Mohon tunggu...
Fransisca Dafrosa
Fransisca Dafrosa Mohon Tunggu... Lainnya - Guru

saya orang yang sedang belajar menulis Fiksiana.Humaniora.Lyfe

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menembus Kabut Ketakutan

27 Agustus 2024   08:54 Diperbarui: 27 Agustus 2024   09:02 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anti tersenyum lemah. "Aku tidak akan sampai sejauh ini tanpa kalian semua. Terima kasih, Lani. Terima kasih untuk semuanya."

Lani menatap Anti dengan lembut. "Ingat, kemerdekaan itu bukan hanya soal bebas dari kekerasan fisik. Tapi juga bebas dari rasa takut, dari bayangan masa lalu. Kamu pantas mendapatkan itu, Anti."

Anti mengangguk. Kata-kata Lani begitu benar adanya. Selama ini, ia hanya memikirkan bagaimana caranya keluar dari cengkeraman mantan suaminya. Namun, kemerdekaan sejati ternyata lebih dari sekadar fisik. Itu tentang kebebasan dari trauma, dari belenggu emosi yang selama ini menahannya untuk maju.

**

Suatu sore, Anti menerima telepon dari adiknya, Nina. "Kak, aku senang banget dengar kabar kalau Kakak sekarang sudah baik-baik saja. Aku ingin ketemu, boleh?" Anti terdiam sejenak. Sudah lama ia tidak bertemu keluarganya, terutama Nina, adik yang paling dekat dengannya. Rasa rindu mengalir begitu kuat, namun juga disertai sedikit rasa takut. Apakah ia siap bertemu keluarganya lagi setelah semua yang terjadi?

"Baik, Nina. Kita ketemu akhir pekan ini," jawab Anti akhirnya, suara bergetar oleh emosi yang sulit ia tahan.

Akhir pekan tiba, dan Anti menunggu dengan gelisah di sebuah kafe kecil dekat apartemennya. Nina datang dengan senyum lebar dan langsung memeluknya erat.

"Kakak terlihat jauh lebih baik sekarang," kata Nina sambil menatap Anti dengan mata yang berkaca-kaca. Anti hanya tersenyum. "Aku sedang berusaha, Nina. Tapi aku masih merasa berat untuk melupakan semuanya." Nina menggenggam tangan kakaknya. "Kak, tidak ada yang memaksa Kakak untuk melupakan. Tapi aku tahu Kakak kuat. Kita semua tahu. Keluarga selalu ada di belakang Kakak."

Air mata akhirnya jatuh dari mata Anti. Kata-kata Nina menghangatkan hatinya. Meskipun jauh di lubuk hati ia masih merasa terluka, dukungan keluarganya memberikan kekuatan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.

**

Beberapa minggu kemudian, di sebuah acara komunitas, Anti berdiri di depan mikrofon. Ruangan itu penuh dengan wanita-wanita lain yang pernah melalui hal serupa. Ini adalah pertama kalinya ia berbicara di depan umum tentang apa yang ia alami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun