Tembakan seorang penembak jitu dalam film laga yang ditayangkan di layar bioskop yang sedang kautonton tidak mengakibatkan kematian siapapun yang telak terkena pelurunya.
Dan ledakan nuklir dahsyat dalam sebuah game yang sedang kaumainkan di ponselmu tidak menyebabkan kota mana pun menjadi benar-benar luluh-lantak oleh terpaan energi panasnya.
Sehelai kertas partitur bertabur simbol do-re-mi-fa-sol juga tak bisa membuatmu berlinang air mata karena haru atau tergugah untuk menggoyang badanmu mengikuti irama yang di telingamu sama sekali tak terdengar bunyinya itu. Dan walaupun kausemprotkan simbol-simbol nada itu dengan pilox sehingga semua dinding yang ada di dunia ini penuh sesak oleh lekuk-liku gambarnya, seluruh bentuk dan warna itu hanya mampu menghadirkan satu nada belaka: kesunyian!
Adapun yang disebut ayat-ayat basah adalah segala sesuatu yang dilambangkan oleh berbagai simbol tersebut.
Ayat basah adalah batu yang dapat kautemukan di pekarangan, sungai, atau gunung. Batu-batu yang, jika engkau telaten, bisa kautata menjadi sebentuk rumah yang bisa kaudiami atau bahkan sebuah arsitektur yang lebih megah dibanding Candi Borobudur dan Piramida Mesir.
Ayat basah adalah singa yang kharisma aumannya membuat menggigil hilang daya tubuh siapa saja yang mendengarnya dari jarak yang bisa dijangkau dengan sekali terkam olehnya. Singa yang, menggunakan cakar, gigi, dan keuletan daya juangnya, sanggup merobohkan banteng perkasa.
Ayat basah adalah manusia yang membuatmu tak bisa berhenti memikirkan dirinya, setiap patah katanya terdengar bagai firman Tuhan yang wajib didengar penuh perhatian dan dilaksanakan, hatimu tenteram begitu saja saat berada di sisinya, dan engkau hanya rela jika ia menjadikanmu (dan bukan siapapun yang lain) sebagai satu-satunya pendamping hidup.
Ayat basah adalah bermilyar tanaman yang diberi-Nya banyak tugas di bumi (sebagai paru-paru, sebagai naungan, sebagai inang, sebagai penyedia pangan, sebagai penyembuh, sebagai begitu banyak hal) supaya kita semua bisa tinggal di sini, melaksanakan tugas hidup kita di sini, dan antri mati di sini. Ya. Lahir di sini. Bermain-main di sini. Belajar di sini. Bekerja di sini. Menikah di sini. Bercinta di sini. Beranak-pinak di sini. Tua bangka di sini. Dan dikubur di sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H