Mohon tunggu...
Ma`mar .
Ma`mar . Mohon Tunggu... -

membaca dan menulis. itu saja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Troli

12 Desember 2010   03:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:48 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai pengemis yang cinta keluarga, saya berkewajiban menyenangkan hati istri dan anak saya. Makanya saya tidak peduli orang-orang melihat sinis ketika bersama istri saya mendorong troli di sebuah seper market. Ipul, anak saya usia tiga tahun setengah, duduk di troli dengan ingus kental  hijau hampir menyentuh bibir atas.  Lidah bocah itu keluar menjemput. Mencicipinya sambil nyengir. Dia terlihat bingung sekaligus senang kedua kakinya keluar dari dingding belakang troli dan pantatnya duduk di plastik merah. Mengulum senyum, saya usap rambutnya. "Asin ya, Pul?" Ipul mengambil napas panjang menyedotnya masuk kembali ke dalam hidung. "Anak pinter," puji istri Samtari. "Dingin ya, Pak?" Tanya istrinya. "Norak kamu, ini namanya ase (AC)." Seorang wanita muda, tampaknya pegawai swasta, bola matanya hampir keluar melihat Samtari dan keluarga melintas di depannya. Belum pernah seumur hidupnya melihat keluarga compang camping berbelanja di supermarket besar. Matanya terus menatap sampai Samtari hilang masuk ke sebuah lorong tempat susu pertumbuhan anak. Samtari jongkok dan mengambil tiga kaleng susu dengan ukuran paling besar. Baru jalan tiga langkah Samtari berhenti. Kembali lagi ke tempat tadi dan mengambil dua kaleng lagi dengan ukuran sama besar. "Kira-kira suka nggak si Ipul minum susu, Pak?" "Kalau dia tidak mau, aku yang habiskan. Biar kuat mengemis tiga hari tiga malam tidak pulang." Masih di tempat susu, Samtari mengambil kotak bergambar wanita cantik dengan pinggang sangat langsing. "Kamu juga harus minum ini, biar perutmu kecil. Mau aku selingkuh kalau kamu terlalu gendut nanti?" Istrinya manggut-manggut dan membantu Samtari ambil kotak susu itu empat buah. Dia sangat mencintai suaminya. Tidak mau ancaman yang baru saja diucapkan benar terjadi. Bila perlu dia rela menghabiskan empat kotak susu dalam satu hari asal suaminya tidak pindah ke lain hati. * "Pah, lihat. Itu kan pengemis yang kemarin aku kasih seribu di lampu merah." Yang dipanggil papah melihat arah telunjuk anaknya. "Kamu yakin?" "Banget. Lihat luka di wajah lelaki itu. Itu gatal-gatal yang dia garuk terus menerus. Dari balik kaca mobil kemarin aku perhatikan dengan jelas dikerumuni lalat." Rupanya bapak itu tertarik untuk mendekati Samtari. "Bapak pengemis, kan?" "Iya." "Yang kemarin anak saya kasih seribu di lampu merah?" "Benar. Di lampu merah Grogol. Saya memang mangkal di sana." "Kok bapak belanja banyak sekali?" "Apa ada larangan pengemis untuk belanja?" "Tidak sih, Tapi bapak punya uang untuk bayar itu semua?" "Apa saya harus tunjukan uang dulu baru ambil troli?" Lelaki itu kesal pertanyaannya dijawab pertanyaan. Lalu menuntun anaknya meninggalkan Samtari yang senyum bagai pengusaha yang sedang difoto karena baru saja menyumbang buat korban bencana. Samtari mengambil mie insatan. Banyak sekali sampai 30 bungkus. Semua rasa ada. Kari ayam, goreng pedas,  soto, rasa sate. Lengkap. Istinya ambil minyak goreng tiga bungkus isi 2kg. Kecap. Bumbu penyedap rasa. Mentega.  Gula. Garam. Troli sudah terisi setengahnya. Meski tidak tahu bagaimana pakai pampers, merk terkenal produk itu dimasukan, isi 80 lembar. Juga coklat, permen, ice cream, chicken nuget, sosis, penyukur jenggot, lipsik, bedak, dan sumua yang dia lihat dimasukan sampai troli tidak mampu lagi untuk menampungnya. Ipul tidak bisa duduk lagi di troli. Ibunya yang gendong. Tiba-tiba pinggang wanita kurus itu seperti disiram air hangat. Ipul ngompol. "Pak kita pulang, yuk?" "Iya ini juga udah gak muat masukin belanjaan." Samtari mengantri di kasir. Hampir semua orang melihat trolinya. Mereka yang biasa belanja bulanan dan tinggal di rumah mewah, tidak pernah belanja seperti itu. Sampai jatuh-jatuh barang yang tak tertampung. Samtari bukannya tidak tahu diperhatikan seperti itu, tapi dia tenang saja bagai kayu yang mengalir saat banjir. "Hebat orang itu. Banyak duit tapi pakaiannya jelek. Tidak sombong." "Jangan-jangan dia malaikat yang menyamar. Tapi kakinya menyentuh lantai." "Bisa jadi ini acara reality show. Coba teliti, jangan-jangan ada kamera tersembunyi." Bisik-bisik itu terlontar di sana-sini. Setelah pembeli di depan Samtari menggesek kartu kredit, giliran Samtari maju ke depan. Kasir wanita cantik sampai berkali-kali melihat Ipul yang ingusnya kembali menyentuh bibir. Sebenarnya dia mau menyapa, seperti yang diperintah atasan agar akrab dengan pelanggan, tapi dia bingung mau membuka pembicaraan apa. Butuh waktu 25 menit untuk menghitung barang-barang yang dibeli Samtari. "Semuanya satu juta sembilan ratus delapan puluh lima ribu tiga ratus rupiah." Samtari lalu merogok gantongnya yang tipis. Menyerahkan kartu seperti KTP. Bertuliskan Kartu Keterangan Miskin. Kasir bingung. "Gesek aja, mbak. Siapa tahu bisa." Kemudian satpam menggiring mereka keluar. Sebuah tendangan lumayan keras mampir di pantat Samtari. "Biarlah yang penting kita sudah merasakan bagaimana rasanya jadi orang kaya." Istrinya tersenyum sambil menggendong Ipul. Lalu pencet hidung bocah itu dan ingusnya ditempelkan di kaca spion mobil mewah. ***** 12 Desember 2010 gambar dari om gugel

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun