---
"Kenapa berhenti nulis, Cha?" tanya Rina sambil menyeruput kopi hitam yang mulai dingin. Suara hujan di luar jendela kedai kopi semakin keras, seakan ikut menegaskan pertanyaan itu.
Ocha menatap layar laptopnya yang mati, seolah mencari jawaban di sana. "Nggak tahu, Rin. Mungkin aku terlalu capek," jawabnya pelan.
Rina mengangguk mengerti. "Tapi kamu dulu suka banget nulis, kan? Apalagi setelah kamu gabung di Kompasiana, kamu semangat banget."
Ocha tersenyum samar. Ingatannya melayang ke saat pertama kali dia memberanikan diri menulis di platform besar itu. Awalnya, menulis hanyalah sebuah pelarian, tempat dia menuangkan segala perasaan yang sulit diucapkan. Buku catatan, laptop, atau bahkan sekadar mengetik di ponsel sudah cukup membuatnya merasa lega. Tapi, ketika dia mendengar tentang Kompasiana dari salah satu temannya, rasa penasaran itu muncul.
"Kalau kamu nulis di sini, bisa dibaca banyak orang. Siapa tahu kamu bisa terkenal," ujar temannya saat itu.
Tentu saja, niat Ocha saat itu bukanlah untuk terkenal. Dia hanya ingin berbagi cerita, pengalaman, dan opini. Lagipula, menulis di Kompasiana terasa seperti tantangan baru baginya. Dia pun mulai menulis dan mempublikasikan tulisannya, meski tidak rutin. Kalau ada ide, dia menulis. Kalau tidak, dia biarkan saja.
Namun, satu hal yang dia tidak pernah duga adalah kenyataan bahwa menulis di Kompasiana bisa menghasilkan uang. "Bayangkan, Cha, kalau kamu rajin nulis setiap hari, kamu bisa dapat penghasilan tambahan," kata Rina suatu hari dengan antusias. Kata-kata itu terus terngiang di benak Ocha.
"Kalau cuma uang, sebenarnya nggak seberapa, Rin. Tapi rasanya menyenangkan aja kalau bisa dapat apresiasi," kata Ocha sambil memutar kembali ingatannya tentang hari-hari awal di Kompasiana. Pada awalnya, Ocha memang tidak terlalu peduli apakah tulisannya akan menjadi tulisan pilihan atau bahkan artikel utama. Dia menulis untuk dirinya sendiri. Tetapi, setelah tahu bahwa menulis bisa menghasilkan, dia mulai merasa tertantang. Setiap hari, dia mulai mencari ide-ide baru, merangkai kata-kata yang lebih menarik, dan berusaha menjaga konsistensi.
"Aku lihat kamu makin sering nulis sejak tahu bisa dapat uang," sindir Rina, membuat Ocha tertawa kecil. Memang, ada masa ketika Ocha begitu giat menulis. Ide-ide muncul tanpa henti, mengalir seperti air yang tak pernah kering. Tapi, seiring berjalannya waktu, dia mulai merasakan beban. Apa yang dulu merupakan pelarian, kini berubah menjadi tuntutan.
"Aku jadi ngerasa kehilangan gairah menulis, Rin," aku Ocha. "Padahal, dulu menulis adalah cara aku menjaga kewarasan."
Rina mengangguk pelan. "Mungkin kamu terlalu memaksakan diri, Cha. Dulu kamu nulis karena ingin, bukan karena harus."
Kata-kata Rina itu seperti tamparan lembut yang membangunkan Ocha dari lamunan panjangnya. Dia baru sadar bahwa dalam perjalanannya mencari penghasilan tambahan, dia telah mengabaikan alasan utamanya menulis. Dia menulis bukan lagi untuk dirinya, tapi untuk memenuhi ekspektasi orang lain, dan itu yang membuatnya merasa tertekan.
"Ya, kamu benar. Aku kehilangan esensi menulis yang sebenarnya," ucap Ocha dengan mata yang mulai berbinar. "Aku lupa kenapa aku mulai menulis sejak awal."
Rina tersenyum hangat. "Menulis itu tentang jiwa, Cha. Kalau kamu terlalu mengejar materi, kamu akan kehilangan ruhnya. Coba tulis lagi untuk dirimu sendiri, bukan untuk orang lain."
Ocha terdiam sejenak. Pikirannya menerawang kembali ke masa-masa ketika dia hanya menulis untuk mengungkapkan perasaan, bukan untuk mendapatkan uang atau apresiasi. Di tengah ketenangan itu, dia mengambil keputusan penting.
Esok harinya, Ocha membuka laptopnya. Kali ini, tanpa beban untuk menghasilkan sesuatu yang sempurna, dia mulai mengetik dengan bebas. Setiap kata yang keluar dari jari-jarinya adalah kata-kata yang lahir dari hati, bukan dari ambisi. Tulisan itu mungkin tidak akan menjadi tulisan pilihan, apalagi artikel utama. Tetapi, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Ocha merasa puas dengan apa yang dia tulis.
"Ini baru namanya menulis," gumam Ocha sambil tersenyum. Dia sadar, meski mungkin tulisannya tidak akan pernah menduduki puncak popularitas di Kompasiana, dia sudah menemukan kembali apa yang selama ini hilang---kesenangan dalam menulis.
Dan, di antara baris-baris tulisan yang kembali dia temukan, Ocha menyadari bahwa uang memang penting, tapi menjaga kewarasan dan kebahagiaan dalam menulis jauh lebih berarti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H