Mohon tunggu...
Ma`mar .
Ma`mar . Mohon Tunggu... -

membaca dan menulis. itu saja

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Samtari dan Samsiah [Versi Lengkap]

15 Desember 2010   14:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:42 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yang udah baca bagian satu dan dua langsung aja ke bagian tiga di bawah tuh. Saya gabung biar yang baru baca kaga ribet bulak balik. Maaf admin, sekiranya penggabungan ini jadi menyalahi aturan. mudah-mudah kaga. Selamat tersenyum. Bagian satu Gerimis. Samtari dan Samsiah berteduh di bawah selembar daun pisang. Aroma debu cukup menusuk hidung karena dua bulan sudah hujan absen dari kampung Rawa Buaya. Sesekali terlihat jilatan petir di ufuk timur. Baru jam tiga sore, tetapi gelapnya langit bagai menjelang magrib. Samtari tidak peduli. Dia sedang mencoba menyatakan cinta. “Jangan gombal, Bang.” “Buat apa bohong?” “Ah, lelaki. Buktiin dong biar Neng percaya.” “Kalau Abang bohong, biar tuh kucing disamber geledek.” Tangan Samtari menunjuk kucing di seberang jalan yang kedinginan di samping tong sampah. Benar saja. Langit silau. “DUAARR!” Petir menjilat di depan mata kedua insan itu. Menghantam kucing beserta tong sampah. Gosong. Samsiah Kaget. Samtari apalagi. Lebih kaget. Niat bercanda malah terjadi benar. Untung dia tidak bersumpah dirinya yang dijilat petir. Samtari berjanji pulang nanti mau sujud sukur dan bertaubat tidak akan main sumpah sembarangan. Tapi sejak itu, Samsiah jadi percaya dan jatuh cinta pada Samtari. Mereka pacaran. Tukang ojek dengan Tukang gado-gado. Lumayan serasi. * “Dua hari lagi ada kondangan, Bang.” “Siapa yang kawin?” “Teman sekolah, Salamah, anaknya Samiun. Itu yang rumahnya di samping pos ronda.” “Ooo.. Iya Abang tau. Ada duit buat kondangan, Neng?” “Ya kaga ada Bang. Untung jualan gado-gado langsung di pegang Emak.” Semangat ngojek Samtari naik tiga kali lipat mendengar ucapan pacar barunya. Biasanya selesai sholat subuh Samtari tidur, ini tidak. Tunggu matahari terang, lalu parkir motor di samping sumur. Dicuci sampai mengkilap. Pakai sampo.  Lagipula Samtari tahu betul, kebersihan itu sebagian dari iman. Dia berjanji, tidak mau pulang jam sembilan malam seperti biasa, tapi hingga tengah malam. Biar kantongnya agak tebal dikit. “Lumayan,” Samtari bicara sendiri setelah pulang ngojek malam-malam. “Cukup buat kondangan, makan baso dan minum bajigur. Buat calon mertua juga kayanya bisa nih, beli lepet sama telor asin.” * Anda pasti kenal Alya Rohali, presenter terkenal yang pernah jadi pemenang Abang None Jakarta di awal karirnya, ya seperti itulah tinggi badan Samsiah. Mukanya juga mirip. Hanya mata Samsiah tidak sesipit Alya. Dan dagunya Alya kalah lancip dengan pacar Samtari si tukang ojek itu. Bila disandingkan pasti orang menebaknya mereka kembar, atau paling tidak, kakak adik. Maka jangan heran bila pada malam kondangan banyak mata menuju pada perawan kampung Rawa Buaya ini.  Setelah parkir motor di bawah pohon rambutan, pasangan baru jadian ini melewati tukang jajanan khas resepsi adat Betawi. Ada tukang telor asin yang jongkok pakai penerang lilin dengan plastik sebagai penghalang dari angin.  Disampingnya tukang lepet, penganan yang terbuat dari ketan dikukus yang dicampur kacang tanah, lalu dibungkus oleh daun kelapa dengan melipat seperti mumi. Mungkin dari situ asal nama makanan itu, dilipet jadinya bernama lepet.  Sisanya tukang kacang rebus, tahu kuning goreng, bajigur dan sate ayam. Samtari yang sama sekali tidak ganteng, seperti tukang kebun istana yang bersanding dengan permaisuri. Sebenarnya dia mau menggenggam tangan Samsiah, biar terlihat mesra, tapi dia tidak pede. Ada secuil perasaan di batinnya yang mengatakan bahwa mendapatkan Samsiah adalah sebuah anugerah luar biasa. Sehingga takut bila Samsiah tidak setuju, lalu marah, dan akhirnya memutuskan hubungan. Itu petaka besar dan harus dihindari. Setiap mata yang menagkap wajah Samsiah pasti jadi ingat Tuhan, betapa kuasa mencipta makhluk nan cantik. Tapi ketika pandangannya bergeser ke Samtari, banyak yang heran, kok mau si cantik berpasangan dengan pria yang mukanya tidak seimbang. Termasuk Samsudin yang langsung buang ludah saat pasangan itu lewat di depan hidungnya. “Bujug bunen, kaya langit sama comberan, jauh banget. Itu siapa cakep beeng?” “Samsiah, itu yang bantuin emaknya jualan gado-gado di dekat masjid,” jawab temannya. “Kayanya asik juga tuh kalo jadi pacar gua.” “Lha kan dia udah punya pacar tuh di sampingnya.” “Hehehe…” “Kenapa ketawa?” “Kualitas muka kaya gitu mah bukan tandingan gua. Entar gua geser. Lu liat aja nanti. Jangan panggil Samsudin kalo gak bisa pacarin.. eh siapa tadi namanya?” “Samsiah.” “Jangan sebut nama Samsudin kalo gak bisa merebut Samsiah dari Samtari. * Samsudin sebenarnya tidak punya kerja tetap. Tapi tiap hari selalu ke keluarahan. Ada saja yang butuh bantuannya. Bikin KTP, akte, kartu keluarga, dan urus ijin ini itu. Semua pasti dapet uang tip dari orang yang merasa terbantu oleh jasanya. Dia juga menjadi tim sukses pemilihan lurah yang sekarang menjabat. Malah jadi ketua, karena otaknya yang encer dari setiap melihat peluang. Jadi wajar bila Samsudin merencanakan merebut Samsiah. Lalu diutuslah Samlawi berpura-pura beli gado-gado di warung emaknya Samsiah. “Samtari yang tukang ojek itu, pacar Mpok ya?” “Iye. Emang kenapa?” “Lha saya semalem liat dia boncengin cewek.” “Tukang ojek mah boncengin siapa aja. Emang tugas dia.” “Masa mesra banget. Sampe tangan tuh cewek meluk perutnya Samtari. Terus berenti di tukang bakso, pulangnya dianterin lagi. Pelukan lagi.” Saat kata-kata itu terlontar, Samsiah sedang membungkus gado-gado dan siap melingkarkan karet dua buah sebagai tanda pedas, tapi urung. Dia lempar gado-gado ke atas meja. Lalu berlari menuju kamarnya.Panggilan emaknya tidak digubris. Samlawi tersenyum puas dan akan laporan ke Samsudin. Bagian dua Samlawi, teman akrab Samsudin yang diutus untuk menghasut Samsiah, sedang dipuji atas keberhasilannya. “Bener Samsiah percaya?” “Bukan maen, tokcer, dari luar gua denger pintu kamarnya dibanting.” “Hahaha. Mantap, mantap.” “Terus kapan lu mao deketin Samsiah.” “Tenang gua nunggu waktu yang tepat. Santai aja, udah ada di otak gua itu mah.” * Di dalam kamar, di depan kaca, Samsiah menangis. Dia sangat kecewa, hubungan berusia dua minggu–masih hangat bagai kue apem baru diangkat dari kukusan, sudah dinodai. Tadinya dia pikir Samtari akan setia, masalahnya proses Samsiah bilang ‘iya’ untuk jadi pacar Samtari, lumayan lama. Tiga kali dia tolak permintaan itu, tapi Samtari tidak menyerah, sampai peristiwa kucing yang tersambar petir itu.  Tapi mengapa setelah dia menaruh hati malah dikhianati? Emaknya Samsiah masuk kamar. Dia sangat paham dengan apa yang terjadi. “Dari awal juga sebenarnya Mak kaga setuju lu berpacaran dengan dia. Apa yang mau diarepin. Mukanya ya emang segitu doang. Pas-pasan. Kerjaan ngojek. Tuh motor juga boleh kredit. Belom lunas. Haduh! Emang apaan yang bikin cinta banget sama dia?” Samsiah tidak menjawab. Malah menenggelamkan mukanya ke bantal. Tangisannya seperti mobil-mobilan yang batrainya mau habis. “Pacar kaya gitu aja ditangisin, rugi. Rugi banget. Kalo tampangnya kaya Dude Herlino mah gua juga ikut nangis kali. Ini sama Mandra aja masih kalah. Mendingan Mandra duitnya banyak. Jelek juga gak masalah. Ini jelek iya, kere iya.” Volume tangisan tambah kencang. Si Mak geleng-geleng kepala. “Ngapain juga gua ngurusin ginian. Pepesan  kosong. Susah kalo anak kaga mao diurusin orang tua. Terserah dah.” Si Emak kembali kepada konsumen gado-gadonya. Meninggalkan gadisnya yang sedang patah hati. * Samtari bingung. Menelpon Samsiah tidak pernah diangkat. Lebih dari 15 kali. No Replay, kaya judul lagu The Beatles. SMS juga tidak dibales. Padahal kemarin Samsiah bilang, minta dianterin ke mall. Jalan-jalan. Samtari juga berniat membelikan pacarnya ice cream Mc Donald, mc flury rasa coklat. Murah, berdua cuma sepuluh ribu. Eh sebelas ribu deng, soalnya pajaknya 10 persen. Segera Samtari tancap gas menuju rumah pujaan hati. Tetangga yang sedang kumpul maen catur kaget bukan main melihat betapa kencang Samtari melintas. Dalam perjalanannya itu hanya tiga kali dia menginjak rem. Hatinya galau dan penuh dengan pertanyaan. Polisi tidur di jalanan dia anggap cuma kerikil jadi tidak perlu injak rem. Baru saja menurunkan standar motor, Samtari mencium aroma keganjilan. Calon mertuanya yang sedang mengulek bumbu gado-gado langsung buang muka, mendengus seperti banteng matador yang melihat kain warna merah. Hati Samtari tiba-tiba menciut, tidak beda dengan krupuk yang tersiram air. “Ass… salamu…`alaikum?” Si Emak pura-pura tidak dengar, lalu Samtari mengulanginya lagi. “Ass… salamu…`alaikum?” “Kum salam!” ucapan itu diucapkan dengan nada yang cepat tanpa menoleh ke orang yang memberi salam. Samtari makin serba salah karena pembeli gado-gado yang antri jadi tahu bahwa dia tamu yang tidak dikehendaki. Semuanya menatap ingin tahu reaksi dia. Mau pulang salah, mau langsung masuk apalagi, takut diteriaki maling.  Akhirnya dia merapatkan badannya dekat tembok dan mengambil ponsel Esia Ngoceh-nya. Mencoba lagi menelpon Samsiah. Nada sambung itu terdengar mirip lonceng kematian. Penuh harap untuk diangkat. Tapi hasilnya sama saja. Tidak ada jawaban. Saat dia berbalik badan untuk minta ijin pulang, sebuah tamparan keras mampir di pipi kanannya. “Plak.” Kagetnya melebihi petir yang pernah dia saksikan menghantam kucing dan tong sampah. Tiba-tiba Samtari tidak bisa bicara, gagap. “A..aa da apaan..” “Plakk..” yang ini giliran pipi kirinya. Kemudian Samsiah masuk ke dalam rumah. Kuping Samtari mendengar pintu kamar pacarnya itu dibanting dengan keras. Dia menoleh ke wajah Emaknya Samsiah, merah dengan tatapan tajam seolah menyuruh cepat angkat kaki dari rumahnya. Pandangannya dia geser ke orang-orang yang mengantri gado-gado, semuanya pada tersenyum geli seperti baru saja mendapat tontonan kualitas sinetron. Samtari jalan pelan menuju motornya. Andai hatinya bisa terlihat, pasti hampir tidak ada bentuk lagi, seperti ponsel yang terlindas traktor. Langkanya putus asa dan penuh dengan tanda tanya. * Tanpa Samtari tahu, adegan tamparan itu disaksikan oleh Samsudin dan Samlawi dari dalam mobil Kijang Inova pinjaman. “Whahahahaha..” “Maknyus..” “Hebat lu, pas buat jadi provokator.” “Udah dah, lu tunggu sini. Sekarang giliran gua beraksi.” Samsudin berjalan dengan gagah ke rumah Samsiah. Sangat pede karena sebelumnya dia ke salon untuk cuci rambut dan facial. Emaknya Samsiah melihatnya datang, dia sedikit membetulkan rambutnya yang kelimis. “Assalamu`alaikum.” “Walaikum salam.” Percakapan ini kebetulan pas tidak ada yang beli gado-gado. “Ada Samsiah, Mak?” “Ada. Perlu apa ya?” “Saya punya temen produser film. Dia lagi butuh artis wanita buat filmnya yang baru. Kayanya anak Mak cocok tuh. Tinggal didandanin dikit, terus bisa akting, pasti lulus audisi.” Siapa ibu yang tidak mau anaknya jadi artis? Apalagi untuk keluarga pas-pasan seperti ibunya Samsiah. “Duduk dulu dah. Biar Mak panggilin dulu tuh anak.” Samsudin duduk dibangku dengan kaki kiri ditaruh di atas dengkul kaki kanan. Telapak kaki kirinya goyang-goyang. Bibirnya bersiul, sambil menyanyikan lagu keong racun. Emak Samsiah mengetuk pintu kamar anaknya. Lalu menyuruh gadisnya cuci muka biar gak ketahuan habis nangis. Pikirannya terbanyang-bayang akan masuk infotaiment karena punya anak yang bintang film. Dibandingkan Samtari yang tukang ojek, tamu yang sedang duduk di depan tampaknya lebih cocok untuk dijadikan mantu. Akhirnya pensiun juga jadi tukang gado-gado, batinnya. Perlu waktu setengah jam untuk membujuk Samsiah agar mau melupakan sejenak muka Samtari. Akhirnya setelah didandani dengan bantuan ibunya, Samsiah keluar untuk menemui Samsudin. Bagian tiga Dengan langkah gontai Samsiah menuruti perintah emaknya. Kalau saja dia tidak tahu ada hadist  bahwa surga itu di bawah telapak kaki ibu, tidak bakal dia turuti. Lagipula hatinya masih acak-cakan. Malas bertemu siapa pun. Orang yang dia cintai saja baru dia tampar, apalagi dengan lelaki yang belum dia kenal. Samsudin masih bersiul saat Samsiah duduk di sampingnya. Si Mak kemudian muncul belakangan sambil membawa teh hangat. Dia taruh di meja bundar kecil. Lalu ikut duduk bersama memutari meja. "Diminum dah tehnya." "Iya, Mak. Terima kasih." Teh manis yang disediakan masih terlihat uap panasnya. Samsudin tidak tertarik untuk meminumnya. Dia lebih senang memandangi wajah Samsiah yang masih sembab, tapi malah tambah cantik dalam kesedihannya. Dasar Samsudin hidung belang, pandangannya begitu menusuk, bagai kucing melihat ikan bandeng. Hampir-hampir dia tidak berkedip sejak awal melihat Samsiah keluar menemuinya. "Omongin dah yang tadi mau disampein." Mak angkat bicara sekaligus menghentikan keasyikan Samsudin yang masih saja pandingi Samsiah. "Begini Samsiah," Samsudin membetulkan kerah baju dan menyisir rambutnya dengan jari tangan, "mau jadi artis gak?" Samsiah menjawabnya dengan tatapan kosong. Tidak konsen. Orang bilang, nyawanya masih separuh. Samsudin menoleh ke emaknya, menangkat alis, tanda minta bantuan. "Mau mau, tadi di dalam dia bilang mau banget. Itu emang udah jadi cita-citanya." Si Mak bohong. "Kalo mau, besok ada audisi di PH. Tau PH gak Mak?" "Kaga." "Production House, itu tuh tempat orang dites biar jadi artis sinetron." "Wah di gedung dong?" "Tingkat. 40 tingkat. Paling atas. Entar Mak kalo mao ikut, boleh. Naek lift. Pernah gak Mak naek lift? "Belom. Jatoh gak?" "Ya kaga, kan pegangan." Samsiah mulai sadar, dan sedikit tertarik. Lumayan itung-itung melupakan Samtari. "Kesananya sama siapa?" tanya Samsiah. "Abang yang anterin. Tenang. Pake mobil. AC. Noh udah ngejogrog di depan." Samsudin menunjuk depan rumah dimana kijang inova silver pinjaman diparkir. "Nah sekarang Samsiah jalan-jalan dulu sama saya, Mak. Biar saya jelasain caranya ikut audisi. Sekalian ngelancarin, biar diterima. Boleh kaga?" "Wah boleh boleh. Boleh banget. Silahkan. Mak boleh ikut kaga?" "Jangan, Mak. Jangan. Entar pelanggan yang mao beli gado-gado pade nyariin. Iya kan?" Si Mak manggut-manggut dan menoleh ke Samsiah. "Gidah sono pergi. Dengerin yang bener kata-kata Samsudin. Biar besok lancar dan diterima. Gua udah gak sabar nih masuk berita artis." "Infotaiment maksudnya, Mak?" "Ya itu dia namanya. Inpotaimen." ** Pada waktu yang bersamaan, di tengah jalan, Samtari berhenti di depan warung kopi. Dia baru sadar bahwa belum tahu mengapa Samsiah begitu marah, sampai tega menamparnya bulak-balik. Batinnya mengatakan pasti ada yang tidak