---
Satu bulan sebelumnya, ketika internet di desa masih stabil, Pak Samad sudah mulai memperingatkan bahwa perpustakaan kelilingnya butuh perhatian. Kendaraan tua yang biasa ia gunakan mulai sering mogok, dan koleksi bukunya mulai usang.
"Kalau sampai jaringan internet putus, aku khawatir," katanya suatu hari. "Buku-buku ini harus lebih sering dibaca. Generasi muda perlu lebih menghargai mereka."
Namun, saat itu tidak ada yang terlalu memedulikan peringatannya. Semua sibuk dengan koneksi internet, lebih cepat dan praktis.
---
Dan sekarang, aku berdiri di antara warga desa yang mulai gusar. Tanpa internet, tanpa perpustakaan, kami seolah terjebak di tempat yang sunyi. Pak Samad, dengan penuh dedikasi, tetap datang setiap minggu, meski ia tahu ini mungkin perjalanan terakhirnya.
Aku melangkah mendekat. "Pak, benarkah ini akhir dari perpustakaan keliling?"
Pak Samad mengangguk pelan. "Aku sudah berusaha sebisaku, Nak. Tapi aku tidak punya cukup dana lagi. Aku tidak ingin meninggalkan desa ini, tapi..."
"Kita akan bantu, Pak," suara Nadya memotong. Anak kecil itu berdiri di tengah warga dengan tatapan penuh tekad. "Kita bisa kumpulkan dana, buat acara, apa saja! Bapak sudah memberikan banyak untuk kita. Sekarang giliran kami yang membantu."
Suasana hening sejenak. Warga menatap satu sama lain, sebelum akhirnya mulai bersuara satu per satu. "Aku punya beras. Kita bisa jual di pasar," kata seorang ibu.
"Aku punya kayu. Kita bisa buat kerajinan," tambah seorang bapak.