Mohon tunggu...
Ma`mar .
Ma`mar . Mohon Tunggu... -

membaca dan menulis. itu saja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kepala-kepala

20 Desember 2013   14:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:42 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kepala-kepala

oleh: Ma`mar

Ketika tamu dari kota datang lagi, saya lekas masuk kamar. Begitu perintah bapak yang tidak pernah saya langgar. Dari balik jendela, telinga saya mendekati lubang kecil pada dinding kayu. Seperti biasa, hanya sayup yang tertangkap. Kendati saya tidak tahu apa yang mereka bicarakan, saya bisa pastikan apa yang dibawa dua pria berbadan tinggi itu: kepala manusia yang baru saja dipenggal.

Tanpa disuruh, setelah tamu itu pulang, setengah berlari saya ke belakang rumah mengambil kuali tanah liat yang diletakan terbalik di samping cangkul. Hati-hati benar saya letakan di atas tungku. Tidak sampai dua menit, potongan-potongan kayu sudah menyala di bawah kuali.

“Airnya jangan terlalu banyak.”

Cahaya senja yang masuk dari pintu depan membentuk bayangan kaki bapak pada bilik dekat tungku. Seretan langkahnya terdengar mendekati dapur. Kaki kanannya memang sudah tidak berfungsi dengan baik. Saat melangkah tidak sepenuhnya terangkat. Mungkin akibat luka di engkel yang menahun. Baunya menyengat. Kadang tidak kuat saya dekat dengannya dalam waktu yang lama.

“Duduklah sini.”

Tatapan bapak sepertinya serius. Sejenak saya pandangi kantong plastik hitam berisi kepala. Dia tahu saya tidak suka melihat apa yang akan dia lakukan dengan kepala yang terpenggal itu. Tugas saya selama ini hanya merajang air di tunggu. Itu saja. Tetapi kadang-kadang saya mengintip dari celah bilik melunasi rasa penasaran.

Melihat saya mulai meninggalkan dapur, tangannya memegang bahu saya.

“Akan aku jawab pertanyaan-pertanyaanmu. Duduklah.”

Ucapan itu berhasil mengurungkan niat saya. Bulu halus yang ada di tengkuk, saya rasakan berdiri serempak ketika dia merendam kepala itu ke dalam air yang mulai mendidih. Darah kering yang tadinya menempel di pangkal leher membuat air jadi agak kemerahan. Butir-bitir air mendidih loncat keluar dari kuali. Saya berpaling ketika kepala itu berputar dan terlihat bola mata menatap ke arah saya. Untunglah kuali segera ditutup namun asap tetap bisa keluar dari permukaan kuali yang gompal.

“Yang penting, bukan aku yang membunuhnya.”

Beberapa kali memang saya tanyakan mengapa bapak melakukan pekerjaan ini. Tak pernah dia jawab. Saya pun jadi bosan menanyakan terus. Pernah terlintas di kepala saya untuk meninggalkannya. Tapi saya tidak tega dengan kondisinya. Ibu sudah tidak ada. Bisa mati kelaparan dia di kampung yang sepi ini. Tidak ada tetangga yang peduli pada bapak. Bapak terkenal tidak bergaul dan selalu sinis terhadap tetangga. Wajar bila tidak ada tetangga yang curiga dengan kegiatan bapak selama ini.

“Kepala ini, dan kepala-kepala sebelumnya, milik penjahat dari kota. Mereka pemakan duit rakyat. Mereka pembohong.”

“Tapi kenapa harus dipenggal kepalanya, lalu dikerdilkan?”

“Di kota sana, mereka yang duduk di posisi atas, rakus memakan uang bukan miliknya. Hukuman penjara tidak pernah membuat mereka jera. Kebanyakan malah bebas sebelum waktunya. Kepala-kepala kerdil yang aku buat, kata dua tamu yang sering datang itu, untuk peringatan rekan-rekan mereka yang masih hidup. Kepala-kepala itu ada yang digantung di ruang persidangan. Diletakan di meja lobi Kantor Walikota. Dipantek di depan Kantor Polisi. Dimana-mana. Bahkan di setiap pintu masuk pusat perbelanjaan.”