beres. Tidak mungkin wanita yang baru saja jinak tanpa basa basi memuntahkan amarah sebelum  konfirmasi lebih dulu. Biarlah hubungannya hancur. Tidak apa-apa meski pahit. Tapi jangan sampai tidak tahu penyebab. Itu lebih getir. Maka dia memutuskan untuk balik lagi ke rumah Samsiah. Gas motor dia tarik dan ambil arah balik. Ngacir kembali seperti waktu pergi, tanpa rem. Naluri naik motor tukang ojek merasuki tubuhnya, tai kucing ditengah jalan dia kepot tanpa terlindas. Pipinya bergoyang dihantam angin saking cepatnya. ** Samtari kaget kok ada Samsudin di rumah Samsiah. Dia ingat benar pada kondangan dua minggu lalu Samsudin cengengesan waktu dia bersanding dengan pacarnya itu. Meski tidak dibilang, Samtari yakin mantan tim sukses pak lurah itu pasti iri padanya. Tiba-tiba semuanya menjadi terang. Pasti ada fitnah. Apalagi di depan mobil kijang inova ada Samlawi, yang dia kenal sama brengseknya dengan Samsudin. Seperti popaye yang maru saja makan bayam, Samtari berlari kencang mendekat ke rumah Samsiah yang tampaknya sedang siap-siap mau pergi. Rasa takutnya yang tadi bersarang telah sirna. "Ngapain lu kesini?" Samsudin merasa di atas angin. "Ah si Mandra balik lagi." Ini suara emaknya Samsiah. "Bentar, biar ane beresin urusan sama Samsiah dulu." Samtari menarik tangan orang yang menamparnya tadi ke luar rumah. "Sebenernya kenapa Neng nampar Abang?" "Abang selingkuh, kan?" "Kata siapa?" "Kemaren ada yang bilang lagi beli gado-gado. Katanya Abang boncengin cewek terus pelukan di motor, makan bakso." Otak Samtari bekerja, lalu dia teringat Samlawi yang di depan mobil tadi. "Dia kan yang bilang?" Telunjuk Samtari mengarah ke Samlawi yang mukanya mulai ketakutan. Alis Samsiah mengkerut. Memperhatikan dengan seksama. Mirip. "Iya bener. Itu orangnya." "Bangke doangan. Bener-bener tuh orang, selalu aja iri ama gua." Samtari seperti bicara pada dirinya sendiri, "Neng, Abang emang jelek, terlalu jelek malah bila dapetin Neng. Tapi sejak Neng mao jadi pacar Abang, anugerah yang luar biasa itu. Tiap hari, sehabis magrib dan subuh, abang selalu sujud sukur. Bakal Abang jaga cinta Abang sampai akhir hayat. Neng pasti inget lagi kondangan, pengen banget Abang pegang tangan. Tapi Abang takut Neng marah, terus mutusin cinta kita. Nah apalagi boncengin cewek laen, kaga bakalan berani. Lagian lagi kemaren malem, Abang nganterin Cing Sukur ke klinik, tanya aja sama orangnya kalo kaga percaya." Mulai ada senyum di bibir Samsiah. "Samlawi, yang bilang Abang selingkuh itu, temen akrabnya Samsudin. Dia mah bedua udah kaya kentut sama tai. Kaga bisa dipisahin. Sama baunya. Pasti Neng dijanjiin jadi artis kan?" Samsiah membenarkan. "Itu lagu lama. Udah sering dia begitu. Abang udah kenal dia dari kecil. Tuh anak licik. Mobil itu juga boleh minjem. Itu Mobil Bang Rohmat, encingnya Samsudin, Abang sering liat tuh mobil di perempatan kalo lagi ngojek." "Demi Allah Neng abang gak bohong. Percaya kan?" Samsiah cuma senyum dan mencium tangan Samtari. Lalu gadis cantik itu balik badan dan mendekati Samsudin yang tampaknya mulai menghirup aroma tak sedap. "Jadi kan kita latihan audisi?" "Audisi tai kucing!" "Plakk!" Tamparan ini lebih kencang dari yang dia berikan ke Samtari sebelumnya. "Kok jadi begini?" "Plak!" Sekali lagi mendarat mulus itu tamparan. "Pergi sono jangan balik lagi. Bawa tuh mobil boleh minjem." ** Lima menit kemudian Samsiah dan Samtari naik motor pergi ke mall. Mereka mau beli ice cream mc donald, mc flury rasa coklat. Emaknya Samsiah sedih hatinya kembali jadi tukang gado-gado, impian masuk infotaiment tampaknya kandas. ** 15 Desember 2010

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun