"A ka uku, aku. Em ama u, mau. Ka aka em umu, kamu. Titik."
"Eh titiknya gak usah dibaca. Ayo coba sekarang gak usah dieja."
"Aaaaa..ku maa..uuu kaaammm..uu.."
"Hebatt!"
Naim mengusap rambut adiknya dengan penuh kasih. Terbentuk senyum pada ujung mulutnya ketika kepala adiknya hampir menyentuh koran. Peluh yang menitik di dahi menandakan betapa semangat adiknya agar bisa membaca. Memang, setiap sore Naim melatih adiknya membaca dari potongan-potongan kertas yang ditemui di jalanan. Dia merasa beruntung sempat sekolah kendati hanya sampai kelas lima. Sementara adiknya terpaksa ikut mengamen dengannya karena bapaknya kabur entah ke mana sedangkan penghasilan ibunya sebagai pemulung tidak cukup buat mereka makan dan biaya kontakan.
Sebelum ashar seperti sekarang, biasanya mereka makan di warung nasi samping masjid belakang terminal. Setelahnya duduk di halte atau pinggir trotoar. Terlihat Aris masih semangat mengulang kata-kata tadi dengan nada keras. Telunjuknya terlalu kencang menekan kertas hingga ada beberapa bagian kertas yang hampir robek.
"Mau jadi apa kamu nanti, Ris?"
Aris mengangkat kepalanya. Bola hitam pada kedua mata bocah itu terangkat hampir menyentuh alis. Dahinya mengkerut serupa goresan pasir pantai yang dibentuk oleh hempasan air laut. Sepuluh detik dia begitu sebelum merekah sebuah senyum lebar hingga menyumbul empat gigi atasnya yang tanggal. Hanya menyisakan beberapa tonjolan hitam.
"Dapit Bekam!!"
"Pemain bola?"
Kepala Aris mengangguk sambil menggaruk pinggir koreng di betis kirinya. Lalat-lalat yang tadi nemplok, terbang menunggu sabar berputar di atasnya.
"Bisa, kak?"
"Tentu! Kamu tahu pemain bola hebat dari Afrika, Drogba yang main di Chelsea?
Aris mengangguk cepat.
"Masa kecilnya bisa jadi miskin. Kadang kelaparan kayak kita. Yang penting mah berlatih keras dan berdoa tiap hari. Semoga kamu bisa beruntung seperti dia ya.."
Bersamaan dengan senyum Aris yang membayangkan jadi pemain bola hebat, sebuah mobil pick-up berhenti di seberang jalan. Tiga orang berseragam memandang sinis ke dua bocah itu dengan membawa pentungan. Terlihat wajah mereka yang ingin sekali menyeberang namun masih tertahan oleh mobil-mobil yang melaju kencang.
Naim mengambil kecrekan miliknya yang terbuat dari tutup botol yang dipaku pada sepotong kayu. Menarik begitu saja tangan adiknya hingga mereka berdiri dengan cepat.
"Kau tahu jadi pemain bola harus cepat larinya, Ris?"
"Iya!"
"Ayo kita lari!!!!"
***
Jakarta 16 Januari 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H