"Ini semua salahku! Aku ibu yang buruk!" teriak Tari histeris. Rian tertegun, ia tak pernah melihat istrinya sehancur ini.
"Tenanglah, Tari. Kita akan bawa Kirana ke dokter," ujar Rian sambil memeluk Tari. Namun, Tari terus menangis dan menyalahkan dirinya sendiri.
Setelah Kirana sembuh, Rian mulai mencari tahu tentang perubahan emosi Tari. Ia membaca artikel dan berkonsultasi dengan dokter. Akhirnya, ia menemukan jawabannya: baby blues.
Rian menjelaskan pada Tari tentang baby blues dan meyakinkannya bahwa itu bukan salahnya. Ia mengajak Tari berkonsultasi dengan psikolog dan memberikan dukungan penuh. Tari merasa lega akhirnya ada yang mengerti kondisinya.
Tari mulai menjalani terapi dan belajar mengelola emosinya. Ia berusaha memperbaiki hubungannya dengan Kirana.
Tari berlutut di depan Kirana, matanya berkaca-kaca. "Kakak, maafin Bunda ya? Bunda udah jahat sama Kakak."
Kirana menatap ibunya dengan mata polos. "Bunda jahat?"
Tari mengangguk pelan. "Bunda sering marah-marah sama Kakak. Padahal Kakak nggak salah apa-apa."
Kirana terdiam sejenak, lalu mengulurkan tangan kecilnya mengusap air mata Tari. "Bunda nggak jahat. Kakak sayang Bunda."
Tari memeluk Kirana erat, air matanya mengalir deras. "Terima kasih, sayang. Bunda janji nggak akan marah-marah lagi."
Kirana tersenyum manis, lalu mencium pipi ibunya. "Kakak juga sayang Bunda."