Mohon tunggu...
Ma`mar .
Ma`mar . Mohon Tunggu... -

membaca dan menulis. itu saja

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Pitung dan Aisyeh #2

11 Januari 2011   06:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:43 593
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebenarnya bisa saja pitung menghilang dari kejaran kompeni dan jagoan-jagoan bayaran itu. Dia sudah menguasai ilmu rawa rontek yg membuatnya tidak tampak dengan sekejap. Tapi dibiarkan para gerombolan ada di belakang menjemput kematiannya sendiri. Di antara suara derap kaki-kaki yang menghantam bumi,  para pemburu Pitung berhayal akan hadiah yang dijanjikan Scout van Hinne*. Membawa Pitung, bernyawa atau tanpa nyawa, sama saja meraih kekayaan. Scout van Hinne sudah muak akan berita-berita Pitung dan gerombolannya yang menggarong harta tuan tanah dan orang Belanda. Reputasinya bisa hancur bila aksi memalukan itu tidak berhenti. Hadiah berupa uang dan kenaikan jabatan dijanjikan buat siapa yang berhasil melumpuhkan Pitung. Makanya muka-muka pemburu itu begitu bernafsu seperti kucing lapar mengejar anak tikus. Dengusan napas mereka adu cepat dengan peluh yang menyusup dari pori-pori. Meski kompeni membawa senapan dan tidak sampai seratus meter di belakang, secuil rasa gentar pun tidak ada di dalam dada Pitung. Malah dia tersenyum dan tangannya memegang pinggang, memastikan goloknya masih menyangkut. Tiga kompeni tampak berhenti berlari, mengambil senapan dan memicingkan satu matanyasambil mengarahkan senapan ke arah Pitung. Setelah yakin bidikan tepat,  telunjuk menarik pelatuk. "Door.." Tiga letusan senapan terdengar. Tembakan tidak meleset. Tepat ke pundak, pantat dan kaki Pitung. Tapi yang ditembak hanya merasakan gatal dari peluru yang mengenai tubuhnya. "Dasar goblok tuh kompeni. Mana mempan badan gua sama peluru?"  desis Pitung sambil terus berlari ke dalam hutan dengan pohon-pohon yang semakin lebat. Senja telah hilang diganti gelap yang mencekam. Jarak teman-teman Pitung sekitar 200 meter lagi. Kemudian dia memberi kode dengan berteriak dengan suara tiruan burung gagak, agar mereka siap-siap menyambut kompeni dan jagoan bayaran. Sejurus dia menoleh ke belakang, masih dia lihat para pemburunya setia mengejar. Beberapa diantaranya menghujat dan menyuruhnya berhenti. "Suara Bang Pitung tuh.." ucap Jiih kepada teman-temannya yang sedang santai tidur-tiiduran di bawah pohon. Jiih adalah seperti wakil dari Pitung di gerombolan itu. Dia saudara dekat Pitung dan kemampuan bela dirinya tidak jauh beda dengan Pitung. Saat Pitung tidak ada, Jiih lah yang memimpin. "Itu kode dia dikejar kompeni," ini suara Samiun coba menerjemahkan kode. "Ayo siap-siap..!" Semuanya bangkit. Ada sepuluh pendekar dan kini siaga untuk bertarung. Kain yang diselendangkan di leher kini diikat di pinggang.  Sarung golok dibuka. Mereka menikmati suasana seperti ini. Rasa takut memang tidak bisa dihindari, tapi semangat membela kebenaran menjadikan mereka berani, bahkan menghadapi kematian sekalipun. "Bang Pitung pasti lewat jalur sini. Ayo semuanye ngumpet di balik pohon. Habisin nyawa kompeni dulu. Soalnye  bawa senapan. Gorok lehernye. Atau lempar tuh golok ke dada. Ayo bergerak..." Jiih memberi perintah. Semuanya menurut dan menyebar. Pitung sadar akan posisi teman-temannya. Dia biarkan kakinya lewat sepuluh meter dari tempat Jiih dan kawan-kawan sembunyi, baru berbalik badan untuk menyerang balik. Lima kompeni paling belakang berhasil dipegang badannya dan dilumpuhkan. Para pemburu Pitung kaget melihat buruannya berhenti dan menyerang balik bersamaan dengan teriakan dari balik arah pohon. Kematian lima kompeni dengan singkat membuat nyali mereka melorot. Sebaliknya, Pitung, Jiih, Samiun dan teman-temannya bersemangat untuk segera melumpuhkan antek-antek penjajah. "Mampus lu sekarang..." "Dasar penjajah.. lu rasain akibatnye.." Lima kompeni yang tersisa bersiap ambil senjata, membidik. Tapi lemparan golok lebih cepat bersarang di tubuh  mereka sebelum menarik pelatuk. Teriakan kompeni meregang nyawa makin membuat takut para jagoan bayaran. Kini seimbang. Sebelas lawan sebelas. Golok yang menancap di tubuh kompen telah dicabut. Ada keheningan sejenak. Mereka saling bertatapan di tengah kegelapan magrib. Pitung berteriak untuk menyerang lebih dulu. Langkahnya diikuti Jiih dan teman-temannya. Bunyi gesekan-gesekan golok yang beradu seperti berirama. Dengan mudah Pitung menghabisi jagoan bayaran yang berbadan paling besar. Lawannya yang berjenggot dan berkumis tebal itu tersungkur mencium tahan dengan luka tusukan di dada. Lalu Pitung melihat Samiun yang terdesak, tangan bagian atas  robek oleh sabetan golok. Pitung mendekat dan membantunya. Dengan singkat tersungkur pula lawannya Samiun. Tidak sampai dua puluh menit semua jagoan tengik mencium tanah. *** Aisyeh sejak tadi senyum-senyum sendiri di kamarnya. Matanya memandangi cincin yang tadi diberikan Pitung. “Pegang ini Iseh. Nanti kalo keadaan aman, Abang ngelamar Iseh gak usah bawa cincin lagi.” Kata-kata itu begitu indah dan selalu terngiang terus di kepalanya. Tapi dia juga khawatir apakah kekasihnya itu berhasil menjinakan kompeni dan jagoan bayaran yang mengejarnya. Dari berita-berta yang sampai ditelinganya, tidak pernah Pitung terluka saat bertarung dengan kompeni. Dan ini membuat dia tenang dan kembali tersenyum. Hampir lupa, dia belum memberitahukan Maimunah, ibunya Pitung tentang pertemuannya tadi sore. Cincin itu dia simpan di bawah kasurnya. Kemudian keluar rumah menuju rumah Maimunah. Maimunah masih pakai mukena saat dia masuk. Rumah Maimunah memang seperti rumahnya sendiri, jadi tidak perlu mengetuk pintu. Apalagi tiga bulan terakhir wanita tua itu kesepian ditinggal putranya. Aisyah lah yang menemani. Membantu memasak atau paling tidak sekedar mengobrol. "Nyak.. aye ketemu Bang Piitung tadi sore di kali." "Masya Allah.. Beneran?" "Iye Nyak." "Sehat tuh anak?" Tadinya Aisyeh mau bilang bahwa Pitung agak kurus. Tapi dia tidak mau membuat khawatir. "Sehat. Sehat banget." Kemudian Aisyeh menceritakan kamana saja Pitung bersembunyi. Juga cincin yang diberikan Pitung. "Syukur deh. Mudah-mudahan tuh anak cepet pulang. Nyak mao banget punya mantu kaya lu Iseh." "Amin ya Nyak.." Wanita tua itu membuka mukena dan melipatnya. Kemudian ke dapur mengambil gelas. Teko dari tanah liat berisi air putih dia tuang ke gelas itu. Meminumnya. "Lu mao minum?" "Kaga.." "Mending lu temuin Haji Naipin. Bilangin kabarnye Pitung. Dia pasti seneng dengernye." Aisyeh kemudian pamit menuju masid Al-Alam**. Di sana Haji Naipin sedang mengajarkan ilmu agama. Lama juga Aisyeh menunggu sampai Haji Naipin selesai mengajar. Setelah bertemu, kabar itu membuat Haji Naipin senang. Lalu dia mengangkat kedua tangannya, berdoa agar muridnya diberikan keselamatan. *** Kabar kematian kompeni dan jagoan bayaran akhirnya sampai ke telinga Scout van Hinne. Darahnya naik. Dia menggebrak meja dengan tinjunya. "Bagaimana ini Tuan Demang? Koe orang tidak becus urus inlander!!" Tuan Demang ketakutan. Kumisnya bergerak-gerak. Tapi sekilas dia tersenyum seperti mendapat ilham. "Tenang Scout, saya ada ide." "Apa itu?" *** hahahaha... udah dulu ya lanjutannya besok aja. *Scout itu semacam kepala kepolisaian daerah pada waktu itu, sejenis kapolsek. ** Masjid ini adalah tempat dimana Pitung belajar agama dan ilmu bela diri, berlokasi di Marunda

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun