Mohon tunggu...
Fransisca Dafrosa
Fransisca Dafrosa Mohon Tunggu... Lainnya - Guru

saya orang yang sedang belajar menulis Fiksiana.Humaniora.Lyfe

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerita Seorang Guru Sejarah

1 Oktober 2024   09:42 Diperbarui: 1 Oktober 2024   10:23 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sebuah sekolah menengah di kota kecil yang mulai sibuk oleh modernitas, Pak Arif selalu menjadi sosok yang menginspirasi. Sebagai seorang guru sejarah, ia tak hanya bertugas mengajarkan murid-muridnya tentang peristiwa-peristiwa penting yang pernah terjadi di negeri ini. Lebih dari itu, ia memperjuangkan agar nilai-nilai Pancasila tetap hidup dan relevan, di tengah derasnya arus perubahan.

Kelas Sejarah pada pagi itu terasa berbeda. Hari Kesaktian Pancasila yang diperingati setiap tanggal 1 Oktober memberikan semangat tersendiri bagi Pak Arif. Di papan tulis, ia menuliskan lima sila yang membentuk dasar negara, kemudian berdiri di depan murid-muridnya yang tampak asyik dengan gawai masing-masing.

"Anak-anak, apa arti Hari Kesaktian Pancasila bagi kalian?" tanyanya, suaranya lembut namun tegas. Beberapa murid mulai mengangkat kepala, terlihat bingung.

"Ada yang tahu?" lanjutnya, mencoba menantang. Murid-murid saling memandang, mencoba meresapi pertanyaan yang mungkin terasa jauh dari keseharian mereka.

Tangan Rani, salah satu murid yang duduk di bangku depan, terangkat perlahan. "Pak, Hari Kesaktian Pancasila memperingati perjuangan bangsa kita melawan ancaman ideologi lain yang ingin menggantikan Pancasila, seperti yang terjadi pada peristiwa G30S," jawabnya dengan percaya diri.

Pak Arif tersenyum. "Betul, Rani. Tapi sekarang, mari kita lihat lebih dalam. Bagaimana dengan ancaman saat ini? Apakah ancaman terhadap Pancasila hanya berupa ideologi lain yang datang dari luar?"

Kelas kembali hening. Beberapa murid mulai menunduk, enggan berinteraksi.

Pak Arif menghela napas. "Tantangan terbesar bagi Pancasila sekarang bukan hanya ancaman dari luar, tetapi juga dari dalam, yaitu erosi nilai-nilai. Kalian lihat, betapa mudahnya kita saat ini terpecah karena perbedaan pendapat, karena mudahnya akses pada berita hoaks, dan karena kurangnya sikap saling menghormati."

Roni, murid yang terkenal sering berdebat di media sosial, tiba-tiba berbicara. "Tapi, Pak, bukankah zaman sekarang justru kita harus bebas menyuarakan pendapat? Kadang nilai-nilai lama itu tidak relevan lagi."

Pak Arif tersenyum, melihat bahwa inilah kesempatan untuk menggali lebih dalam pemikiran para muridnya. "Kebebasan itu penting, Roni, tetapi kebebasan tanpa tanggung jawab akan membawa kehancuran. Pancasila mengajarkan kita tentang kebebasan yang berlandaskan pada nilai-nilai kemanusiaan, persatuan, dan keadilan. Jika kebebasan itu hanya digunakan untuk memecah belah, kita kehilangan esensi dari persatuan bangsa ini."

Roni terdiam, tampaknya mencoba memahami sudut pandang gurunya. Pak Arif melanjutkan, "Zaman modern memang menuntut kita untuk berubah, tetapi perubahan itu harus tetap berakar pada nilai-nilai yang kita pegang sebagai bangsa. Nilai gotong royong, tenggang rasa, dan menjaga persatuan---itulah tantangan kita hari ini."

