"Pernahkah kita bertanya, bagaimana Bahasa Indonesia bisa tetap keren di tengah budaya 'flexing' dan jargon ala Gen Z dan Alpha?"
Seperti yang kita ketahui di zaman serba digital ini, tidak bisa dipungkiri bahwa gaya bahasa yang digunakan Generasi Alpha---generasi yang lahir di era media sosial, gadget, dan tren cepat berubah---sering membuat kita merasa seperti berbicara dalam dua dunia yang berbeda.
Berbagai istilah gaul dan ekspresi seperti "bestie," "flexing," "santuy," hingga "literally" masuk ke dalam keseharian mereka. Bahasa Indonesia sering kali tampak "kalah keren" dibanding bahasa gaul yang berasal dari bahasa asing atau media sosial.
Namun, apakah mungkin mengajarkan mereka mencintai Bahasa Indonesia tanpa menghilangkan cara mereka berekspresi?
Ini adalah tantangan besar bagi kita, baik sebagai orang tua, guru, maupun masyarakat yang peduli dengan kelestarian Bahasa Indonesia.
Lantas, bagaimana cara yang menarik dan efektif agar anak-anak Generasi Alpha bisa tetap mengekspresikan diri mereka, tetapi juga mencintai dan menghargai Bahasa Indonesia?
 1. Mengerti Budaya 'Flexing' dan Bahasa Anak Muda
Sebelum mengajarkan, pertama-tama kita perlu memahami dunia mereka. 'Flexing' adalah istilah populer yang mengacu pada aksi memamerkan sesuatu, baik barang, pencapaian, atau pengalaman tertentu.
Generasi Alpha yang terpapar media sosial sejak kecil memiliki kecenderungan untuk menggunakan istilah-istilah seperti ini sebagai cara mereka menunjukkan identitas diri. Ini bukan sekadar tren, melainkan juga bentuk komunikasi dan cara mereka terhubung dengan sesama.
Jika kita hanya menganggap ini sebagai bahasa "alay" atau "nggak bener," kita mungkin melewatkan kesempatan memahami anak-anak muda. Sebagai gantinya, kita bisa memanfaatkan fenomena ini untuk membangun jembatan komunikasi.