Mohon tunggu...
Ma`mar .
Ma`mar . Mohon Tunggu... -

membaca dan menulis. itu saja

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Pitung dan Aisyeh

10 Januari 2011   04:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:46 485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Marunda, Batavia 1892 Gemericik air sungai terdengar membentur batu-batu besar. Beningnya air membuat ikan-ikan kecil tampak berebut makanan dengan teman-temanya. Langit hampir gelap, hanya menyisahkan semburat kuning redup sisa sinar matahari yg hampir terbenam. Aisyeh tampak buru-buru mengucek pakaian terakhirnya di atas batu kali. "Aisyeh.." Gadis berkulit putih itu cepat membetulkan baju kebayanya yang sedikit terangkat. Posisi kain juga dia kencangkan.  Bagian bawah kain yang basah jadi lebih sedikit terangkat sekaligus memamerkan betisnya yang mulus. Matanya mencari asal suara. "Aisyeh... Di sini.." Pakaian yang tadi dia masukkan ke dalam bakul. Diangkat bakul itu setinggi pinggang,. Alis matanya turun mencoba menembus pandangan yg jelas berasal dari balik pohon nangka.   Sejurus muncul wajah lelaki berpeci hitam dengan kain merah kotak-kotak diselendangkan di leher.  Lelaki itu tersenyum hingga kumisnya yang lebat tertarik ke atas. "Bang Pitung.." hampir bakul terlepas dari genggaman karena terkejut. Aisyeh menoleh ke kiri dan kanan memastikan tidak ada sepasang mata pun yang menyaksikan kehadiran kekasihnya itu.  Langkah pelannya terlihat normal agar tidak  menarik perhatian. Tubuh langsingnya kini ditelan semak-semak, mendekati lelaki tadi. Lama keduanya hanya bertukar pandang. Mereka diselimuti perasaan rindu yang mendalam. Hampir tiga bulan tidak bertemu. Setelah H. Naipin, guru Pitung, meyakinkan bahwa dirinya telah sakti karena sudah menguasai ilmu rawa rontek, dia tidak lagi pulang ke rumah. Dia bersama pendekar-pendekar baik melawan penjahat-penjahat bayaran kompeni yang memaksa rakyat menjual hasil pertanian kepada tuan tanah dengan harga seenaknya. Kehidupan rakyat jadi serba susah karena banyak petani yang terpaksa  menjual tanah mereka ke tuan tanah.  Bila tidak menjual akan ada pajak yang menjerat. Sehari saja terlambat bayar pajak yang tidak rasional itu, para tuan tanah menyuruh jagoan-jagoan jahat untuk menyiksa dan menyita harta yang tersisa. Kerbau, kambing, dan padi yang disimpan di lumbung diangkut semua sebagai sitaan andai pajak tak dibayarkan. "Masya Allah, Neng Iseh tambah cantik aja..." goda Pitung sambil membetulkan topinya. Aisyah  memilin ujung kebaya sambil menekur tanah dan tersenyum manja. Senyuman yang disimpan selama tiga bulan. "Abang kurusan sekarang.." Tulang muka Pitung memang tampak lebih menonjol. Aisyah hapal betul tiga bulan lalu tidak begitu. Bila sedang di sawah, saat Aisyeh bawa makanan siang, tanpa Pitung ketahui sering wanita itu mengamati lekuk mukanya. Aisyeh juga yang membawa kain untuk menghapus peluh saat Pitung datang berteduh di bawah gubuk untuk makan siang. "Tiga hari lalu kompeni dan jagoan-jagoan tengik dateng ke kampung. Masuk ke rumah-rumah nyariin Abang. Scout van Hinne juga ikut" "Terus?" "Dia sikse orang-orang buat pelampiasan." "Emak aye gimane?" "Mpok Maimunah bae-bae aje. Emang sih sempat dibentak-bentak kompeni. Tapi untung ada H. Naipin, jadi tuh jagoan-jagoan penghianat bangse kage berani sentuh." "Bagus dah." "Emang Abang kemane?" "Abang ngumpet di Depok. Ada gedung kosong buat tempat persembunyian*. Dalam setiap aksinya. Pitung bersama temannya mencuri harta tuan tanah dan orang Belanda, baik uang dan perhiasan. Kemudian dibagikan kepada rakyat miskin yang hidupnya sengsarta. Pitung mendekati Aisyeh, memegang pundaknya. "Maaf ya Iseh," Aisyeh menarik napas panjang kemudian tersenyum. "Gak ape-ape Bang. Rakyat emang butuh Abang. Kasian pada mendirite. Kemaren aje ada anak kecil yang mati kelaparan. Perutnye buncit. Kaga tega ngeliatnye." "Biadab emang Belande. Apalagi tuh jagoan-jagoan tengik yang tega-tega siksa bangsa sendiri cuma karena bayaran kompeni. Kurang ajar. Tapi kemaren Di Depok lima orang abang abisin tuh cecunguk." Tanpa keduanya tahu, ada sepasang mata yang mengawasi dari semak-semak di seberang kali. Mulut orang itu mengunyah ujung rumput lalu meludah. Dengan langkah cepat berbalik dan berlari. Tidak sampai sepuluh menit, lelaki tadi bersama puluhan kompeni berlari mendekati Pitung dan Asyeh dari arah selatan. Derap langkah itu tercium Pitung. Tangan Pitung masuk ke kantong celana. Lalu menyerahkan cincin ke Aisyeh. "Pegang ini Iseh. Nanti kalo keadaan aman, Abang ngelamar Iseh gak usah bawa cincin lagi." Ada kekhawatiran di muka Aisyeh karena kompeni dan jagoan-jagoan bayaran itu semakin dekat. Tapi hatinya tak bisa dibohongi dengan rasa senang mendengar ucapan kekasihnya barusan. Cincin digenggam kuat sekali. "Cepat Abang kabur sana." "Tenang Iseh, temen-temen Abang udah nunggu di dalam pohon-pohon itu. Biar Abang pancing pada masuk ke dalem. Haha... Abang abisin tuh semua kompeni sama jagoan tengik. Doain Abang ya..." Kata-kata terakhir itu diucapkan sambil mengusap pipi Aisyeh. Gadis itu darahnya berdesir.  Senang bukan main. Kemudian matanya menyaksikan badan kekasihnya itu hilang ditelan pohon-pohon besar. ****** *Gedung ini milik bangsawan Belanda, Cornelis Chastelein. Warga Depok sering menyebutnya rumah tua Pondok Cina karena letaknya berada di Kelurahan Pondok Cina, Kecamatan Beji. Gedung bersejarah  sekarang berfungsi sebagai kafe ditengah-tengah kawasan mal supermegah Margonda City. 10 Januari 2011 gambar minjem di gugel

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun