Jamu adalah salah satu warisan budaya Indonesia yang telah ada sejak zaman kuno. Secara tradisional, jamu merupakan minuman herbal yang terbuat dari berbagai bahan alami, seperti akar, daun, biji-bijian, dan rempah-rempah. Jamu telah menjadi bagian penting dalam praktik pengobatan tradisional Indonesia selama berabad-abad.
Sebagai obat tradisional, jamu digunakan untuk menjaga kesehatan dan mengobati berbagai penyakit. Dalam masyarakat Indonesia, jamu sering dianggap sebagai solusi alami untuk masalah kesehatan, baik itu gangguan pencernaan, masalah kulit, atau penyakit umum lainnya. Bahan-bahan alami yang digunakan dalam jamu dipercaya memiliki sifat penyembuhan dan memiliki efek positif pada tubuh manusia.
Salah satu manfaat yang diyakini banyak orang tua adalah jamu bisa menjadi penambah nafsu makan. Hal itu membuat para orang tua memberikan jamu cekok pada anaknya agar nafsu makannya dapat diperbaiki  termasuk orang tua saya. Saat masih anak-anak mamah saya selalu membuat jamu-jamuan dalam satu panci besar terdiri dari campuran jahe, kunyit, temulawak, kencur, brotowali, dan rempah lainnya. Kami, adik kakak tiga bersaudara setiap sore tertib mengantre untuk diberikan jamu cekok.
Namun, sebenarnya apakah anak boleh minum jamu? Bagaimana dengan bayi?
Beberapa waktu lalu viral di media sosial  tentang bayi usia 54 hari meninggal setelah diberi minum jamu. Dilansir dari cnnindonesia.com Bayi tersebut diberi jamu dari campuran daun kecipir dan kencur. Pemberian jamu, diusulkan oleh keluarga, meski ibunya melarang. Alhasil, bayi mengalami sesak napas dan infeksi paru-paru. Ketika ia berhasil membawa si buah hati ke rumah sakit, kondisinya sudah tidak tertolong.
Aturan Pemberian Jamu Pada Anak dan Bayi
Kasus tersebut bisa terjadi karena kurangnya informasi serta edukasi orang tua tentang kesehatan anak. Sejatinya bayi di bawah usia 6 bulan tidak boleh diberi asupan lain, kecuali air susu ibu (ASI) atau susu formula yang sesuai dengan anjuran dokter. Berdasarkan  rekomendasi dari WHO sebaiknya pemberian ASI eksklusif dilakukan selama enam bulan pertama usia anak dan bisa dilanjutkan usia dua tahun. Menurut Kementerian Kesehatan, anak-anak usia enam sampai 12 tahun boleh mengonsumsi jamu sekitar setengah dari porsi orang dewasa atau sekitar 75ml. Sedangkan anak-anak usia di bawah lima tahun disarankan hanya minum jamu seperempat dari porsi orang dewasa atau sekitar 35ml. Selain harus memahami dosis para orang tua juga wajib teliti apabila memberikan jamu dalam bentuk kemasan yang dikenal dengan jamu kekinian. Jamu tersebut harus sudah terdaftar oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sebab bila sudah terdaftar akan ada keterangan soal dosis yang dianjurkan untuk bayi, anak, serta orang dewasa.
Apabila memang mau mengolah jamu sendiri maka beberapa hal berikut harus diperhatikan:
- Bahan-bahan jamu harus dicuci dengan air mengalir sampai bersih.
- Bahan-bahan harus segar, utuh, tidak mengandung hama.
- Gunakan panci stainless steel atau panci blirik, bukan dengan panci alumunium.
- Simpan dalam botol kaca untuk jamu yang sudah selesai dibuat.
- Gunakan peralatan yang steril dan higienis.
Untuk mengatasi pertanyaan apakah anak-anak boleh minum jamu, kita harus melihat dan mempertimbangkan banyak faktor. Jamu memiliki nilai budaya dan potensi manfaat kesehatan, namun penting juga untuk memahami bahwa setiap anak memiliki kebutuhan kesehatan yang unik. Melibatkan tenaga medis yang kompeten, seperti dokter atau ahli herbal, dapat membantu memperoleh panduan yang tepat terkait dengan minum jamu oleh anak-anak.
Mengikuti panduan dosis yang tepat sesuai dengan usia dan kondisi anak-anak, memastikan kualitas dan keamanan jamu yang dikonsumsi serta memperhatikan adanya efek samping atau reaksi alergi juga menjadi perhatian penting bagi orang tua. Dengan mengedepankan kehati-hatian, pendekatan yang terinformasi, dan kolaborasi dengan profesional kesehatan, kita dapat mengambil keputusan yang terbaik untuk kesehatan dan kesejahteraan anak-anak kita, menjaga nilai-nilai tradisi sekaligus memperhatikan aspek kesehatan modern.