Langit senja di Desa Rantau menguning, menciptakan bayangan panjang di jalanan berdebu yang sudah sebulan ditinggalkan kendaraan. Para warga duduk di beranda, menatap kosong ke perbukitan. Pemandangan yang biasanya mereka nikmati kini hanya meninggalkan kekosongan, karena sejak sebulan lalu, satu-satunya jaringan internet di desa itu terputus total.
Aku berjalan pelan menuju salah satu rumah panggung yang terlihat paling ramai---pusat segala kegelisahan desa ini. Di depan rumah, terlihat anak-anak kecil berkumpul. Mereka semua mengelilingi seseorang yang, meski dengan wajah lelah, tampak tetap penuh semangat. Sosok itu adalah Pak Samad, pustakawan keliling yang belakangan menjadi tumpuan desa ini.
"Apa yang terjadi dengan jaringan, Pak? Apa kita akan tetap seperti ini tanpa koneksi dunia luar?" tanya seorang anak, Nadya, dengan suara gemetar.
Pak Samad tersenyum, meski samar. "Jangan khawatir, Nak. Selama kita masih punya buku, kita masih punya jalan untuk belajar."
Buku---satu-satunya jendela ke dunia luar yang tersisa bagi mereka.
Warga mulai berkumpul. Dalam beberapa minggu terakhir, sejak internet desa mereka terputus, perpustakaan keliling Pak Samad menjadi satu-satunya harapan. Desa Rantau tak hanya jauh dari peradaban, tetapi juga dari perhatian pemerintah. Jaringan yang terputus seolah-olah memutus hubungan mereka dengan dunia yang lebih besar.
Namun, mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
---
Seminggu sebelumnya, aku melihat wajah Pak Samad tampak lebih kelabu dari biasanya. Matanya gelisah, pandangannya kosong saat duduk di tepi perpustakaan kelilingnya yang sudah mulai usang. Saat aku menghampirinya untuk menanyakan kabar, dia hanya menggelengkan kepala.Â
"Ini mungkin terakhir kalinya aku ke sini," katanya lirih.
Aku terkejut. "Apa maksud Bapak? Bukankah desa ini bergantung pada perpustakaan keliling? Kita tidak punya internet lagi, Pak."