Mohon tunggu...
Fransisca Dafrosa
Fransisca Dafrosa Mohon Tunggu... Lainnya - Guru

saya orang yang sedang belajar menulis Fiksiana.Humaniora.Lyfe

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ayah di Ambang Ragu

12 Desember 2024   19:39 Diperbarui: 12 Desember 2024   19:39 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://pixabay.com/photos/father-baby-portrait-infant-22194/


Malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Di kamar yang hanya diterangi lampu tidur, aku duduk mematung di kursi dekat jendela. Tangan menggenggam botol susu yang belum sempat aku berikan kepada anakku, Arsa, yang tengah terlelap di ranjang kecilnya. Tubuhku lelah, tetapi pikiranku lebih kacau. Setiap suara kecil darinya membuatku tegang. Aku takut salah. Aku takut gagal. Aku merasa... tidak cukup baik.

Terdengar suara langkah kaki mendekat dari luar kamar. Aku tahu itu ibu mertuaku. Aku langsung merapikan posisi duduk, mencoba terlihat lebih santai. Pintu kamar terbuka perlahan.

"Arsa udah tidur?" tanya ibu mertua dengan nada yang lembut, tetapi entah kenapa selalu terasa menekan di telingaku.

Aku mengangguk pelan. "Baru saja."

Dia mendekat, menatap wajah cucunya yang pulas, lalu beralih menatapku. "Kamu kelihatan capek, Danar. Apa kamu makan siang tadi?"

Aku hanya menjawab dengan gumaman pendek. Fokusku kembali ke botol susu yang kini terasa seperti beban di tanganku.

"Kalau kamu butuh bantuan, bilang aja. Jangan semuanya dipendam sendiri," katanya lagi, sebelum meninggalkan kamar.

Aku ingin berteriak saat itu. Bukannya aku tidak mau meminta bantuan. Tapi siapa yang bisa benar-benar mengerti apa yang aku rasakan? Bahkan istriku sendiri, Anisa, sepertinya tidak paham. Dia sibuk memulihkan diri pasca melahirkan. Aku tidak mau menambah bebannya dengan keluhanku.

---

Pagi harinya, suasana rumah terasa seperti medan perang. Arsa menangis terus-menerus sejak subuh. Anisa mencoba menenangkannya, tetapi usahanya sia-sia. Aku yang sedang mencoba menghangatkan susu, kehilangan kesabaran.

"Kenapa dia nangis terus sih? Apa yang salah?" tanyaku dengan nada lebih tinggi dari yang seharusnya.

Anisa menatapku dengan mata yang berkaca-kaca. "Aku juga nggak tahu, Mas. Aku udah coba semuanya."

Rasanya seperti ada sesuatu yang pecah di dalam diriku. Aku tahu ini bukan salahnya, tapi tekanan yang menumpuk selama berbulan-bulan akhirnya meledak. "Kamu nggak ngerti, Nisa! Aku juga capek! Aku nggak bisa terus-terusan kayak gini!"

Aku langsung menyesal begitu kata-kata itu keluar dari mulutku. Anisa terdiam, lalu memeluk Arsa erat-erat sambil menangis terisak. Aku merasa seperti monster.

---

Siang itu, ibu mertua memanggilku ke ruang tamu. Aku sudah tahu ini akan menjadi sesi ceramah. Aku duduk dengan enggan, mencoba mempersiapkan diri.

"Danar, apa yang sebenarnya kamu rasakan?" tanya beliau tiba-tiba.

Aku terkejut. Biasanya, ibu mertua selalu langsung memberikan nasihat tanpa bertanya terlebih dahulu. Kali ini berbeda. Nada suaranya lembut, tidak menghakimi.

"Aku... aku nggak tahu, Bu," jawabku jujur. "Aku cuma merasa... semuanya terlalu berat."

"Kamu merasa gagal sebagai ayah?" tebakan beliau tepat sasaran.

Aku mengangguk pelan. "Aku nggak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku nggak tahu apakah aku cukup baik untuk Arsa. Bahkan aku nggak tahu apa Arsa benar-benar butuh aku."

Beliau menarik napas panjang, lalu berkata, "Semua ayah pernah merasakan itu, Danar. Bahkan almarhum ayahmu dulu pernah cerita ke Ibu, betapa takutnya dia waktu kamu lahir. Tapi kamu tahu apa yang dia lakukan?"

Aku menggeleng, penasaran sekaligus skeptis.

"Dia tetap ada. Dia tetap mencoba, meskipun sering merasa gagal. Karena itulah tugas seorang ayah, Danar. Bukan jadi sempurna, tapi jadi hadir."

Kata-kata itu menamparku. Aku terdiam cukup lama, mencoba mencerna apa yang beliau katakan.

---

Malam berikutnya, aku mencoba sesuatu yang berbeda. Saat Arsa menangis di tengah malam, aku tidak langsung menyerahkannya kepada Anisa atau ibu mertua. Aku menggendongnya, meskipun tangannya terus meronta. Aku menyanyikan lagu yang dulu sering ayah nyanyikan untukku.

"Tidurlah sayangku, malam menjelang..." suaraku terdengar gemetar, tetapi aku terus bernyanyi.

Perlahan, tangisannya mereda. Aku merasa sesuatu yang hangat mengalir di dadaku. Untuk pertama kalinya, aku merasa... cukup. Bukan sempurna, tapi cukup.

Saat Arsa akhirnya tertidur kembali, aku menatapnya lama. "Maaf ya, Nak. Ayah belum sempurna, tapi ayah akan terus belajar buat kamu."

Dari sudut kamar, Anisa berdiri dengan mata berkaca-kaca. Dia mendekat dan menyentuh lenganku. "Mas... terima kasih," katanya lirih.

Aku balas menatapnya, lalu menggenggam tangannya erat. "Kita jalanin ini bareng-bareng, ya. Aku nggak akan ninggalin kamu dan Arsa."

Di malam yang sunyi itu, untuk pertama kalinya, aku merasa bebanku sedikit lebih ringan. Aku tidak sendiri. Kami akan melalui ini bersama.

F. Dafrosa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun