Mohon tunggu...
Fransisca Dafrosa
Fransisca Dafrosa Mohon Tunggu... Lainnya - Guru

saya orang yang sedang belajar menulis Fiksiana.Humaniora.Lyfe

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Siluet Senja

1 Agustus 2024   14:58 Diperbarui: 1 Agustus 2024   15:01 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://pixabay.com/photos/sunset-nature-meadow-field-3416768/

"Kenapa kamu pilih dia?" tanyaku dengan suara bergetar, mataku menatap penuh harap pada sosoknya di depan sana. Malam itu, langit Jakarta memamerkan rona jingga yang memudar, seperti perasaan yang perlahan pudar di antara kami.

Rani, dengan mata yang basah, menarik napas dalam. "Karena dia... dia mengerti aku, Bagas. Bukan hanya apa yang aku suka atau tidak suka, tapi dia memahami siapa aku."

Aku menggigit bibir, berusaha menahan semua kata yang ingin kuucapkan. Di balik siluet gedung-gedung Jakarta, aku melihat bayangan masa lalu kami yang kini terancam hilang. "Apa aku nggak pernah mengerti kamu?"

Matanya berkabut, ia menunduk. "Kamu mengerti aku, tapi kamu tidak mengerti keluargaku. Kamu tidak pernah bisa menerima perbedaan kita."

---

Seminggu sebelumnya, Jakarta menyambut pagi dengan semangat yang cerah, meskipun hati Rani dan aku sedang dibalut awan kelabu. Pagi itu, aku berdiri di depan pintu rumah Rani dengan bunga di tangan. Hari itu, aku berniat untuk melamarnya. Namun, rencana indah itu berubah menjadi tragedi kecil saat ayah Rani membuka pintu dengan raut wajah yang tegas.

"Kamu di sini lagi, Bagas?" katanya dingin.

Aku mengangguk, mencoba tersenyum. "Saya ingin bicara dengan Bapak dan Ibu."

"Sudah berapa kali saya bilang, Bagas? Kamu bukan orang yang tepat untuk Rani. Kalian berbeda. Bukan hanya agama, tapi juga budaya dan nilai-nilai kita. Kamu tidak akan pernah bisa masuk ke dalam keluarga ini."

Aku menelan ludah, berusaha tetap tenang. "Pak, saya mencintai Rani. Dan saya yakin, cinta bisa mengatasi semua perbedaan."

Ayah Rani menggeleng pelan. "Cinta saja tidak cukup, Bagas. Kalian berdua akan terus menghadapi konflik karena perbedaan ini."

---

Aku mengingat kembali saat pertama kali bertemu Rani, saat senja Jakarta menciptakan bayang-bayang panjang di jalanan. Dia berdiri di sana, dengan buku di tangan dan senyum yang menyilaukan. Aku terpikat sejak saat itu, dan seiring berjalannya waktu, kami semakin dekat. Namun, perbedaan kami selalu menjadi bayang-bayang gelap di hubungan kami.

---

"Kita coba lagi, Rani," kataku putus asa. "Kita bisa buktikan pada mereka bahwa cinta kita lebih kuat dari semua perbedaan ini."

Rani menggeleng pelan, air mata mengalir di pipinya. "Aku sudah lelah, Bagas. Aku lelah harus selalu berjuang sendirian. Keluargamu juga tidak pernah bisa menerima aku."

Kata-katanya menusuk seperti belati. Aku terdiam, tak mampu berkata-kata. Di kejauhan, suara adzan berkumandang, mengisi senja dengan ketenangan walau ada badai dalam hati kami.

---

Pagi itu, aku duduk di kafe tempat biasa kami bertemu. Rani datang dengan wajah serius, berbeda dari biasanya. "Kita harus bicara," katanya tanpa basa-basi.

Aku tahu ini bukan pembicaraan biasa. Aku merasakan beban di udara. "Ada apa, Rani?"

"Aku bertemu dengan Arif," katanya pelan. "Dia berbeda, Bagas. Dia... dia mengerti aku. Keluarganya juga menerima aku apa adanya."

Jantungku seakan berhenti berdetak. "Jadi, kamu memilih dia?"

Rani menatapku dengan mata penuh penyesalan. "Aku tidak memilih dia karena dia lebih baik dari kamu, Bagas. Aku memilih dia karena aku lelah harus selalu berjuang sendirian. Aku butuh seseorang yang bisa berjalan bersamaku, bukan melawan arus bersamaku."

---

Kembali ke malam itu, aku hanya bisa menatapnya dalam diam. "Aku harap kamu bahagia," kataku akhirnya, meski hati ini terasa hancur berkeping-keping.

Rani mengangguk, matanya masih berkaca-kaca. "Aku juga berharap yang sama untukmu, Bagas."

Ketika ia berbalik dan berjalan menjauh, aku merasakan kekosongan yang mendalam. Jakarta dengan gemerlap lampunya tidak lagi sama tanpa dirinya di sisiku.

Senja itu menyimpan kisah kami, tentang cinta yang tak mampu menembus batas-batas yang ditetapkan oleh dunia. Rani, di mana pun kamu berada, terima kasih atas setiap momen yang pernah kita lalui bersama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun