Mohon tunggu...
Fransisca Dafrosa
Fransisca Dafrosa Mohon Tunggu... Lainnya - Guru

saya orang yang sedang belajar menulis Fiksiana.Humaniora.Lyfe

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Surat yang Tak Terbaca

15 Agustus 2024   11:29 Diperbarui: 15 Agustus 2024   16:15 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Senja menyelimuti desa kecil di ujung bukit itu dengan kehangatan, tapi di rumah tua di ujung desa, kehangatan hanyalah ilusi. Tak ada lagi tawa atau canda, hanya ada kesunyian yang mengisi tiap sudut ruangan. Di atas ranjang kayu yang sudah mulai lapuk, terbaring seorang lelaki tua dengan tubuh kurus kering. Napasnya tersengal-sengal, seakan menunggu sebuah pertemuan terakhir dengan maut yang tak terelakkan.

"Kek... aku lapar," bisik seorang anak kecil di sampingnya, suaranya nyaris tak terdengar. Anak itu, cucunya, satu-satunya keluarga yang masih tersisa, menatapnya dengan mata besar yang penuh harap, namun ia tahu harapan itu adalah mimpi yang tak akan pernah terwujud.

Lelaki tua itu menggenggam tangan cucunya, mengalirkan rasa hangat yang tersisa di tubuhnya yang lemah. Tapi ia tahu, hangat itu tak akan bertahan lama.
***
Beberapa hari sebelumnya, senja juga menyelimuti desa, tapi saat itu, masih ada semangat kecil yang menyala di hati. Lelaki tua itu berjalan tertatih-tatih menuju ladang kering yang telah lama ditinggalkan. Ladang itu tak lagi subur seperti dahulu, tanahnya telah lama mengeras, menolak setiap benih yang ditanamnya. Namun, lelaki tua itu tetap mencoba dengan sisa-sisa tenaga yang ia miliki, ia menanam bibit-bibit yang ia temukan di sudut rumah, berharap keajaiban datang membawa hasil.

"Kek.. kenapa tanah ini tak mau lagi memberi kita makan?" tanya cucunya saat itu, matanya menatap ladang dengan penuh kebingungan.

Lelaki tua itu terdiam sejenak. Ia tak tahu bagaimana menjelaskan pada cucunya bahwa tanah itu sudah kehilangan kesuburannya karena musim yang tak lagi bersahabat. Akhirnya, ia hanya tersenyum dan berkata, "Tanah ini lelah, Nak. Tapi kita tak boleh menyerah."

Tapi di balik senyumnya, ada kesedihan yang tak terucapkan. Ia tahu, waktu mereka semakin sedikit. Setiap hari adalah perjuangan yang berat. Setiap pagi mereka bangun dengan perut kosong dan tertidur dengan perut yang sama. Air mata cucunya sering menjadi teman malamnya, dan tak ada yang lebih menyakitkan bagi seorang kakek selain melihat cucunya menderita.
***
Malam semakin larut, angin dingin menyusup masuk melalui celah-celah dinding rumah yang rapuh. Lelaki tua itu terjaga di tengah malam, mendengar suara lambat napas cucunya di sampingnya. Ia tahu, ini hanya soal waktu. Tubuh kecil cucunya yang dulu ceria kini semakin lemah, seperti bunga yang layu karena kekurangan air.

Lelaki tua itu bangkit dari ranjang, meskipun tubuhnya sendiri sudah hampir tak sanggup lagi menahan beban usianya. Ia berjalan menuju sudut ruangan, di mana terdapat sekarung beras yang hampir kosong. Dengan tangan yang gemetar, ia mengambil segenggam beras terakhir dan merebusnya. Asap putih yang keluar dari panci mengingatkannya pada masa lalu, ketika dapurnya selalu dipenuhi oleh aroma masakan dan tawa keluarganya.

"Ini, Nak," katanya lembut ketika nasi sudah matang, menyuapkan sesendok kecil kepada cucunya. "Makanlah, biar perutmu sedikit hangat."

Cucunya mengunyah perlahan, namun hanya satu suap, dan setelah itu ia menolak. "Aku ingin Ayah dan Ibu, Kek... Mereka di mana?"

Pertanyaan cucunya selalu menjadi duri di hati lelaki tua itu. Anak-anaknya telah pergi meninggalkannya, bukan karena keinginan mereka, tetapi karena kelaparan telah lebih dulu merenggut mereka. Ia tak pernah menceritakan kenyataan itu kepada cucunya. Baginya, kebohongan kecil itu adalah satu-satunya cara untuk menjaga senyum di wajah cucunya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun