"Iya, Al," aku mengangguk pelan. "Kadang aku juga suka lupa kita cuma di sini, nonton dari layar kecil. Tapi rasanya... hangat, kan? Kayak di tribun beneran."
Rani tersenyum lembut. "Kita mungkin nggak di stadion langsung, tapi ya... hati kita ada di sana, ikut lari bareng pemain."
Aku hanya mengangguk, tak bisa menahan haru yang perlahan menggenang. Aku merasakan, di tiap sorak dan tawa tadi, ada rindu yang terobati, ada rasa bangga yang tumbuh.
Ali menyambung dengan suara sedikit serak, "Eh, Din... besok kita nonton lagi, kan?"
Aku tertawa. "Jelas lah, Al! Kita bakal nonton terus. Timnas kan selalu butuh dukungan dari tribun virtual kita."
Rani menutup percakapan malam itu dengan kalimat penuh makna, "Tribun virtual, Din, Al, Rio... mungkin itu cara kita tetap merasa pulang ke Indonesia. Setiap kali Timnas bermain, kita selalu ada di sana."
Di malam dingin itu, setelah lampu laptop mati dan layar Zoom tertutup, aku menyadari bahwa jarak tidak akan pernah memutus ikatan kami dengan Tanah Air. Di setiap sorak yang terdengar, di tiap kata yang diucapkan, ada cinta yang selalu akan kembali pada tempatnya.
Dan di benakku, suara Rani tetap terngiang: "Setiap kali Timnas bermain, kita selalu ada di sana."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI