"Kalau lagi galau, pernah nggak sih curhat sama AI? Tapi, kira-kira lebih lega atau malah merasa makin sendiri?"
Bayangkan ini: tengah malam, pikiran lagi penuh, tapi nggak ada teman yang bisa dihubungi. Lalu, ada aplikasi dengan teknologi AI yang siap mendengarkan tanpa lelah, tanpa menghakimi, dan selalu punya jawaban yang terdengar bijak. Kedengarannya seperti solusi sempurna, bukan? Tapi, apakah benar AI sebagai teman curhat ini bisa menjadi pelipur lara? Atau justru ada dampak lain yang mungkin luput kita sadari?
Di era digital ini, kehadiran chatbot berbasis AI seperti ChatGPT, Replika, atau Woebot kian populer sebagai teman curhat virtual. Dengan kemampuannya memahami bahasa manusia, mereka menawarkan telinga (virtual) yang selalu siap mendengarkan. Beberapa orang mengaku merasa lebih lega setelah berbicara dengan AI. Tapi, pertanyaannya adalah: bagaimana ini memengaruhi hubungan kita dengan sesama manusia dan kesehatan mental kita?
Kenapa Orang Mulai Curhat ke AI?
Alasan utama orang memilih AI sebagai teman curhat adalah kenyamanan dan aksesibilitas. Berbeda dengan manusia, AI tidak akan menghakimi, menyebarkan rahasia, atau memotong pembicaraan. Mereka juga tersedia 24/7, cocok untuk mereka yang kesulitan menemukan waktu atau merasa canggung berbicara dengan orang lain.
Namun, bagi sebagian orang, alasan ini bisa jadi pedang bermata dua. Ketika terlalu sering curhat ke AI, apakah kita justru semakin jauh dari hubungan manusia yang sesungguhnya?
AI: Penyembuh Luka atau Sekedar Penunda Masalah?
Studi dari berbagai jurnal psikologi menunjukkan bahwa berbicara dengan chatbot berbasis AI dapat membantu mengurangi kecemasan dan stres dalam jangka pendek. Sebagai contoh, Woebot dirancang untuk membantu pengguna mengelola emosi negatif melalui teknik terapi kognitif perilaku (CBT). Banyak pengguna merasa terbantu karena AI ini memberikan respons yang empatik dan solutif.
Namun, ahli psikologi juga mengingatkan bahwa manfaat ini bersifat sementara. Prof. Michael A. Liss, seorang psikolog klinis, menyatakan bahwa AI tidak dapat menggantikan interaksi manusia yang penuh emosi.
"Manusia membutuhkan koneksi nyata dengan sesama untuk membangun kesejahteraan emosional yang mendalam,"Â ujarnya.
Ketika kita terlalu mengandalkan AI, ada risiko bahwa kita mulai menghindari hubungan sosial yang sebenarnya. Tanpa kita sadari, ini bisa membuat kita semakin kesepian di dunia nyata.