Mohon tunggu...
Anton Bele
Anton Bele Mohon Tunggu... Dosen - PENULIS

Dosen Tamu, pengampu Mata Kuliah Filsafat di Program Pasca-sarjana Interdisiplin Studi Pembangunan, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Agama Dianut dan Dihayati

3 Juli 2020   13:23 Diperbarui: 3 Juli 2020   13:12 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Penganut dan penghayat Agama itu ada beda. Ini kesaksian saya sebagai penulis untuk menjelaskan dua istilah ini, penganut dan penghayat. Di KTP saya tertulis, Agama: Katholik. Saya penganut Agama Katholik tapi penghayat, dua Agama, Katholik dan Agama Asli, 'Hot Esen'.

Agama saya dua: Katolik dan 'Hot Esen'. Ini soal penghayatan. Penganut, satu Agama. Di mana perbedaannya?

Orang tua saya, bapa dan mama kandung, hidup di pedalaman Pulau Timor, dari Suku Buna'. Mereka percaya pada 'Hot Esen' sebagai Wujud Maha Tinggi. Bahasa Buna', 'Hot' = Matahari; 'Esen' = Atas, di atas, di ketinggian. Saya dididik dalam kepercayaan ini, agama asli, 'Hot Esen' yang oleh para misionaris Katolik dicap 'Kafir', 'Gintiu' dari kata Latin, 'Gentilis' = orang asli. Orang tua menyekolahkan saya di sekolah katolik dan masuk ke Seminari, itu sekolah mulai dari tingkat SMP, calon Imam. Tahun 1959, saya masuk Seminari Menengah dan berharap jadi Imam.

Orang tua saya, Bapa dan Mama yang sangat berpengaruh sebagai tokoh adat dan agama asli di kampung, Lakmaras  (sekarang masuk Kecamatan Lamaknen Selatan, Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur).

Pada tahun 1960, atas dasar saya sudah sekolah di Seminari, calon Imam, maka Imam yang adalah Pastor (Gembala) di Paroki Nualain yang meliputi kampung saya, mengajak orang tua saya untuk dibaptis menjadi katolik. Orang tua saya setuju dan dibaptislah mereka, Mama (almarhumah) mendapat nama Baptis, Agnes dan Ayah (almarhum) diberi nama Petrus. Mereka jadi serani, tidak 'kafir' lagi. Sampai meninggal dunia, tetap serani, dimakamkan secara katolik dan tetap diupacarakan juga sesuai agama asli, 'Hot Esen'.

Selama orang tua masih hidup, upacara agama asli tetap dilaksanakan oleh saya. Upacara agama Kristen Katolik juga tetap dilaksanakan. Sampai sekarang, tahun 2020, saya kembali ke kampung halaman saya, Lakmaras, upacara 'adat' tetap dilaksanakan.

Di rumah adat ada tiang agung. Di kaki tiang agung ini ada batu ceper, di atasnya setiap saat, diletakkan persembahan, sirih-pinang, sejemput makanan masak, seiris daging matang kalau ada. Ini untuk para leluhur supaya mereka teruskan ke 'Hot Esen'.

Sekarang para ponakan dan cucu-cece saya sudah katolik, tapi upacara 'adat' tetap dilaksanakan. Kalau musim panen, jagung hasil pertama dipersembahkan secara adat di kampung, dan secara serani dibawa ke gereja dan diletakkan di kaki Altar. Kalau ziarah ke kubur, sirih pinang diletakkan di atas kubur (adat dan Agama 'Hot Esen'), lilin juga dinyalakan di sana (Katolik). Ini dualisme? Sinkretisme? Tidak. 

Menghayati agama asli dan agama katolik itu satu kesatuan dalam diri pribadi saya. Menganut itu satu Agama, Katolik. Menghayati itu sangat pribadi. Iman kepada Yang Maha Tingi diperkuat, ada doa, persembahan dan perilaku diajarkan sama dalam Agama Asli dan Agama Katolik. Keduanya saling melengkapi dalam diri saya sebagai penghayat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun