Felix Siauw, Etika Berkarya, dan Tradisi Ngalap Berkah Santri NU
Sebagai khalayak pembaca biasa yang bukan sastrawan, ahli bahasa, atau apalagi pakar filsafat, tentu kita boleh bertanya-tanya. Secara etis, bolehkah seseorang "meminjam" puisi orang lain, mengubah diksinya, dan mencantumkan nama si penyair asli dalam judul karya turunan tersebut?Â
Atas pertanyaan ini baiklah kita persilakan saja para pihak yang berkepentingan atas isu ini, utamanya para penyair yang karyanya berpotensi "dipinjam" orang lain, yang memberi jawab. Mari kita tanya mereka: "Wahai para penyair Indonesia, bagaimanakah pendapat Anda?"
Pertanyaan berikutnya yang pasti mencuat, meski kita bukan detektif atau ahli forensik, tentu berkenaan dengan motif. Penyebutan nama si penyair asli itu dalam karya turunan ini merupakan sebuah kenaifan ataukah kesengajaan? Di negeri ini setiap hari berseliweran banyak puisi, mengapa puisi yang satu itu yang dipilih?Â
Indonesia punya banyak sastrawan, mengapa bukan syair jalang Chairil Anwar, sajak makrifat Cak Nun, atau puisi pamflet Rendra yang dipinjam? Mengapa puisi balsem Gus Mus? Dan jika memang ia sendiri yang menulis, ini yang paling bikin tak habis takjub, mengapa pula tidak mencantumkan namanya sendiri saja?
Dan tentu saja, meski kita bukan seorang veteran pengamat politik, dalam benak pasti muncul pula pertanyaan seputar maksud dan dampak. Apa saja kira-kira efek domino yang mungkin berlaku sebagai akibat dari penyebutan nama seorang tokoh netral berpengaruh besar dengan modus pengerangkaan (framing) yang dipilih oleh seorang aktor politik? Dalam peta perpolitikan aktual, dengan kalkulasi rasional tentang para pihak yang berhadapan, siapa kira-kira yang bakal untung atau buntung? Dan seterusnya.
Yang pasti, dari rekam jejaknya yang bertebaran di jagat internet, kita tahu Felix Siauw bukanlah seorang penyair. Juga bukan santri lulusan pondok pesantren yang berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama.Â
Menyitir tirto.id, Felix Siauw adalah seorang keturunan Tionghoa berkebangsaan Indonesia yang berprofesi sebagai ustadz. Lahir di Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia, pada tanggal 31 Januari 1984.Â
Mualaf yang memutuskan masuk Islam ketika duduk di bangku kuliah di Institut Pertanian Bogor ini merupakan aktivis Hizbut Tahrir Indonesia. Yang sudah dilarang keberadaannya oleh pemerintah Indonesia itu. Meskipun aktivitas dakwah yang dilakukan Felix terus berjalan dan kerap mengusung konsep khilafah dalam dakwahnya.
Tentu saja. Kita bisa menyimpulkan Felix bukan penyair tidak semata dari rangkuman biodatanya itu. Melainkan dari pembandingan yang kita lakukan dengan perikehidupan lazim para penyair. Upaya pembandingan itu sama sekali tidak sulit. Sebab di berbagai belahan dunia, di segala zaman, para tiran telah menebar ragi yang mematangkan banyak jiwa kepenyairan.Â
Dalam situasi opresif, para rezim membagi rata kefakiran kepada mayoritas rakyat. Kebodohan --yang merupakan anak kandung kondisi melarat-- tentu otomatis ikut merata hingga ke ujung paling pelosok. Ketika para ningrat bersujud kepada penguasa, dan kaum intelek sibuk sendiri di menara gading mereka, dari rahim rakyat paling jelata lahirlah para penyair. Perindu kesejatian yang tekun mengasah pena supaya bisa memberi bobot kepada setiap huruf. Dan setiap tanda baca. Yang disusunnya sebagai mantra tolak bala.