Mohon tunggu...
Fransisca Dafrosa
Fransisca Dafrosa Mohon Tunggu... Lainnya - Guru

saya orang yang sedang belajar menulis Fiksiana.Humaniora.Lyfe

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Maaf, Bunda Tak Sempurna

4 Agustus 2024   17:20 Diperbarui: 4 Agustus 2024   17:48 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Bunda jahat! Kakak benci Bunda!" jerit Kirana sambil berlari ke kamar, membanting pintu sekeras mungkin. Debuman itu bagai palu godam meremukkan hati Tari. Ia terduduk lemas di sofa, air mata mengalir deras bak sungai meluap.

"Lagi-lagi, Kirana jadi korban ledakan emosiku," isaknya dalam hati. Bayangan wajah mungil Kirana yang penuh luka terpatri dalam benaknya. Tari merasa menjadi monster yang tak pantas menyandang gelar ibu.


Seminggu sebelumnya, Tari masih merasa menjadi wanita paling beruntung di dunia. Ia baru saja melahirkan anak kedua, seorang putra yang sehat dan tampan. Kebahagiaan Tari seolah sempurna. Namun, seiring berjalannya waktu, badai emosi mulai menerjang. Tari merasa lelah luar biasa, emosinya labil bak roller coaster. Ia mudah tersinggung, marah, dan menangis tanpa sebab.

"Kenapa aku begini? Apa aku tidak bersyukur?" batinnya berkecamuk. Tari berusaha keras menyembunyikan gejolak emosinya dari suami dan anak-anaknya. Ia tak ingin merusak kebahagiaan mereka. Namun, semakin ia berusaha menekan, semakin besar ledakannya.


"Kirana, cepat makan! Jangan berantakan!" bentak Tari suatu pagi. Kirana yang baru berusia dua tahun ketakutan melihat wajah Bunda yang merah padam. Nasi berserakan di lantai, Kirana menangis tersedu-sedu.

"Maaf, Bunda," lirihnya sambil terisak. Tari merasa hatinya teriris, namun ia tak mampu mengendalikan amarahnya.

Konflik pun tak terelakkan. Suaminya, Rian, mulai merasa ada yang tidak beres dengan Tari. Ia mencoba mengajak bicara, namun Tari selalu menghindar. Rian merasa istrinya semakin menjauh, bagai kapal yang terombang-ambing di tengah lautan badai.


"Ada apa denganmu, Tari? Kau berubah," tanya Rian suatu malam. Tari hanya diam, air mata mengalir deras. Ia merasa tak mampu menjelaskan apa yang terjadi padanya.

"Aku lelah, Rian. Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku," isaknya. Rian memeluk Tari erat, berusaha menenangkannya. Namun, ia tak tahu bahwa istrinya sedang tenggelam dalam lautan emosi yang disebut baby blues.

Puncak konflik terjadi saat Kirana demam tinggi. Tari panik dan menyalahkan dirinya sendiri. Ia merasa gagal menjadi ibu yang baik. Rian berusaha menenangkan Tari, namun emosinya sudah memuncak.

"Ini semua salahku! Aku ibu yang buruk!" teriak Tari histeris. Rian tertegun, ia tak pernah melihat istrinya sehancur ini.

"Tenanglah, Tari. Kita akan bawa Kirana ke dokter," ujar Rian sambil memeluk Tari. Namun, Tari terus menangis dan menyalahkan dirinya sendiri.


Setelah Kirana sembuh, Rian mulai mencari tahu tentang perubahan emosi Tari. Ia membaca artikel dan berkonsultasi dengan dokter. Akhirnya, ia menemukan jawabannya: baby blues.

Rian menjelaskan pada Tari tentang baby blues dan meyakinkannya bahwa itu bukan salahnya. Ia mengajak Tari berkonsultasi dengan psikolog dan memberikan dukungan penuh. Tari merasa lega akhirnya ada yang mengerti kondisinya.

Tari mulai menjalani terapi dan belajar mengelola emosinya. Ia berusaha memperbaiki hubungannya dengan Kirana.

Tari berlutut di depan Kirana, matanya berkaca-kaca. "Kakak, maafin Bunda ya? Bunda udah jahat sama Kakak."

Kirana menatap ibunya dengan mata polos. "Bunda jahat?"

Tari mengangguk pelan. "Bunda sering marah-marah sama Kakak. Padahal Kakak nggak salah apa-apa."

Kirana terdiam sejenak, lalu mengulurkan tangan kecilnya mengusap air mata Tari. "Bunda nggak jahat. Kakak sayang Bunda."

Tari memeluk Kirana erat, air matanya mengalir deras. "Terima kasih, sayang. Bunda janji nggak akan marah-marah lagi."

Kirana tersenyum manis, lalu mencium pipi ibunya. "Kakak juga sayang Bunda."

Namun, luka yang terlanjur tergores di hati Kirana tak mudah hilang. Kirana menjadi anak yang pendiam dan pemalu. Ia takut membuat kesalahan dan dimarahi Bunda lagi. Tari merasa bersalah dan menyesal telah menyakiti anaknya.


Waktu terus berlalu, Tari berusaha menjadi ibu yang lebih baik. Ia belajar mengendalikan emosinya dan memberikan kasih sayang yang cukup untuk kedua anaknya. Namun, bayang-bayang masa lalu terus menghantuinya.

Suatu hari, Tari menemukan Kirana sedang menangis di kamarnya. Kirana memeluk boneka kesayangannya erat-erat.

"Kenapa menangis, sayang?" tanya Tari lembut. Kirana mendongak, matanya berkaca-kaca.

"Bunda, apa Bunda masih sayang sama Kakak?" tanyanya lirih. Hati Tari hancur berkeping-keping. Ia memeluk Kirana erat-erat dan menangis bersamanya.

"Maafkan Bunda, sayang. Bunda sangat menyayangimu," isak Tari. Kirana membalas pelukan Tari, air matanya membasahi bahu Bunda.


Tari menyadari bahwa luka yang ia torehkan pada Kirana tak akan pernah hilang sepenuhnya. Ia harus belajar hidup dengan penyesalan itu dan berusaha menjadi ibu yang lebih baik setiap harinya. Tari berharap suatu hari nanti Kirana bisa memaafkannya sepenuhnya dan melupakan masa lalu yang kelam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun