Cerita ini sudah aku dengar bulan lalu. Setelah pak Nadus mengendap  mengamati proses pembelajaran di kelas siang itu, pengalaman  pengamatannya ini dia ceritakan pada hampir semua teman - temannya.
Bagi mereka, kepergian pak Didik dan pak Lukman seolah ikut membawa  rasa nyaman Valdi dan kawan - kawannya di kelas. Bahkan, bisa jadi, semangat dan rasa percaya diri yang sudah terbangun ini ikut pergi.  Mereka yang tidak tahu apa - apa ini tak sepenuhnya berharap semangat  dan kepercayaan diri yang sudah tumbuh dalam diri Valdi akan terus  bertahan. Bukankah tidak sedikit kawan - kawan Valdi yang bahkan belum  bisa baca tulis hingga kelas 3 SD bisa jadi rujukan keraguannya? Pak  Nadus yang tidak sekolah tidak mengerti soal ini. Yang dia tahu, dan dia  bangga-banggakan, anaknya tetap percaya diri dan tak takut ketika salah  mengerjakan soal. Bahkan, anaknya bisa dengan senangnya tos-tosan  dengan gurunya yang tahun lalu masih jadi orang asing bagi mereka.
 Diam-diam, pak Nadus yang sedih juga khawatir Valdi kembali tidak  semangat sekolah lagi. Pak Nadus berharap, semoga setelah sembuh nanti,  sekolah tetap menjadi rumah kedua yang nyaman bagi Valdi karena semangat  sentuhan personal dari pak Didik dan pak Lukman sudah menular.
Ah, Valdi mengigau lagi.
 Aku tahu, bukan hanya Valdi yang sedih saat ini. Kedua orang tuanya  juga sedih dan kehilangan. Mereka tahu bahwa Valdi dan kawannya sudah  menempati ruang dalam hati pak Didik dan pak Lukman. Lebih dari itu, pak  Lukman dan pak Didik juga sudah menempati ruang dalam hati Valdi.
Makanya, ketika Valdi terbangun dan menyebut pak Lukman dan pak Didik dalam igauannya, kami semua ikut menangis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H