Mohon tunggu...
Anton Bele
Anton Bele Mohon Tunggu... Dosen - PENULIS

Dosen Tamu, pengampu Mata Kuliah Filsafat di Program Pasca-sarjana Interdisiplin Studi Pembangunan, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

"Suara" dari Sudut Filsafat

18 Juli 2020   17:43 Diperbarui: 18 Juli 2020   17:41 885
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Suara ada untuk didengar. Suara mewakili pemiliknya. Dia bersuara, engkau bersuara, saya bersuara. Apa yang disuarakan? Suara itu usulan? Peranyaan? Pernyataan? Keluhan? Rupa-rupa maksud yang diungkapkan oleh pemilik suara. Dalam politik, pemilihan, tiap orang satu suara. Dalam hal suara dalam sistim pemilihan umum, dalam masa modern ini ada kekeliruan besar. 

Sistim demokrasi menyatakan rakyat berkuasa dan rakyat mempunyai hak suara, lalu dipakai pemeo, "Vox populi, vox Dei", "Suara rakyat, suara Allah". Ini yang tidak benar. 

Sekali lagi tidak benar, karena pernyataan itu sudah kedaluwarsa, laku pada abad pertengahan di Eropa, dari abad-abad di mana rakyat adalah umat, umat adalah rakyat yang menyetujui seorang raja dilantik oleh pimpinan Gereja sehingga pimpinan Gereja melegitimasir keputusan itu dan memahkotai Raja atas Nama Allah sambil menyatakan 'Vox populi, vox Dei'. 

Sekarang ini, suara rakyat adalah suara uang. Ini hanya catatan kritis tentang suara dalam kaitan dengan kotak suara, pemberian suara dan penghitungan suara. 

Suara manusia muncul dari NAFSU untuk menyatakan keinginan dari pribadi manusia. Suara marah lain dari suara ramah. Suara duka lain dari suara suka. Suara kenyang lain dari suara lapar. 

Itulah suara yang muncul dari manusia melalui berbagai komponen dalam diri manusia, napas, paru-paru, selaput suara, mulut dan semua saraf yang terkait. Suara memantulkan keinginan NAFSU. 

Suara ini diolah oleh NALAR, mau keras, mau lembut, bahasa apa yang dipakai, bahasa daerah, bahasa nasional, bahasa asing, semua itu karya NALAR. Kalau suara tanpa rumus, maka itu orang gila, tapi itupun suara kegilaan yang diolah oleh NALAR yang sedang kacau. NALURI menggemakan suara ke pendengar yang sanggup mendengar. 

Di sini suara menjadi penghantar hasrat NAFSU sesudah diolah oleh NALAR. Sesama manusia dalam dunia NALURI menyambut suara itu dan turut bersuara atau diam seribu bahasa, tapi suara itu bergaung dalam relung hati setiap pendengar. 

Di sinilah NURANI langsung bertindak untuk membisikkan kepada pemilik suara yang mengumandangkan suaranya yang diolah oleh NALAR dan disambut oleh NALURI, suara itu menenangkan sesama atau mengacaukan, mengungkapkan kebencian atau kedamaian. Di sinilah peranan NURANI. Jadi suara tidak asal suara. 

Suara itu penampilan diri manusia seutuhnya. Bersuara tanpa arah boros tenaga dan waktu. Suara gemuruh yang memenuhi semesta ini Suara DIA YANG dengan ber-Suara saja segala sesuatu ini jadi. Suara kita harus seirama dengan Suara DIA, suara KASIH, jangan suara lain.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun