Abadi itu kata yang biasa kita ucap, tapi sulit kita tangkap maknanya. Makna kata abadi kita tangkap dari tradisi, terutama dari agama. Orang-orang Mesir kuno tahun 5000-an sebelum Masehi berusaha abadikan raja-raja mereka yang disebut Firaun dengan cara mengawetkan jenasahnya supaya tetap ada biarpun sudah mati.Â
Mati badannya, tapi dipercaya tetap ada dalam bentuk yang lain, jenazah yang disimpan dalam piramide yang kokoh dengan maksud supaya jenazah itu tidak  rusak ditimpa oleh panas dan dingin. Tetap awet, berarti tetap ada, tetap hidup. Itulah pengertian mereka dan pengertian seperti inilah yang diistilahkan dengan istilah abadi, kata lain, kekal.
Abadi itu berkaitan dengan adanya kita manusia. Ini tidak bisa dibuktikan dengan akal. Ini harus dipercaya saja. Atas dasar kepercayaan itulah saya mempunyai pendapat sendiri dan pendapat itulah yang sudah sejak tahun 2011 saya pertanggung-jawabkan di depan publik dalam ujian disertasi doktoral studi pembangunan di Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.Â
Berdasarkan pengetahuan yang saya dapat sampai tahun 2011, manusia itu dipercaya terdiri dari jiwa dan badan. Jiwa itu baka, abadi, badan itu fana, sementara. Jiwa tidak mati, badan mati.Â
Dalam tulisan ini saya tidak mengutip segala macam pendapat filsuf dan teolog serta exeget (ahli Kitab Suci). Pendapat manusia itu terdiri dari jiwa-badan ini sudah sangat umum sehingga saya tidak perlu lagi mengulang dalam artikel singkat ini.Â
Saya mengoreksi pendapat ini dengan pendapat saya dalam pengertian bahwa saya tidak mempersalahkan, tapi mengemukakan pemikiran lain dari sudut pandangan saya sendiri yang saya peroleh dari hasil penelitian saya selama enam tahun, 2005 sampai 2011 di kalangan suku Buna' di pedalaman Pulau Timor tentang filosofi hidup suku ini.
Abadi itu bukan hanya jiwa. Manusia badannya mati, hancur, itu fisik, benda. Tapi manusia sebagai pribadi, tetap utuh, ada dan abadi. Â Sampai sekarang umumnya Manusia dipkirkan sebagai dua unsur, jiwa dan badan sehingga ada pembedaan, jiwa abadi, badan fana, jiwa tetap hidup, badan mati. Nanti badan yang fana ini hancur, kemudian pada hari akhirat baru dibangkitkan, dengan pemikiran jiwa terpisah dari badan, kalau mati jiwa tinggalkan badan.Â
Muncul pemikiran yang umum, ada pembahagian, ini urusan badan, urusan jiwa itu lain. Doa, ibadat, itu urusan jiwa. Makan, minum, urusan badan. Kalau yang beragama Kristen, Senin sampai Sabtu, urusan dunia, urusan badan, Minggu urusan jiwa, urusan surga.Â
Cara pandang dualistis ini sangat mempengaruhi pola pikir kita untuk hidup mendua, jasmani x rohani, dunia x surga,  jahat x baik, dosa  x suci, duniawi  x surgawi, insani x  ilahi, badani x  rohani, fana x  baka, sementara x abadi.Â
Pikiran mendua ini membuat manusia berada dalam ketegangan antara dua kutub itu terus-menerus. Manusia mengukur diri dan diukur atas polarisasi ini. Atau suci atau jahat. Atau baik atau buruk. Atau-atau.Â
Abadi menjadi istilah yang mendorong saya untuk berlanjut ke pemaparan pikiran saya tentang empat unsur dalam diri manusia, 4 N, NAFSU + NALAR + Â NALURI + NURANI.Â