Mohon tunggu...
Merundung Menung
Merundung Menung Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Penyuka jalan kaki

Senang Baca, kurang senang ngemeng

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Masih Arif-kah Ketua KPU?

12 Juli 2019   01:04 Diperbarui: 12 Juli 2019   01:12 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berawal dari pilihan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melaksanakan rekomendasi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), kini KPU justru berpotensi melanggar UU Pemilu. Padahal UU No 7 Tahun 2017 adalah amanat yang menjadi panduan KPU bekerja melaksanakan pemilu 2019 agar berjalan demokratis sampai penetapan tanggal 21 Mei 2019 yang baru lalu.

Persoalannya, KPU terindikasi sengaja melanggar UU setelah menetapkan pelaksanaan rekomendasi Bawaslu padahal tidak ada cantelan produk hukum terkait pelaksanaan rekomendasi tersebut. KPU yang berada di bawah pimpinan Arief Budiman bisa jadi akan menempatkan lembaga independen produk reformasi tersebut dalam masalah serius baik itu terhadap demokrasi ataupun sistem hukum secara umum.

Pokok masalahnya terjadi pada hasil pemilihan umum di daerah pemilihan Jatim XI, Jateng V dan Kalbar, yang sebenarnya berkaitan dengan sengketa administrasi internal partai politik. Di Jatim XI, KPU melakukan rekapitulasi ulang di dua Kecamatan yaitu Proppo dan Larangan, Kabupaten Pamekasan. 

Rekapitulasi ulangan tersebut terjadi dalam waktu yang cepat dan partai yang dimasalahkan hanyalah NasDem. Cukup aneh? Entah kenapa rekomendasi Bawaslu hanya terkotak pada rekab ulang partai NasDem, padahal jika dilihat dari salinan putusan Bawaslu Nomor: 02/LP/PL/ADM/RI/00.00/V/2019 yang di dalamnya terdapat tiga kolom DA 1 DPR RI, terdapat juga perubahan suara di partai lain seperti Gerindra, PKB, PDI Perjuangan, Golkar, PKS dan PPP.

Perselisihan yang terjadi juga sesama Caleg NasDem yang menurut amanat UU akan menjadi wilayahnya Mahkamah Partai. Namun KPU mengambil alih tugas Mahkamah Partai tersebut, seolah KPU kekurangan pekerjaan, padahal masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan KPU mengenai sengketa di Mahkamah Konstitusi.

Pada 9 Juli 2019,  Arief Budiman ketua KPU RI menghadiri  sidang panel pertama sengketa Pemilu DPR RI di Mahkamah Kontitusi. Dalam kesempatan bicara yang justru di isi dengan bertanya, Arief mencoba mencari alasan hukum pembenaran langkah KPU yang melakukan rekapitulasi ulang tanpa adanya keputusan Mahkamah Konstitusi. Namun pada kesempatan itu hakim tidak memberikan jawaban gas secara tegas dan lugas karena pertanyaan dan penjelasan tersebut bukan bagian dari pokok perkara yang sedang disidangkan di Mahkamah Konstitusi.

Penjelasan dan pertanyaan Arief di Mahkamah Konstitusi tersebut sangat nampak sebagai upaya KPU yang dipimpinnya mencari alas hukum terhadap kesembronoan dalam melakukan rekapitulasi ulang. Sebab rekapitulasi ulang tersebut selain menimbulkan ketidakpastian hukum juga bisa menjadi masalah pelanggaran terhadap aturan pemilu yang berlaku. Bahkan sangat mungkin menjeratnya secara pidana. 

Kita patut mencurigai motif KPU  melakukan rekap ulang hasil pemilu yang telah mereka putuskan dalam rapat pleno dan dihadiri oleh seluruh perwakilan partai politik di tingkat nasional. Perlu diingat juga, bahwa penetapan hasil pemilu sudah secara resmi diputuskan secara bersamaan dengan penetapan hasil suara DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dalam surat ketetap KPU sendiri tertanggal 21 Mei 2019. Penetapan hasil pemilu yang final di tingkat pusat, artinya sudah selesai juga dalam tahapan sengketa dibawahnya, kecuali adanya gugatan di Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian untuk memasalahkan hasil pemilu artinya harus memasalahkan keputusan yang telah ditetapkannya sendiri dan mengubah ketetapannya tersebut.

DA1 DPR RI, Proppo/Dokpri
DA1 DPR RI, Proppo/Dokpri

Tentu, selain terhadap KPU kita juga patut melihat lebih dalam keterlibatan Bawaslu dalam perusakan KPU, dan upaya menjebak Arief Budiman dalam pidana pemilu dengan membuat rekomendasi rekapitulasi ulang padahal laporan yang diterimanya sudah melewati masa sesuai aturan yang ada. Terlebih seharusnya secara sadar Bawaslu mengarahkan penolakan hasil perhitungan yang baru diajukan setelah selesai tahapannya adalah menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun