Raga setiap orang terus tumbuh seiring bertambahnya umur, namun perkembangan jiwa seseorang memang tak selalu seiring.Â
Setiap manusia memiliki jiwa dan raga. Raga tumbuh dari zigot dalam kandungan. Hingga renta terbaring di ranjang kematian. Jiwa berkembang dari fase kekanakan. Hingga matang.
Tahapan perkembangan jiwa menentukan pola pikir. Yakni tata cara seseorang memberi makna terhadap keberadaan diri dan lingkungan.Â
Pola pemberian makna ini menentukan variasi jenis emosi, atau perasaan dominan, yang mampu dirasakan seseorang. Dalam menghayati ragam pengalaman hidup yang berdinamika.Â
Raga yang kekurangan nutrisi terjeda pertumbuhannya menjadi kerdil (stunting). Jiwa yang kekurangan nutrisi mengalami jeda perkembangan menjadi kerdil juga (kekanakan).Â
Salah satu penanda jiwa yang perkembangannya terjeda adalah belum munculnya kemampuan tilikan diri yang mencukupi. Yakni absennya keterampilan untuk menempatkan diri secara selaras dengan keberadaan pribadi-pribadi lain yang begitu beraneka di alam semesta.Â
Orang dengan perkembangan jiwa tak seiring pertambahan umur kronologis lazim menjadi gerundelan lingkungan sosial terdekat.
Dikomentari, "Sudah tua, kok kelakuan masih seperti bayi." Diprotes, "Berhentilah bertingkah seperti anak TK!" Atau menjelma tepukan di jidat, "Sudah berumur, mengapa tak kunjung jadi dewasa?"Â
Manusia yang, dalam kacamata psikologi, berada pada tahapan awal perkembangan jiwanya ini dapat disebut sebagai 'manusia mulut'.Â
Bisanya baru mendengar diri sendiri. Tak siang, tak malam, menganggap penting diri sendiri. Mengukur apapun, dan siapapun, menggunakan kriteria idealnya sendiri. Saat sendirian selalu merasa diri paling benar, maka saat bersama orang lain selalu minta disetujui.Â
Apa yg terjadi jika ada 'manusia mulut' yang jatuh cinta, menikah, dan beranak-pinak? Bagi orangtua yang tidak sabaran, tersebab kemampuan bersabarnya belum berkembang optimal, semua anak adalah anak nakal.