'A', satu huruf, jadi satu kata dalam bahasa Buna' di pedalaman Pulau Timor. Â Huruf 'a' adalah satu kata, tiga arti, ' makan, makanan, nasi'.Â
Sebagai catatan, Â lima huruf hidup yang kita kenal: a, i, u, e, o, dalam bahasa Buna', tiap-tiapnya itu jadi kata. 'A' = Â makan, makanan, nasi. 'I' = kita, gigit. 'U' = hidup, rumput. 'E' = garam, pohon albasia. 'O' = udang, kata sambung 'dan'. 'Makan nasi dan garam' = A o e a. 'Kita makan nasi' = I a a. 'Kita hidup' = I u. 'Rumput hidup' = U u. 'Kita yang hidup makan nasi' = I u a a. 'Kita yang hidup makan garam' = I u e a.Â
Khusus huruf 'a', yang berarti 'makan, makanan, nasi', ada filsafat yang dipahami oleh orang-orang Buna'. Huruf 'a' kalau diberi tekanan, a', artinya 'tomat'. Jadi sebenarnya, huruf 'a' ada empat arti: makan, makanan, nasi, tomat.
Kita manusia, sejak kecil, kalau lapar, buka mulut, ucapkan kata 'a'. Mulut yang terbuka, bunyi yang muncul, 'a', menyerukan, 'makan'. Makan apa, 'a', artinya 'makanan' = 'a'.
Makanan jenis apa, jagung, ubi? Makanan yang mulia, 'a' = nasi. Nasi itu nasi padi. Seorang petani suku  Buna' merasa berhasil kalau menghasilkan padi di ladangnya. Karena itulah 'a' = 'nasi',  merupakan kebutuhan utama dan mulia. Tamu disuguhi makanan, nasi padi. Kalau nasi dari jagung, biasa, untuk rakyat jelata.Â
Nasi padi, mulia, untuk tamu terhormat, untuk bangsawan. Akhir-akhir  ini oleh Pemerintah Daerah dipopulerkan makanan lokal, khususnya 'non-nasi'.Â
Sebenarnya dengan berat hati ibu-ibu masyarakat Buna' menyediakan jagung rebus, ubi atau pisang rebus kepada tamu yang datang dari kota, termasuk tamu terhormat seperti Bupati. Ini melawan rasa hormat, harga diri tuan rumah dan harga diri tamu.Â
'A', yang berarti  makanan, hasil usaha manusia, dipercayai sebagai anugerah dari 'Hot Esen', Mata Hari Yang Tinggi, TUHAN. 'I A a', satu kalimat, artinya: 'Kita nasi makan', = 'Kita makan nasi'. Bahasa Buna', sistim 'MD', terbalik dari bahasa Indonesia, 'DM', 'Diterangkan di muka yang Menerangkan.' Contoh: 'Kita Ke Jakarta', = 'I Jakarta mal', terjemahan lurus, 'Kita Jakarta pergi'.Â
Kalau makan makanan, sama dengan 'berbicara dengan TUHAN' = Â 'Hot Esen gutu dale'. Maka kegiatan makan selalu didahului dengan doa, bunyinya, 'Hot Esen, nei utu dale gie'Â = 'Tuhan, kami mau bicara dengan Dikau', dan sedikit nasi dioles ke dada dan sedikit air dituang ke tanah, tanda bersatu dengan tanah dan TUHAN Pemilik langit dan bumi.Â
Dengan makan, 'Nopil ata tu'an' = 'Tenaga saya ditambah'. Atas dasar itu, harus hargai makanan, hasil jerih lelah manusia. Makan dengan sopan, tidak boros, tidak boleh buang-buang makanan, tidak boleh sisakan makanan di piring.Â
Kalau makan dengan orang yang lebih tua, maka ayah, nenek atau paman, sisakan satu dua senduk nasi di piring, dan anak-anak yang ada, masin-masing ambil sedikit dan makan nasi sisa itu sebagai tanda hormat dan mohon kekuatan serta kebaikan orang tua dialirkan ke anak-anak.Â