Bapak menarik beberapa kayu bakar yang apinya terlalu besar. Mengambil segumpal pasir dan melemparnya ke ujung kayu beberapa kali. Bisa jadi panas yang terlalu akan merusak tekstur wajah. Proses merebus ini biasanya dilakukan sampai tiga kali selama tiga hari. Ada cairan kental yang dilumuri ke wajah setelah setiap merebus kepala. Entahlah terbuat dari apa. Setelah itu bapak menyayat kulit dan melepaskan dari batok kepala dengan sembilu. Kulit yang sudah terpisah itu dijemur beberapa hari yang kemudian akan semakin mengecil ukurannya.

===

Luka di kaki bapak semakin parah. Dia sudah tidak bisa berjalan bila tidak dibantu tongkat di ketiaknya. Belum lagi dengan batuknya yang tambah berat. Mau tidak mau saya yang mengambil alih. Awalnya memang agak takut. Saya tidak mampu membuat diam tangan saya ketika menyayat kulit kepala dengan sembilu, kemudian menjahitnya kembali setelah jadi. Juga saat menjahit kelopak mata dan bibir supaya tertutup. Bapak bilang, biar arwahnya tidak penasaran. Begitulah, semakin lama menjadi biasa. Bapak selalu mendampingi dan mengawasi. Sepertinya dia senang ada penerus keahliannya mengkerdilkan kepala.

“Sebenarnya Nak, pekerjaan ini mulia,” Seru bapak pada suatu senja. “Sama saja kita ini memberi peringatan dan mencegah kejahatan.”

Saya tidak meragukan kebenaran ucapan itu. Tapi anehnya kenapa kepala yang dibawa ke rumah makin lama malah makin bertambah? Kalau dulu hanya satu kepala tiap minggu, kini tiga atau bahkan empat kepala. Apa orang-orang kota tidak jera?

“Entahlah. Kami hanya bertugas membawa kepala-kepala itu ke sini.” Begitu jawab dua orang tamu dari kota itu setelah aku tanya berkali-kali.

Sekarang saya yang menerima dua tamu berawak tinggi itu. Sementara bapak menunggu di dalam ditemani batuk dan borok di engkelnya. Dua sosok yang dulu saya takuti ternyata enak diajak bicara. Yang bermata bulat dan punya hidung besar malah terlalu sering tertawa. Sementara yang punya bekas luka di jidatnya dan berperut buncit, meski punya tampang seram suaranya seperti perempuan.

“Apa hanya ke sini kalian membawa kepala-kepala?” Tanya saya begitu saja tanpa rencana.

“Tidak.” Jawab Si Hidung Besar setelah menyeruput kopi hitam. “Ada tiga desa lain yang kami serahkan kepala tiap minggunya.” Si Perut Buncit seperti menelan buru-buru singkong rebus, lantas cepat menimpali, “Malah bukan hanya kami. Ada puluhan orang macam kami yang menyebar ke pelosok desa membawa kepala-kepala para pembohong dan pemakan uang rakyat.”

“Bukankah kepala-kepala yang dikerdilkan itu menakutkan orang kota?”

Kedua orang itu hanya berpandangan. Sepertinya saling menyuruh untuk menjawab lebih dulu. Si Perut Buncit tampak mau menggerakan bibirnya tapi tidak jadi setelah alis temanya terangkat. Merasa tidak terlalu peduli dengan jawaban itu, saya tawarkan saja untuk tambah kopi lantaran kedua cangkir tamu saya hanya tersisa ampas. Namun mereka menolak dan pamit pulang.

Seminggu setelah kejadian itu, datang dua orang yang tidak saya kenal. Awak keduanya mirip dengan dua tamu yang sebelumnya sering datang, berbadan tegap. Saya teliti apa yang mereka bawa. Masing-masing memegang kantong plastik hitam.

“Kami dari kota membawa dua kepala.”

“Kemana dua orang yang biasa mengantar ke sini?”

Hampir bersamaan dua orang itu menyerahkan dua kantong plastik hitam. Saya menerimanya dengan rasa curiga. Lekas saya buka dan ternyata kepala yang terpenggal itu adalah tamu yang sebelumnya sering mengantarkan kepala-kepala.

“Seminggu lagi kami datang. Mengambil kepala itu dan membawa kepala-kepala lain.”

**

Jakarta, 20/12/13

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun