Mohon tunggu...
Fransisca Dafrosa
Fransisca Dafrosa Mohon Tunggu... Lainnya - Guru

saya orang yang sedang belajar menulis Fiksiana.Humaniora.Lyfe

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerita Seorang Guru Sejarah

1 Oktober 2024   09:42 Diperbarui: 1 Oktober 2024   10:23 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hari itu, diskusi di kelas sejarah tersebut terus berlanjut. Murid-murid mulai lebih aktif berpartisipasi, meski sebagian masih terlihat skeptis. Namun, di luar kelas, perjuangan Pak Arif untuk menanamkan nilai-nilai Pancasila tidak berhenti.

Di lingkungan tempat tinggalnya, Pak Arif dikenal sebagai sosok yang peduli pada isu-isu sosial. Ia sering mengorganisir diskusi tentang masalah kebangsaan dengan para tetangga, terutama tentang bagaimana Pancasila bisa diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, ia juga menyadari bahwa tidak semua orang menyambut baik idenya.

"Zaman sudah berubah, Arif. Orang sekarang lebih peduli pada diri sendiri. Gotong royong sudah jarang terlihat, bahkan di antara tetangga sendiri," ujar Pak Budi, salah satu tetangga yang sudah lama tinggal di komplek tersebut.

Pak Arif tersenyum pahit. "Itu yang justru saya khawatirkan, Pak Budi. Kita terlalu fokus pada diri sendiri dan melupakan nilai-nilai yang dulu sangat kuat dalam kehidupan sosial kita."

"Memangnya apa yang bisa kita lakukan? Orang lebih sibuk cari uang, kerja, dan hiburan. Sulit untuk kembali ke zaman dulu," sahut Pak Budi lagi.

Pak Arif mengangguk. Ia paham bahwa mengubah pola pikir masyarakat tidaklah mudah, apalagi di era di mana teknologi dan individualisme semakin menguat. Namun, ia tidak menyerah. Ia percaya bahwa perubahan harus dimulai dari hal kecil. Di setiap pertemuan, di setiap diskusi, ia selalu mengingatkan pentingnya menjaga persatuan dan kerukunan.

Di peringatan Hari Kesaktian Pancasila di lingkungan sekolah, Pak Arif berdiri di depan mikrofon, menyampaikan pidatonya. "Hari ini, kita bukan hanya memperingati kemenangan Pancasila atas ancaman ideologi lain, tetapi juga harus merenungkan bagaimana kita sebagai bangsa bisa menjaga nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Perjuangan untuk mempertahankan Pancasila bukan hanya soal menghadapi ancaman dari luar, tetapi juga bagaimana kita menjaga nilai-nilai tersebut di tengah kehidupan modern yang sering kali membuat kita lupa akan jati diri bangsa."

Beberapa guru dan orang tua murid yang hadir mulai mengangguk setuju. Pak Arif melanjutkan, "Pancasila mengajarkan kita tentang persatuan, keadilan, dan kemanusiaan. Jika kita biarkan nilai-nilai ini terkikis, maka bangsa kita akan kehilangan arah."

Usai acara, beberapa orang tua murid mendekati Pak Arif. "Pak, terima kasih untuk pidatonya. Kadang saya lupa bahwa nilai-nilai itu penting untuk diajarkan di rumah, bukan hanya di sekolah," ujar seorang ibu sambil menggandeng anaknya.

Pak Arif tersenyum dan berkata, "Tidak ada kata terlambat untuk memulai, Bu. Jika kita ingin bangsa ini tetap kokoh, pendidikan nilai harus dimulai dari keluarga."

Malam itu, Pak Arif merenung di teras rumahnya. Angin malam yang sejuk menyentuh wajahnya, namun ada kegelisahan yang tetap mengganjal di hatinya. Ia tahu bahwa perjuangan mempertahankan nilai-nilai Pancasila tidaklah mudah di tengah arus modernitas yang semakin mengikisnya. Namun, ia tetap yakin, bahwa selama masih ada orang yang peduli dan mau berjuang, Pancasila akan tetap sakti, tidak hanya sebagai simbol negara, tetapi sebagai panduan hidup bangsa ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun