan berhenti sampai disitu? Tentu saja tidak. Rasa trauma anak untuk belajar tentu akan memberikan dampak kepada anak hingga anak dewasa, ketika ia menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini juga berpengaruh kepada motivasinya untuk belajar dan hasil belajar yang dicapainya. 

Data dari databoks menyebutkan saat ini hanya sekitar 6% penduduk Indonesia yang sudah mengenyam pendidikan tinggi. Dari data ini sudah dapat terlihat bahwa sebenarnya motivasi belajar penduduk Indonesia masih sangat rendah. Jika ada dari faktor lain yang menghambatnya contohnya ekonomi, negara sudah menyiapkan berbagai kebijakan untuk menyelesaikan permasalah ini dan memberikan motivasi belajar yang baik untuk penduduk Indonesia. 

Data lain dari UNESCO menyebutkan Indonesia urutan kedua dari bawah soal literasi dunia, artinya minat baca sangat rendah. Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%. Artinya, dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca. Data tersebut juga mendukung argument bahwa trauma belajar anak-anak di Indonesia berdampak pada minatnya dalam membaca

Solusi yang dapat dilakukan untuk mencegah anak trauma dalam belajar dan memiliki motivasi yang tinggi terhadap belajar adalah dengan memperbaiki sistem Pendidikan di Indonesia. Sistem Pendidikan mencakup seluruh aspek pendukung dalam kegiatan belajar mengajar seperti kurikulum dan kebijakan lainnya. 

Sesuaikan materi yang harus anak pelajari dengan usianya agar aspek dalam tahapan tumbuh kembang anak dapat berjalan dengan baik. anak akan semangat untuk belajar dan tidak akan merasa bosan apalagi trauma. Sebagaimana disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara, “Anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri. Pendidikan hanya dapat merawat dan menuntun tumbuhnya kodrat itu. ”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun