Mohon tunggu...
Fransisca Dafrosa
Fransisca Dafrosa Mohon Tunggu... Lainnya - Guru

saya orang yang sedang belajar menulis Fiksiana.Humaniora.Lyfe

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Digital atau Fisik? Semangat Membaca Siswa Kelas 8 di Era Buku Online

13 Oktober 2024   16:34 Diperbarui: 13 Oktober 2024   16:43 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://pixabay.com/


Saat mengajar materi mengulas karya fiksi di kelas 8, saya mengalami momen menarik yang membuka wawasan tentang perkembangan minat baca generasi muda masa kini. Dalam pelajaran Bahasa Indonesia, saya meminta siswa membaca buku fiksi untuk bahan diskusi. Tak lama, muncul pertanyaan antusias dari salah satu siswa, "Bu, apakah boleh buku online?"

Pertanyaan ini mengundang tawa kecil di kelas, tapi menjadi topik yang justru menarik minat mereka. Saya penasaran, buku online seperti apa yang mereka maksud? Saat saya tanyakan, mereka pun menjawab dengan penuh semangat, "Buku digital, Bu, seperti di Webtoon atau Wattpad!"

Ternyata, beberapa siswa aktif membaca karya-karya di platform digital seperti Webtoon dan Wattpad, dua platform populer yang menyediakan akses ke berbagai karya fiksi dalam bentuk komik dan cerita pendek. Semangat mereka terlihat dari antusiasme yang terpancar ketika membahas genre-genre cerita yang menarik hati. Bagi mereka, membaca melalui layar perangkat tidak mengurangi asyiknya menikmati cerita, dan mereka senang jika diberi kesempatan untuk membaca buku digital sebagai pilihan.

Namun, sebagai guru, saya perlu memastikan bahwa bahan bacaan yang mereka akses sesuai dengan usia mereka. Dalam hal ini, saya memberikan panduan mengenai bacaan yang boleh dibaca agar tetap mendukung pembelajaran dan perkembangan karakter mereka. Meskipun begitu, saya tidak ingin mematahkan semangat mereka untuk membaca, terutama ketika mereka sudah menunjukkan minat yang besar.

Setelah mendengar bahwa membaca buku digital diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu, wajah-wajah mereka berbinar. Respons yang muncul begitu positif, dan beberapa siswa bahkan mulai berdiskusi tentang cerita favorit mereka di aplikasi tersebut. Meski ini adalah format baru dalam dunia literasi, saya menyadari bahwa semangat mereka untuk membaca tetap kuat.

Namun, di tengah percakapan tentang buku digital, beberapa siswa lain mengungkapkan pendapat berbeda. Mereka lebih menyukai buku fisik, dan alasannya cukup menarik. Salah satu siswa berkata, “Kalau buku fisik itu lebih enak, Bu. Bisa dipegang langsung, ditandai kalau ada kalimat yang bagus, bahkan bisa diwarnai.”

Siswa yang menyukai buku fisik merasa buku fisik lebih memberi kesan nyata, bisa disentuh, dan bisa menjadi koleksi pribadi yang tersimpan rapi di rak kamar mereka. Mereka juga menyukai aktivitas menandai bagian-bagian penting atau menulis catatan kecil di dalamnya, sesuatu yang tidak bisa dilakukan dengan mudah di buku digital.

Perbedaan preferensi ini mencerminkan bahwa tidak semua siswa generasi saat ini lebih memilih media digital.

Meskipun hidup di era teknologi, buku fisik tetap memiliki daya tarik dan nilai sentimental bagi sebagian dari mereka. Bahkan, beberapa siswa merasa bahwa buku fisik lebih “bernilai” karena bisa dikoleksi dan dirawat seiring waktu.

Ini menunjukkan bahwa dalam era yang serba cepat ini, ada nilai-nilai yang tetap dipertahankan oleh anak-anak. Mereka menghargai buku sebagai benda nyata yang dapat mereka pegang dan nikmati dengan cara yang lebih personal.

Dalam diskusi kelas tersebut, saya menyadari bahwa perbedaan selera membaca tidak menjadi penghalang utama. Hal yang lebih penting adalah semangat mereka untuk membaca tetap terjaga. Terlepas dari format yang mereka pilih – fisik maupun digital – minat membaca mereka masih hidup dan tumbuh. Dengan kemajuan teknologi, pilihan format memang semakin beragam, dan sebagai guru, tugas saya bukan hanya menyediakan akses ke literasi, tetapi juga mendukung minat mereka dengan cara yang relevan dan sesuai dengan perkembangan zaman.

Momen ini juga mengingatkan saya pada ungkapan lama bahwa "buku adalah gudang ilmu." Tidak peduli medianya, baik cetak maupun digital, yang penting adalah konten yang bermanfaat dan mendorong anak-anak untuk terus belajar. Bagaimana mereka dapat mengambil pelajaran dari setiap bacaan yang mereka pilih.  Anak-anak yang gemar membaca, entah dalam format apa pun, sudah memiliki modal penting untuk mengembangkan diri mereka dan menghadapi masa depan dengan pengetahuan yang lebih luas. Sebagai guru saya mengingatkan bahwa literasi bukan hanya tentang membaca, tetapi juga tentang memahami, merenungkan, dan mendiskusikan isi bacaan. Melalui cara ini, mereka akan menjadi individu yang lebih kritis dan kreatif di masa depan.

Dari pengalaman ini, ada pelajaran berharga bagi kita sebagai pendidik dan orang tua. Ketika anak-anak menunjukkan minat dalam membaca, kita perlu menghargai dan mendukungnya, serta mengarahkan mereka ke bacaan yang sehat dan sesuai. Di tengah perkembangan teknologi dan berubahnya gaya hidup, semangat literasi tetap harus menjadi prioritas. 

Pada akhirnya, diskusi kecil di kelas ini mengajarkan saya bahwa literasi bukan hanya soal media, tetapi juga tentang bagaimana kita merawat minat baca anak-anak dengan cara yang relevan dan mendukung perkembangan karakter mereka. Dengan menjaga keseimbangan antara pilihan digital dan fisik, kita dapat membangun generasi yang cerdas dan tetap mencintai ilmu pengetahuan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun