Pak Hadi langsung menimpali, "Ah, tapi kalau sama saya lebih aman, Pak! Nggak bakal terguncang-guncang."
Rahmat tak mau kalah, "Biar lambat asal selamat, kan, Pak? Saya tahu jalanan sini kaya telapak tangan sendiri."
Turis itu hanya tersenyum bingung melihat ketiga tukang becak yang bersikeras mengklaim rute terbaik. Akhirnya, ia mengangguk ke arah Rahmat dan naik ke becaknya. Sejenak, Pak Wira dan Pak Hadi hanya bisa menghela napas kesal, merasa kalah dalam persaingan.
Mereka pun memulai perjalanan. Namun, setelah melewati beberapa belokan, jalan mulai terasa asing. Gang yang biasanya menjadi jalan pintas malah penuh dengan tumpukan sampah dan becak yang parkir sembarangan.
Rahmat mulai berkeringat. "Eh, biasanya ini jalan aman. Kok jadi gini, ya?" gumamnya, lebih pada dirinya sendiri.
Pak Wira dan Pak Hadi yang ikut dalam konvoi becak di belakangnya mulai bersorak kecil, seolah merayakan kegagalan Rahmat.
"Nah kan, kubilang rute ini jelek!" seru Pak Hadi. "Sudah, lewat rute saya saja!"
Rahmat pun akhirnya menyerah dan mengikuti arahan Pak Hadi. Namun, beberapa menit kemudian, mereka kembali menemui jalan buntu.
"Lho, kok jadi begini?" Pak Hadi garuk-garuk kepala, merasa malu di depan turis itu yang tampak semakin kebingungan.
"Maaf, Sir...I think...we need... little time," Pak Hadi berusaha menjelaskan dengan bahasa Inggris patah-patah.
Saat itulah, seorang anak kecil yang tengah membawa layang-layang melintas. Bocah itu berhenti dan memperhatikan para tukang becak yang kebingungan.