Hari itu, diskusi di kelas sejarah tersebut terus berlanjut. Murid-murid mulai lebih aktif berpartisipasi, meski sebagian masih terlihat skeptis. Namun, di luar kelas, perjuangan Pak Arif untuk menanamkan nilai-nilai Pancasila tidak berhenti.

Di lingkungan tempat tinggalnya, Pak Arif dikenal sebagai sosok yang peduli pada isu-isu sosial. Ia sering mengorganisir diskusi tentang masalah kebangsaan dengan para tetangga, terutama tentang bagaimana Pancasila bisa diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, ia juga menyadari bahwa tidak semua orang menyambut baik idenya.

"Zaman sudah berubah, Arif. Orang sekarang lebih peduli pada diri sendiri. Gotong royong sudah jarang terlihat, bahkan di antara tetangga sendiri," ujar Pak Budi, salah satu tetangga yang sudah lama tinggal di komplek tersebut.

Pak Arif tersenyum pahit. "Itu yang justru saya khawatirkan, Pak Budi. Kita terlalu fokus pada diri sendiri dan melupakan nilai-nilai yang dulu sangat kuat dalam kehidupan sosial kita."

"Memangnya apa yang bisa kita lakukan? Orang lebih sibuk cari uang, kerja, dan hiburan. Sulit untuk kembali ke zaman dulu," sahut Pak Budi lagi.

Pak Arif mengangguk. Ia paham bahwa mengubah pola pikir masyarakat tidaklah mudah, apalagi di era di mana teknologi dan individualisme semakin menguat. Namun, ia tidak menyerah. Ia percaya bahwa perubahan harus dimulai dari hal kecil. Di setiap pertemuan, di setiap diskusi, ia selalu mengingatkan pentingnya menjaga persatuan dan kerukunan.

Di peringatan Hari Kesaktian Pancasila di lingkungan sekolah, Pak Arif berdiri di depan mikrofon, menyampaikan pidatonya. "Hari ini, kita bukan hanya memperingati kemenangan Pancasila atas ancaman ideologi lain, tetapi juga harus merenungkan bagaimana kita sebagai bangsa bisa menjaga nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Perjuangan untuk mempertahankan Pancasila bukan hanya soal menghadapi ancaman dari luar, tetapi juga bagaimana kita menjaga nilai-nilai tersebut di tengah kehidupan modern yang sering kali membuat kita lupa akan jati diri bangsa."

Beberapa guru dan orang tua murid yang hadir mulai mengangguk setuju. Pak Arif melanjutkan, "Pancasila mengajarkan kita tentang persatuan, keadilan, dan kemanusiaan. Jika kita biarkan nilai-nilai ini terkikis, maka bangsa kita akan kehilangan arah."

Usai acara, beberapa orang tua murid mendekati Pak Arif. "Pak, terima kasih untuk pidatonya. Kadang saya lupa bahwa nilai-nilai itu penting untuk diajarkan di rumah, bukan hanya di sekolah," ujar seorang ibu sambil menggandeng anaknya.

Pak Arif tersenyum dan berkata, "Tidak ada kata terlambat untuk memulai, Bu. Jika kita ingin bangsa ini tetap kokoh, pendidikan nilai harus dimulai dari keluarga."

Malam itu, Pak Arif merenung di teras rumahnya. Angin malam yang sejuk menyentuh wajahnya, namun ada kegelisahan yang tetap mengganjal di hatinya. Ia tahu bahwa perjuangan mempertahankan nilai-nilai Pancasila tidaklah mudah di tengah arus modernitas yang semakin mengikisnya. Namun, ia tetap yakin, bahwa selama masih ada orang yang peduli dan mau berjuang, Pancasila akan tetap sakti, tidak hanya sebagai simbol negara, tetapi sebagai panduan hidup bangsa ini.

Di matanya, Pancasila bukan sekadar lima sila yang harus dihafal, tetapi nilai-nilai yang harus terus diperjuangkan---baik di dalam kelas, di lingkungan sosial, maupun dalam kehidupan pribadi setiap orang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun