Mohon tunggu...
Achmat Heri Dwijuwono
Achmat Heri Dwijuwono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Tinggal di Gunungkidul, Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mata Rantai Pangan Organik Indonesia yang (Masih) Hilang

4 November 2024   00:50 Diperbarui: 4 November 2024   01:13 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesadaran masyarakat mengenai hubungan erat antara makanan dengan kesehatan makin meningkat seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi di bidang kesehatan. Kian banyak orang yang mengerti bahwa sebagian penyakit timbul sebagai konsekuensi dari menjalani pola hidup yang tidak sehat. Walhasil kini makin banyak orang yang beralih ke pola hidup sehat dengan cara, antara lain, rutin berolahraga dan mengonsumsi pangan sehat.

Pangan sehat adalah bahan pangan yang mengandung gizi esensial yang dibutuhkan oleh tubuh, seperti vitamin, mineral, karbohidrat, protein, lemak, kalsium, serat, dan air. Pada zaman sekarang pangan yang benar-benar sehat hanya mungkin didapat dari pangan organik, yakni bahan pangan yang diproduksi, disimpan, dan diolah secara organik.

Diproduksi secara organik artinya dibudidayakan dengan sedikit atau sama sekali tidak mengandung unsur-unsur kimia seperti pupuk, pestisida, hormon dan obat-obatan. Semua proses produksi pangan organik dilakukan secara alami dan hendaknya memenuhi pedoman pesyaratan internasional yang telah ditetapkan, seperti tidak menggunakan bibit GMO (Genetic Modified Organism atau produk rekayasa genetik) selama proses produksi dan tidak menggunakan teknologi radiasi untuk mengawetkan produk. Disimpan dan diolah secara organik artinya disimpan dan diolah dengan cara sedemikian rupa sehingga tidak mengalami pencemaran dan kerusakan kandungan gizi.

Pemerintah Indonesia menetapkan ketahanan pangan, yakni peningkatan ketersediaan, akses, serta kualitas konsumsi pangan, sebagai program prioritas Agenda Pembangunan Nasional tahun 2022-2024. Salah satu targetnya adalah menungkatnya "Persentase Pangsa Pangan Organik" sebesar 20% pada tahun 2024.  

Temuan-temuan di lapangan berikut ini menunjukkan adanya sejumlah tantangan yang perlu disikapi secara bijak oleh segenap pemangku kepentingan.

Suatu hari saya mengobrol dengan seorang bakul dawet. Ia bercerita tentang salah seorang temannya yang selama ini menafkahi diri dan keluarganya dengan membudidayakan buah melon. Anehnya, tak satu pun dari mereka sekeluarga yang terlibat langsung dalam proses penanaman bibit hingga pemanenan buah melon itu yang berani memakan buah melon hasil panenan mereka sendiri tersebut.

Ketika cerita ini saya cuplik dalam suatu acara pelatihan pembuatan pupuk organik, seorang peserta mengaku bahwa beliau baru saja membeli satu paket bibit melon, yakni 1.000 bibit plus dua karung 'obat pertanian' untuk diaplikasikan sejak awal penanaman hingga saat panen tiba. Dan beliau menyatakan kalau selama ini juga tidak berani memakan melon hasil panennya serta melarang keras semua anggota keluarganya memakan melon yang mereka panen.

Begitulah. Para petani buah ngeri mencicipi kesegaran buah melon yang mereka budidayakan sendiri sejak berupa biji sampai menjelma buah sebesar bola voli.

Pada kesempatan yang lain saya berjumpa dengan seorang ketua kelompok tani spesialis tanaman cabe yang mengaku kalau selama bertahun-tahun ini tidak berani memakan cabe hasil panen dari berhektar lahan cabe kelompok tani mereka.

Beliau orang Indonesia asli, jadi ya doyan sekali sambal. Lantas, kalau hendak bikin sambal untuk memuaskan selera pedas, cabenya dari mana? Beliau punya solusi ampuh untuk masalah yang satu ini. Yakni menanam cabe secara organik dalam sejumlah polybag di emper rumah, khusus untuk konsumsi pribadi keluarga beliau.

Selama ini hasil petik dari beberapa polybag cabe organik (yang dibudidayakan menggunakan pupuk dan pestisida organik) itu sudah lebih dari cukup kok, kalau cuma mau bikin orang serumah setiap hari huh hah huh hah.

Ada pola sikap yang sama dengan petani melon, para petani cabe juga tak berani mengonsumsi cabe yang mereka tanam dan rawat dengan tangan mereka sendiri sejak berupa benih hingga berbuah lebat siap petik.

Pada kesempatan yang lain lagi saya berbincang dengan seorang tukang tebas buah-buahan. Ia menceritakan mengenai salah seorang tetangganya yang dipujinya sebagai petani sayur yang sangat baik hati. Setiapkali panen pasti memberi. Kebiasaan di daerah pedesaan memang begitu, setiapkali ada yang panen sesuatu pasti membagikan sebagian hasil panennya kepada tetangga sekitar rumah.

Awalnya ia tidak terlalu memperhatikan, namun diam-diam ada yang terasa menggelitik nuraninya. Sayur hasil panen yang dihadiahkan itu memiliki penampilan yang tidak biasa. Ya. Nampak begitu segar dan menarik hati. Saat ia cermati, barulah ia menyadari adanya sedikit kejanggalan yang selama beberapa waktu ini luput dari perhatiannya: sayur hadiah yang diterimanya selama ini selalu berkondisi mulus. Begitu utuh. Tak ada satu pun lobang bekas gigitan ulat atau serangga pada helai-helai daun itu.

Sudah menjadi tradisi di keluarganya, sayuran adalah menu sehat yang wajib hadir di meja makan setiap hari. Tapi, kalau sayurannya terlalu mulus terus begini, itu bisa membahayakan tradisi. Maka begitu punya waktu luang disempatkannya ikut ke sawah tetangganya itu yang lokasinya terletak lumayan jauh dari rumah. Tujuannya hanya satu: menyaksikan proses pembudidayaan sayur yang dipraktekkan oleh tetangganya tersebut.

Begitu menyaksikan dengan mata kepala sendiri, ia berkata kepada tetangganya itu, "Mas, terimakasih selama ini setiapkali panen selalu kauberi jatah. Hanya saja, melihat caramu menanam yang seperti ini, untuk seterusnya aku memilih untuk tak usah diberi lagi saja."

Kalau ulat dan serangga, makhluk jujur yang tak punya kemampuan berbohong itu, tidak ada yang berani memakan sayuran hijau yang begitu segar, mulus, dan terlihat begitu mengundang, maka bagaimana mungkin ia berani nekad memakannya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun