Ketika pertandingan dimulai, sorak sorai kami menjadi satu. Kamera di layar menyorot wajah kami yang penuh ekspresi, menahan napas, berteriak, dan tertawa lepas. Momen-momen genting saat Timnas mendekati gawang lawan membuat kami lupa bahwa kami sebenarnya duduk di depan layar, bukan di tribun stadion.
"ASTAGA! ASTAGA! SUNDUL! SUNDUL!" Ali berteriak histeris, nyaris menumpahkan minumannya.Â
"Eh, Dindin, lihat tuh, strategi kita jalan, kan? Si Bagus masuk dan langsung bikin pertahanan lawan kocar-kacir!" seru Rani penuh kemenangan. Kami berdua sama-sama heboh.Â
Namun, detik-detik terakhir pertandingan terasa seperti menggantung. Skor masih imbang, dan setiap gerakan para pemain di lapangan terasa begitu lambat. Rio terlihat tegang, bibirnya menggigit, dan Ali bahkan sampai meletakkan kedua tangannya di kepala.
Dan akhirnya, di menit ke-89, Bagus mendapatkan kesempatan. Bola mendekati kakinya, dan dengan sekali sentakan, dia menendang bola ke sudut kanan gawang. Kami semua terdiam, menahan napas, menyaksikan bola yang melesat cepat...
**GOOOOOL!!!**
"TENDANGAN BAGUS!!!" teriakku tanpa sadar, suara ini bergemuruh di ruangan kecilku, disambut teriakan teman-teman yang tidak kalah riuh.
Rio mengangkat kedua tangannya ke udara, "Eh, bener, kan, Dindin? Pahlawan kita Bagus!"
"Iya, Joe! Ih, ngeri kali ini Timnas! Gimana nggak bangga kita!" sahutku tanpa bisa menahan tawa. Wajah-wajah di layar Zoom kembali bersinar penuh kebahagiaan, seakan kami semua baru saja memenangkan sesuatu yang besar. Malam ini, di tengah kota Manchester, Tokyo, Amsterdam, dan Melbourne, kami menang bersama.
Usai pertandingan, kami masih enggan beranjak dari layar. Euforia kemenangan membuat kami merasa tetap dekat dengan Tanah Air, meski jauh di perantauan.
"Mau tahu nggak, Din?" Ali memecah keheningan dengan nada rendah. "Dukungan kayak gini tuh kadang yang bikin aku lupa kalau kita sebenarnya nggak di sana."