Mohon tunggu...
Fransisca Dafrosa
Fransisca Dafrosa Mohon Tunggu... Lainnya - Guru

saya orang yang sedang belajar menulis Fiksiana.Humaniora.Lyfe

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Toxic Positivity di Kalangan Guru, Stoikisme Solusinya

18 Oktober 2024   12:19 Diperbarui: 18 Oktober 2024   12:28 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Senyum adalah ciri khas seorang guru. Namun, di balik senyum ramah itu, terkadang tersimpan beban yang tak terucapkan. Tekanan untuk selalu tampil positif, menyembunyikan kelemahan, dan memenuhi ekspektasi yang tinggi bisa menjadi bumerang.  Fenomena ini dikenal sebagai "toxic positivity" keadaan di mana seseorang merasa harus selalu menampilkan sikap positif, bahkan ketika situasinya jauh dari ideal. Di kalangan guru, toxic positivity menjadi persoalan serius karena menghalangi mereka untuk mengekspresikan perasaan autentik dan menghadapi tantangan secara realistis. 

Fenomena Toxic Positivity di Kalangan Guru

Toxic positivity adalah bentuk sikap positif yang dipaksakan dan tidak realistis, di mana seseorang diharapkan untuk selalu optimis tanpa memperhatikan emosi negatif yang wajar. Dalam konteks guru, hal ini sering terjadi karena ada anggapan bahwa guru harus selalu kuat, ceria, dan optimis demi menjaga semangat murid-murid. Sayangnya, tekanan ini dapat menciptakan lingkungan di mana emosi negatif, seperti stres, kelelahan, atau frustrasi, dianggap sebagai sesuatu yang tidak boleh muncul. Alhasil, banyak guru merasa tertekan untuk menyembunyikan perasaan mereka yang sebenarnya.

Sebuah survei yang dilakukan oleh American Federation of Teachers pada tahun 2022 menemukan bahwa 78% guru mengalami tingkat stres yang tinggi dalam pekerjaan mereka, dengan 55% dari mereka melaporkan kelelahan emosional yang signifikan. Di Indonesia, meskipun belum banyak data spesifik mengenai toxic positivity di kalangan guru, kita dapat melihat gejala yang serupa dari tingginya tingkat burnout di kalangan pendidik, terutama di masa pandemi. Dengan beban kerja yang semakin berat dan tuntutan untuk terus beradaptasi dengan metode pembelajaran jarak jauh, banyak guru merasa terjebak antara keinginan untuk tetap positif di mata murid dan kenyataan pahit yang mereka alami setiap hari.

Dampak Toxic Positivity Terhadap Guru

Toxic positivity memiliki dampak jangka panjang yang merugikan, baik bagi kesehatan mental guru maupun lingkungan kerja secara keseluruhan. Ketika guru dipaksa untuk menutupi perasaan negatif, mereka berisiko mengalami "burnout" lebih cepat. Burnout adalah kondisi kelelahan fisik dan mental yang disebabkan oleh stres kerja yang berkepanjangan. Burnout tidak hanya memengaruhi produktivitas kerja, tetapi juga hubungan antara guru dan murid. Guru yang lelah secara emosional cenderung kurang terlibat dalam proses pengajaran, sehingga berdampak pada kualitas pendidikan.

Selain itu, toxic positivity dapat mengisolasi guru dari rekan-rekan kerja. Ketika semua orang merasa harus berpura-pura baik-baik saja, mereka cenderung tidak berbagi masalah atau mencari dukungan. Ini memperburuk perasaan kesepian dan menghilangkan kesempatan untuk membangun solidaritas di antara sesama guru. Dalam jangka panjang, toxic positivity bisa merusak dinamika tim dan menciptakan budaya kerja yang tidak sehat.

Stoikisme sebagai Solusi: Menerima Realitas dan Menghadapinya dengan Bijak

Untuk mengatasi dampak buruk toxic positivity, para guru perlu pendekatan yang lebih realistis dalam menghadapi tantangan sehari-hari. Salah satu pendekatan yang relevan adalah stoikisme, sebuah filsafat kuno yang mengajarkan pentingnya menerima kenyataan apa adanya, fokus pada apa yang dapat kita kendalikan, dan tetap tegar menghadapi situasi sulit.

Stoikisme didasarkan pada prinsip bahwa kebahagiaan sejati tidak berasal dari kondisi eksternal, tetapi dari bagaimana kita merespons kondisi tersebut. Ini berarti, alih-alih memaksakan diri untuk selalu berpikir positif, guru dapat belajar untuk menerima situasi yang tidak ideal tanpa kehilangan keseimbangan emosional. Ketika dihadapkan pada masalah seperti kurikulum yang berubah tiba-tiba atau tekanan administratif guru yang mengadopsi sikap stoik akan berusaha fokus pada apa yang dapat mereka kendalikan (misalnya, cara mereka mengatur waktu atau berinteraksi dengan siswa), sementara menerima hal-hal yang di luar kendali mereka dengan tenang.

Salah satu konsep stoikisme yang relevan bagi guru adalah amor fati, atau "mencintai takdir." Konsep ini mengajarkan bahwa kita harus menerima segala sesuatu yang terjadi, baik atau buruk, sebagai bagian dari kehidupan. Dalam praktiknya, ini berarti guru tidak perlu memaksakan diri untuk selalu optimis ketika sesuatu berjalan salah. Sebaliknya, mereka dapat menerima tantangan dengan pikiran terbuka dan menjadikannya sebagai pelajaran hidup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun