Berawal dari pilihan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melaksanakan rekomendasi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), kini KPU justru berpotensi melanggar UU Pemilu. Padahal UU No 7 Tahun 2017 adalah amanat yang menjadi panduan KPU bekerja melaksanakan pemilu 2019 agar berjalan demokratis sampai penetapan tanggal 21 Mei 2019 yang baru lalu.
Persoalannya, KPU terindikasi sengaja melanggar UU setelah menetapkan pelaksanaan rekomendasi Bawaslu padahal tidak ada cantelan produk hukum terkait pelaksanaan rekomendasi tersebut. KPU yang berada di bawah pimpinan Arief Budiman bisa jadi akan menempatkan lembaga independen produk reformasi tersebut dalam masalah serius baik itu terhadap demokrasi ataupun sistem hukum secara umum.
Pokok masalahnya terjadi pada hasil pemilihan umum di daerah pemilihan Jatim XI, Jateng V dan Kalbar, yang sebenarnya berkaitan dengan sengketa administrasi internal partai politik. Di Jatim XI, KPU melakukan rekapitulasi ulang di dua Kecamatan yaitu Proppo dan Larangan, Kabupaten Pamekasan.Â
Rekapitulasi ulangan tersebut terjadi dalam waktu yang cepat dan partai yang dimasalahkan hanyalah NasDem. Cukup aneh? Entah kenapa rekomendasi Bawaslu hanya terkotak pada rekab ulang partai NasDem, padahal jika dilihat dari salinan putusan Bawaslu Nomor: 02/LP/PL/ADM/RI/00.00/V/2019 yang di dalamnya terdapat tiga kolom DA 1 DPR RI, terdapat juga perubahan suara di partai lain seperti Gerindra, PKB, PDI Perjuangan, Golkar, PKS dan PPP.
Perselisihan yang terjadi juga sesama Caleg NasDem yang menurut amanat UU akan menjadi wilayahnya Mahkamah Partai. Namun KPU mengambil alih tugas Mahkamah Partai tersebut, seolah KPU kekurangan pekerjaan, padahal masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan KPU mengenai sengketa di Mahkamah Konstitusi.
Pada 9 Juli 2019,  Arief Budiman ketua KPU RI menghadiri  sidang panel pertama sengketa Pemilu DPR RI di Mahkamah Kontitusi. Dalam kesempatan bicara yang justru di isi dengan bertanya, Arief mencoba mencari alasan hukum pembenaran langkah KPU yang melakukan rekapitulasi ulang tanpa adanya keputusan Mahkamah Konstitusi. Namun pada kesempatan itu hakim tidak memberikan jawaban gas secara tegas dan lugas karena pertanyaan dan penjelasan tersebut bukan bagian dari pokok perkara yang sedang disidangkan di Mahkamah Konstitusi.
Penjelasan dan pertanyaan Arief di Mahkamah Konstitusi tersebut sangat nampak sebagai upaya KPU yang dipimpinnya mencari alas hukum terhadap kesembronoan dalam melakukan rekapitulasi ulang. Sebab rekapitulasi ulang tersebut selain menimbulkan ketidakpastian hukum juga bisa menjadi masalah pelanggaran terhadap aturan pemilu yang berlaku. Bahkan sangat mungkin menjeratnya secara pidana.Â
Kita patut mencurigai motif KPU Â melakukan rekap ulang hasil pemilu yang telah mereka putuskan dalam rapat pleno dan dihadiri oleh seluruh perwakilan partai politik di tingkat nasional. Perlu diingat juga, bahwa penetapan hasil pemilu sudah secara resmi diputuskan secara bersamaan dengan penetapan hasil suara DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dalam surat ketetap KPU sendiri tertanggal 21 Mei 2019. Penetapan hasil pemilu yang final di tingkat pusat, artinya sudah selesai juga dalam tahapan sengketa dibawahnya, kecuali adanya gugatan di Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian untuk memasalahkan hasil pemilu artinya harus memasalahkan keputusan yang telah ditetapkannya sendiri dan mengubah ketetapannya tersebut.
Tentu, selain terhadap KPU kita juga patut melihat lebih dalam keterlibatan Bawaslu dalam perusakan KPU, dan upaya menjebak Arief Budiman dalam pidana pemilu dengan membuat rekomendasi rekapitulasi ulang padahal laporan yang diterimanya sudah melewati masa sesuai aturan yang ada. Terlebih seharusnya secara sadar Bawaslu mengarahkan penolakan hasil perhitungan yang baru diajukan setelah selesai tahapannya adalah menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi.
Dari penjelasan terbut kemudian kita bisa melihat bahwa KPU sedang meniti jalan pelanggaran UU Pemilu No 7 Tahun 2017 pasal 407 ayat 3. Lalu siapa yang paling bertanggung jawab dari proses pelanggaran UU ini, jawabannya tentu ketua KPU RI, Â Arief Budiman. Dialah yang sekarang menjadi pemimpin lembaga independen yang menjadi tumpuan kualitas demokrasi Indonesia secara prosedural.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H