Mohon tunggu...
Anton Bele
Anton Bele Mohon Tunggu... Dosen - PENULIS

Dosen Tamu, pengampu Mata Kuliah Filsafat di Program Pasca-sarjana Interdisiplin Studi Pembangunan, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Makankah?

3 Maret 2023   12:46 Diperbarui: 3 Maret 2023   12:47 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Makankah? Ini pertanyaan dari Ayah saya, Fetor Asa, pada tahun 1986. Nama baptis Ayah, Petrus, sehingga sering dipanggil Bapa Petrus Asa. Ayah, seorang tokoh masyarakat di desa Henes, Kecamatan Lamaknen, Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur / NTT. Pada waktu itu Ayah berusia 85 tahun.  Saya dan Isteri saya, Mama Yudith Salassa dengan tiga orang anak, Grace 9 tahun, Ina 6 tahun, Isto, bungsu, 1 tahun. Kami tinggal di kota kecil Atambua, Ibukota Kabupaten Belu di pedalaman Pulau Timor. Saya dan Isteri hidup dengan pekerjaan sebagai Guru Agama, bekerja di Keuskupan Atambua, siang mengajar Agama Katolik di Sekolah, sore dan malam hari mengajar umat biasa di kelompok-kelompok dalam kota. Kami mengajak Ayah yang sudah menduda 8 tahun untuk sesekali ke kota dan tinggal bersama kami. Ayah, seorang petani tulen, buta aksara, tidak betah tinggal dengan kami sehingga hanya seminggu atau dua minggu lalu dihantar kembali ke desa Henes dan menikmati keseharian di sana bersama sesama orang desa. Aman dan tenteram.

Makankah? Ini pertanyaan Ayah kepada Isteri saya yang sedang sibuk mengurus bunga-bunga dalam pot-pot di sekitar rumah tinggal kami. Ayah bertanya dalam bahasa Buna', bahasa daerah kami. Isteri saya tidak mengerti tetapi karena penasaran, bertanya kepada saya dan saya menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Ayah memberi komentar, 'Grace punya Mama ini, buat repot diri. Bekin kotor tangan, buat capai diri, angkut pupuk, ganti tanah, siram air. Itu bunga-bunga, ada yang batangnya berduri, tidak takut luka? Itu bunga-bunga,  makankah?"

Makankah? Ayah berdiri di area pertanian, dunia di mana semua tanaman ditanam untuk dimakan hasilnya. Mama Yudith berdiri di area keindahan, bunga-bunga ditanam, dirawat untuk memenuhi selera keindahan. 

Makankah? Ini pertanyaan mendasar untuk urusan perut. Kita manusia ada empat unsur dalam diri setiap pribadi: NAFSU + NALAR + NALURI + NURANI. (4N, Kwadran Bele, 2011). TUHAN memberi empat unsur ini agar kita hidup dan mengupayakan hidup. NAFSU mendorong manusia untuk bertani, beternak supaya ada makanan untuk dimakan dan hidup. Ini yang dipikirkan oleh Ayah saya.  NAFSU juga mendorong manusia untuk menikmati  keindahan, kesenian. Bunga-bunga termasuk kebutuhan NAFSU untuk dipenuhi. Manusia ada upaya untuk bertani, beternak dan membuat alam sekitar indah dan segar. Itu lewat bunga-bunga yang dirawat oleh Mama Yudith. Ini karya NALAR. Dari segi kebersamaan, NALURI menyadarkan kita untuk saling melengkapi. Ayah saya sebagai petani, menghasilkan makanan, Isteri saya menyajikan keindahan tempat hunian. NURANI kita menyadarkan kita untuk hidup sambil bersyukur kepada TUHAN Pencipta diri kita manusia dan segala yang ada demi kita manusia bisa hidup dari hari ke hari.

Makankah? Yah, makan. Itu hasil pertanian.  Bunga-bunga itu perlu? Yah, perlu untuk pandangan mata dan rasa indah. Hidup ini senang, indah. Itu disiapkan oleh TUHAN untuk kita. Nikmati hidup. Syukuri hidup. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun