Mohon tunggu...
Fransisca Dafrosa
Fransisca Dafrosa Mohon Tunggu... Lainnya - Guru

saya orang yang sedang belajar menulis Fiksiana.Humaniora.Lyfe

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perang Kaleng di Posyandu

18 November 2024   13:21 Diperbarui: 18 November 2024   13:34 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://id.wikipedia.org/wiki/Ikan_kaleng#/media/Berkas:Chicharros_en_escabeche.jpg

"Bu Mirna, anaknya itu loh, kejar-kejar kucing lagi! Awas jatuh!" seru Bu Tini dengan nada tinggi, setengah memberi peringatan, setengah menunjukkan dirinya lebih sigap.  

Mirna yang tengah sibuk mencoba menenangkan Arka, bayinya yang menangis kencang, langsung menoleh ke arah Dika. Bocah 3 tahun itu memang sedang berlari-lari mengejar kucing abu-abu posyandu sambil tertawa keras.  

"Dika! Stop, Nak! Jangan ganggu kucingnya!" Mirna setengah berteriak, namun Dika hanya melambai dan semakin semangat mengejar si kucing yang tampak bingung mencari tempat sembunyi.  

Baca juga: Seragam Ayah

"Dasar anak-anak, memang suka repot! Coba, Bu Mirna, lebih sering ikut parenting class, anaknya bisa lebih anteng, loh," lanjut Bu Tini dengan senyum sinis.  

Mirna menarik napas panjang, menatap Bu Tini dengan tatapan lelah, lalu kembali fokus ke Arka yang tiba-tiba menarik rambutnya sambil menangis semakin keras. Di tengah kekacauan itu, terdengar suara ketua posyandu, Bu Lilis, memulai sesi penyuluhan.  

"Ibu-ibu, mari kita fokus! Program makan ikan kaleng ini penting untuk meningkatkan gizi anak-anak. Silakan buka kalengnya dan coba makanan yang disediakan!"  

Mirna akhirnya berhasil menenangkan Arka dengan menggoyang-goyangkannya perlahan. Tapi baru saja ia duduk, Dika sudah kembali dengan wajah penuh kotoran tanah.  

"Ibu, aku nemu ikan robot!" serunya sambil menunjuk kaleng di meja.  

"Itu ikan kaleng, Dika, bukan robot!" jawab Mirna sambil menghapus wajah Dika dengan tisu.  

Namun Dika menggeleng keras. "Enggak mau makan, ikan robot bau! Ih, jijik!"  

Mirna melirik kaleng yang baru saja dibuka oleh tetangga sebelahnya. Bau amis langsung menyeruak, membuat beberapa ibu mundur dengan ekspresi aneh.  

"Ini beneran aman dimakan, Bu Lilis?" tanya seorang ibu sambil menutup hidungnya.  

Bu Tini, tentu saja, tak mau ketinggalan menyindir. "Wah, ini sih kaleng murah, ya? Kalau saya biasanya beli ikan impor yang lebih segar."  

Mirna mendengus pelan, mencoba menahan diri agar tidak terpancing komentar Bu Tini. Tapi saat ia membuka kaleng miliknya, matanya langsung menyipit.  

"Bu Lilis, kok ada yang beda, ya? Lihat deh, ikan di kaleng Bu Tini kayaknya lebih bagus," ujarnya dengan nada diplomatis.  

Bu Tini langsung menoleh, tersenyum lebar. "Oh, ini premium, Bu Mirna. Mungkin ibu harus datang lebih pagi, biar kebagian yang bagus!"  

Mirna, yang sudah lelah seharian mengurus dua anak dan menghadapi komentar pedas Bu Tini, akhirnya tidak tahan lagi. "Kalau ikan kaleng aja dibuat gengsi, memangnya ikan itu tahu ibu beli yang premium atau biasa?"  

Beberapa ibu di sekitar tertawa kecil mendengar sindiran halus itu. Tapi tawa mereka langsung berubah menjadi gumaman aneh ketika salah satu ibu di pojok berkata, "Ih, kok ikan ini ada bau aneh, ya? Jangan-jangan expired?"  

Kericuhan pun dimulai. Beberapa ibu mulai memeriksa tanggal kedaluwarsa, sementara yang lain sibuk mencium isi kaleng dengan berbagai ekspresi lucu---dari meringis, menutup hidung, hingga pura-pura batuk.  

Di tengah kekacauan itu, Arka, yang mulai tenang, tiba-tiba meraih kaleng ikan di meja Mirna dan menjatuhkannya ke bajunya sendiri. Minyak ikan tumpah ke seluruh pakaian Mirna.  

"Astaga, Arka! Sekarang aku benar-benar jadi maskot ikan kaleng!" serunya, setengah menangis, setengah tertawa.  

Semua ibu menatap Mirna. Kemudian satu per satu mulai tertawa. "Wah, Bu Mirna sudah siap jadi duta ikan kaleng, nih!"  

Di tengah gelak tawa itu, Bu Lilis mendekat dengan senyum misterius. "Ibu-ibu, saya punya pengumuman. Sebenarnya program ini adalah bagian dari lomba inovasi gizi dari kelurahan. Kelompok yang berhasil menikmati dan memanfaatkan ikan kaleng ini dengan kreatif akan mendapat penghargaan!"  

"APA?!" seru semua ibu hampir serempak.  

"Betul," lanjut Bu Lilis. "Tapi syaratnya, semua ibu dan anak harus menikmati makanan ini sampai habis."  

Suasana langsung berubah tegang. Mirna menatap kaleng ikan yang sekarang berlumuran minyak di bajunya, lalu melirik Dika yang masih sibuk dengan kucing, dan akhirnya menatap Bu Tini, yang kini terlihat ragu dengan 'ikan premium'-nya.  

Sejenak, Mirna terdiam. Tapi kemudian sebuah ide muncul di kepalanya. Ia bangkit berdiri dan berkata, "Ibu-ibu, kalau kita cuma mengeluh, ikan ini tidak akan berubah jadi steak mewah. Gimana kalau kita buat acara seru biar anak-anak mau makan?"  

Semua mata menatap Mirna penuh tanda tanya.  

"Apa maksud ibu?" tanya Bu Tini, alisnya terangkat.  

Mirna mengangkat sendok plastik yang ada di depannya, mulai mengetuk-ketukkan ke kaleng sambil bernyanyi:  

"Ayo makan ikan kaleng, supaya sehat dan cemerlang!"  

Beberapa ibu langsung tertawa. "Wah, Bu Mirna bikin lagu!" seru salah satu dari mereka.  

Mirna melanjutkan, kini dengan goyangan kecil sambil mengajak anak-anak yang ada di posyandu. "Dika, ayo ikut nyanyi, Nak! Ayo makan ikan robot!"  

Mendengar kata "ikan robot," Dika langsung bersemangat. "Ikan robot kuat kayak superhero!" Ia mulai mengikuti ibunya bernyanyi dan menari, diikuti anak-anak lain.  

Tak butuh waktu lama, suasana posyandu berubah menjadi pesta kecil. Ibu-ibu ikut menyanyikan lagu Mirna sambil mencoba menyuapi anak-anak mereka. Tawa dan canda menggema di seluruh ruangan. Bahkan Bu Tini akhirnya menyerah dan bergabung, meskipun dengan sedikit cemberut.  

Ketika lomba usai, kelompok posyandu Mirna diumumkan sebagai pemenang inovasi gizi. Hadiahnya berupa voucher belanja dan penghargaan dari kelurahan.  

"Wah, Bu Mirna, ternyata ibu ini kreatif juga, ya," ujar Bu Tini dengan nada setengah memuji.  

Mirna tersenyum lebar. "Namanya juga maskot ikan kaleng, Bu. Harus totalitas!"  

Semua ibu tertawa, sementara Dika berbisik ke ibunya, "Ibu, kalau ikan robotnya ada lagi, aku mau makan. Tapi cuma kalau ada lagunya!"  

Mirna menghela napas panjang sambil tersenyum. Meskipun awalnya penuh kekacauan, hari itu menjadi pelajaran berharga tentang kreativitas, solidaritas, dan pentingnya asupan gizi, meskipun dari ikan kaleng yang baunya kurang sedap.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun